Khazanah
Beranda » Berita » Jangan Pernah Merasa Lebih Baik dari Orang Lain (Refleksi Akhlak dan Kesadaran Akhirat).

Jangan Pernah Merasa Lebih Baik dari Orang Lain (Refleksi Akhlak dan Kesadaran Akhirat).

Jangan Pernah Merasa Lebih Baik dari Orang Lain (Refleksi Akhlak dan Kesadaran Akhirat).

Jangan Pernah Merasa Lebih Baik dari Orang Lain (Refleksi Akhlak dan Kesadaran Akhirat).

 

Di dalam perjalanan hidup, sering kali kita tanpa sadar terjebak pada perasaan membandingkan diri dengan orang lain. Terkadang kita merasa lebih baik karena penampilan, prestasi, pengetahuan agama, atau bahkan karena amal yang kita lakukan. Padahal, pesan yang tertulis ini sangat jelas:

> “Jangan pernah merasa lebih baik dari orang lain sampai engkau mengetahui kedudukanmu di akhirat.”

Ini adalah nasihat yang dalam dan menyentuh hati. Sebab, sejatinya kedudukan kita di sisi Allah baru akan benar-benar jelas ketika kita telah melewati segala hisab dan pengadilan-Nya di akhirat kelak.

Jangan Mengejar Dunia yang Fana Ini

Mengapa Merasa Lebih Baik Itu Berbahaya?

Merasa lebih baik dari orang lain adalah pintu masuk halus menuju kesombongan (kibr), penyakit hati yang menjadi sebab jatuhnya Iblis dari rahmat Allah. Iblis merasa lebih baik daripada Adam ‘alaihissalam karena ia diciptakan dari api, sedangkan Adam dari tanah. Perasaan “lebih baik” ini membuatnya enggan tunduk pada perintah Allah.

Di dunia, kesombongan sering kali tidak terlihat secara terang-terangan. Ia bisa muncul dalam hati seseorang ketika:

Merasa ibadahnya lebih khusyuk dibanding orang lain.
Menganggap dirinya lebih suci karena tidak melakukan dosa yang dilakukan orang lain.
Menilai orang lain rendah hanya karena latar belakangnya.

Padahal, Rasulullah ﷺ telah mengingatkan dalam hadits riwayat Muslim: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebesar biji zarrah dari kesombongan.”

Artinya, sekecil apapun rasa membanggakan diri di atas orang lain, itu sudah berbahaya bagi keselamatan akhirat kita.

Zohran Mamdani Menang, Menteri Israel Desak Drang Yahudi Meninggalkan New York

Penilaian Manusia Tidak Menjamin Penilaian Allah

Kita hidup di dunia dengan pandangan yang terbatas. Kita hanya melihat kulit luar: pakaian, ucapan, tindakan yang tampak. Tetapi Allah menilai hati dan niat. Seseorang yang tampak hina di mata manusia bisa jadi mulia di sisi Allah karena keikhlasan dan taubatnya. Sebaliknya, orang yang tampak mulia di mata manusia bisa jadi rendah di hadapan Allah karena riya’, ujub, atau kemunafikannya.

Ada sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, tentang seorang wanita pelacur yang diampuni dosa-dosanya oleh Allah karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Tindakan kecil itu lahir dari hati yang ikhlas, dan Allah membalasnya dengan ampunan.

Kisah ini memberi pelajaran penting: ukuran kebaikan bukan pada pandangan manusia, tetapi pada penilaian Allah. Maka kita tidak punya alasan untuk merasa lebih baik dari siapa pun.

Misteri Akhir Hayat

Salah satu alasan terbesar untuk tidak merasa lebih baik adalah karena kita tidak tahu bagaimana akhir kehidupan kita (husnul khatimah atau su’ul khatimah).

Ada orang yang sepanjang hidupnya terlihat baik, rajin ibadah, tetapi di akhir hayatnya tergelincir pada dosa besar dan wafat dalam keadaan buruk. Ada pula orang yang mungkin hidupnya penuh maksiat, namun di penghujung hidupnya bertaubat dengan taubat nasuha, lalu wafat dalam iman dan kebaikan.

Thoha Husein Pemikir Besar Mesir dan Pembaharu Sastra Arab

Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim: “Sesungguhnya salah seorang dari kalian benar-benar mengerjakan amalan ahli surga hingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal sehasta, namun takdir mendahuluinya, lalu ia mengerjakan amalan ahli neraka, maka masuklah ia ke dalamnya. Dan salah seorang dari kalian benar-benar mengerjakan amalan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal sehasta, namun takdir mendahuluinya, lalu ia mengerjakan amalan ahli surga, maka masuklah ia ke dalamnya.”

