SURAU.CO-Pada masa Rasulullah ﷺ, salat dilakukan dengan sederhana. Masjid Nabawi saat itu beralaskan tanah dan atapnya dari pelepah kurma. Jamaah duduk langsung di lantai, dan ketika sujud, dahi mereka menyentuh bumi. Dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi ﷺ pernah salat saat hujan, tanah menjadi basah, dan lumpur menempel di dahi beliau. Kisah ini menunjukkan bahwa sajadah seperti yang kita kenal sekarang belum menjadi kebiasaan.
Seiring waktu, kebutuhan alas salat mulai muncul. Lingkungan Arab bersuhu ekstrem. Siang hari tanah panas membakar, sedangkan malam dan subuh udara dingin menusuk. Sebagian sahabat membawa alas dari kain atau kulit agar sujud lebih nyaman. Alas ini juga menjaga kebersihan pakaian dari debu, pasir, dan kotoran.
Dari Tikar Kurma ke Alas Kain
Awalnya, umat Islam memakai tikar dari pelepah kurma. Tikar ini mudah dibuat, ringan, dan praktis dibawa ke mana saja. Fungsi utamanya adalah kenyamanan, bukan keindahan. Setelah Islam meluas ke luar Jazirah Arab, umat Muslim mengenal budaya dan teknologi baru.
Penaklukan Persia membawa pengaruh besar. Bangsa Persia terkenal sebagai pembuat permadani indah dan halus. Permadani mereka hangat di musim dingin dan sejuk di musim panas. Umat Islam di wilayah itu mulai menggunakan permadani kecil untuk salat. Inilah titik awal sajadah mendekati bentuk modern.
Wilayah Turki juga memiliki tradisi karpet kaya motif dan warna. Dari sana, sajadah berkembang dengan motif geometris, kaligrafi, dan bentuk mihrab. Sajadah tidak hanya menjadi alas salat, tetapi juga penanda arah kiblat dan penghias ruang ibadah.
Makna Simbolis dan Peran Sosial Sajadah
Seiring berjalannya zaman, sajadah menjadi simbol kesucian. Banyak orang memisahkannya dari alas biasa agar tidak digunakan untuk keperluan lain. Sajadah menjadi ruang suci pribadi, tempat seorang Muslim berhadapan langsung dengan Allah.
Motif mihrab di ujung sajadah mengingatkan arah kiblat menuju Ka’bah di Masjidil Haram. Beberapa sajadah dihiasi gambar masjid, kubah, atau Ka’bah, memberi nuansa spiritual yang lebih dalam.
Dalam banyak keluarga, sajadah diwariskan dari orang tua kepada anak. Ada juga yang membawa sajadah kecil saat bepergian, menandakan kesiapan salat di mana saja. Di masjid besar, karpet panjang membentang dari saf depan hingga belakang untuk memudahkan jamaah berdiri sejajar.
Sajadah di Era Modern
Sekarang, sajadah hadir dalam berbagai ukuran, bahan, dan harga. Ada sajadah tipis untuk pelancong dan sajadah tebal berlapis busa untuk kenyamanan. Bahan pembuatannya bervariasi dari katun, wol, hingga serat sintetis. Industri sajadah berkembang pesat di Turki, Iran, dan Arab Saudi.
Walau tampilannya berubah, esensinya tetap sama: memberi alas bersih, nyaman, dan layak untuk sujud. Sajadah menjadi saksi ribuan doa yang terucap setiap hari. Dari tanah basah di Masjid Nabawi hingga karpet indah di masjid modern, perjalanan sajadah mencerminkan sejarah panjang umat Islam menjaga kekhusyukan ibadah.
Awal mula salat memakai sajadah mencerminkan adaptasi budaya dalam Islam. Dari tanah dan tikar sederhana hingga permadani berornamen, semuanya lahir dari niat yang sama: menjaga kebersihan dan kekhusyukan. Sajadah bukan sekadar kain alas, tetapi pengingat bahwa setiap sujud adalah momen sakral antara hamba dan Tuhannya. Sejarah ini mengajarkan bahwa Islam mampu beradaptasi tanpa kehilangan inti ajarannya.
Sajadah bukan sekadar alas salat, melainkan bagian dari perjalanan spiritual umat Islam. Dari zaman Nabi hingga kini, ia menjadi saksi sujud, doa, dan penghambaan. Sejarahnya mengajarkan bahwa kesederhanaan dan kebersihan selalu menjadi inti ibadah, melampaui bentuk dan hiasan yang menyertainya. (Hendri Hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