Hadits ini membuat kita seharusnya lebih sibuk memperbaiki diri daripada membandingkan diri dengan orang lain.

Kesadaran Akhirat sebagai Pengendali Ego

Pesan ini menekankan, “… sampai engkau mengetahui kedudukanmu di akhirat.” Ini artinya, barometer utama nilai kita bukanlah dunia, melainkan kehidupan setelah kematian.

Kesadaran akan akhirat memiliki kekuatan besar untuk menundukkan ego. Jika kita benar-benar yakin akan adanya hari pembalasan, kita akan berhati-hati dalam menilai diri dan orang lain. Kita akan lebih fokus pada:

Menjaga keikhlasan dalam amal.
Menghindari sifat ujub (bangga pada diri sendiri).
Memperbanyak doa agar diberi husnul khatimah.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata: “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan timbanglah amalmu sebelum amal itu ditimbang untukmu.”

Kalau saja kita benar-benar membayangkan diri berdiri di hadapan Allah, menunggu keputusan akhir, niscaya kita tidak akan sempat membanggakan diri di dunia.

Merendah untuk Meninggi

Dalam Islam, kemuliaan justru didapat dengan merendahkan hati. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim)

Tawadhu’ bukan berarti minder atau meremehkan potensi diri, melainkan sadar bahwa semua kebaikan adalah karunia Allah, dan bahwa kita tidak lebih dari seorang hamba yang fakir di hadapan-Nya.

Merasa lebih baik dari orang lain justru menghapus pahala amal, karena di dalamnya ada racun kesombongan. Sedangkan merendah, mengakui kekurangan diri, dan melihat orang lain dengan husnudzan akan membuka pintu rahmat Allah.

Mengubah Cara Pandang terhadap Orang Lain. Agar terhindar dari merasa lebih baik, kita perlu mengubah cara pandang terhadap orang lain:

1. Fokus pada kebaikan mereka – Setiap orang pasti punya amal baik yang mungkin kita tidak tahu.
2. Ingat bahwa mereka bisa berubah – Seseorang yang kita lihat buruk hari ini bisa jadi lebih baik dari kita besok.
3. Sadari keterbatasan pengetahuan kita – Kita tidak tahu apa yang ada di hati mereka.
4. Belajar dari kesalahan orang lain – Alih-alih merendahkan, kita ambil hikmah dari kekurangan yang kita lihat.

Menjadi Sibuk dengan Perbaikan Diri

Imam Hasan al-Bashri rahimahullah pernah berkata:
“Seorang mukmin itu sibuk menghisab dirinya sendiri, sedangkan orang munafik sibuk menghisab orang lain.”

Orang yang sadar bahwa dirinya akan dihisab di akhirat akan lebih banyak mengoreksi amalnya sendiri. Ia akan khawatir kalau ternyata amalnya yang ia banggakan justru tidak diterima Allah karena kurang ikhlas atau terkotori riya’.

Inilah mengapa para salafush shalih yang ibadahnya luar biasa justru sering menangis dan merasa khawatir tidak selamat di akhirat. Mereka tidak pernah merasa “sudah cukup” apalagi “lebih baik dari yang lain.”

Penutup: Menanti Kepastian di Hari Akhir

Selama kita masih hidup di dunia, status akhir kita di sisi Allah masih belum pasti. Bisa jadi kita sekarang berada di jalan kebaikan, namun belum tentu kita selamat jika tidak menjaga hati dan amal hingga akhir. Bisa jadi pula seseorang yang tampak buruk di mata kita, ternyata kelak masuk surga lebih dulu karena ampunan Allah yang luas.

Karena itu, pesan pada gambar ini adalah alarm untuk hati:

Jangan sombong.
Jangan mudah menilai.
Sibuklah dengan perbaikan diri.
Ingat selalu akhirat.

Dan ingatlah doa Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang penuh kerendahan hati:

> “Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku bersama orang-orang yang shalih.” (QS. Yusuf: 101)

Semoga Allah menjaga hati kita dari penyakit kesombongan, menutup hidup kita dengan husnul khatimah, dan menempatkan kita di kedudukan mulia di akhirat. Aamiin. (Tengku)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement