Surau.co – Shalat fardhu atau shalat wajib yang berlaku lima kali dalam sehari merupakan ibadah yang paling penting dalam ajaran Islam. Dalam konteks rukun Islam, shalat adalah kewajiban pertama yang harus dipenuhi setelah seseorang bersyahadat sebagai tanda ketauhidan.
Saking istimewanya ibadah ini, perintah shalat menjadi satu-satunya ibadah yang Allah sampaikan langsung kepada Rasulullah dalam peristiwa Isra Miraj. Tanpa perantara malaikat sebagaimana ibadah lainnya.
Lebih dari ini, shalat juga Rasul sebut sebagai tiangnya agama. Ajaran Islam tanpa shalat, akan runtuh. Ada banyak hadits Nabi yang menjelaskan keutamaan ibadah ini. Bahkan, Nabi menyebut shalat sebagai amalan yang menentukan nasib kita dalam hisab di akherat kelak.
Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah salatnya. Maka, jika salatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika salatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari salat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari salat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR Tirmidzi).
Usia Shalat Bagi Anak
Shalat fardhu adalah ibadah yang Allah perintahkan kepada semua umat islam sepanjang hayatnya. Pengecualian hanya berlaku bagi perempuan yang berhalangan. Di luar itu, shalat harus berlaku wajib dalam kondisi apapun, selama orang tersebut masih sadar.
Lalu, bagaimana dengan anak-anak? Dalam ajaran Islam, kelompok yang terbebas dari kewajiban ibadah hanya ada tiga. Hal itu sesuai dengan hadits Nabi SAW :
“Orang-orang yang tidak dibebankan tanggung jawab hukum ada tiga golongan yaitu orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga bermimpi (baligh) dan orang gila hingga sembuh.” (HR Ahmad).
Merujuk hadits tersebut, anak-anak yang masuk usia baligh berarti sudah harus wajib melaksanakan shalat. Baligh dalam islam ditandai dengan sudah pernah mengalami mimpi basah.
Dalam hadits lainnya, Nabi Muhammad memberikan penjelasan yang lebih terang perihal usia yang menjadi pedoman bagi orang tua dalam mengajarkan shalat.
“Ajarkan anak untuk shalat di usia tujuh tahun, dan hukumlah jika meninggalkan shalat di usia sepuluh tahun.” (HR. Tirmidzi)
Boleh Beri Hukuman
Dalam hadits tersebut, Nabi memberikan perintah kepada orang tua untuk mengajarkan anaknya shalat paling tidak sejak usia 7 tahun. Kemudian, Nabi memberikan penegasan bahwa jika dalam usia 10 tahun masih meninggalkan, orang tua boleh menghukum.
Meski membolehkan, Nabi memberikan batasan dalam memukul anak. Antara lain pukulan harus tidak melukai, tidak membuat kulit luka, atau tidak membuat tulang atau gigi menjadi patah.
Selain itu, Nabi juga mengajarkan untuk melakukan pukulan di bagian punggung atau pundak dan melarang memukul wajah. Untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain atau teman-temannya, Nabi menganjurkan memukul di tempat yang privat.
Ajarkan Shalat dengan Contoh
Salah satu metode pengajaran terbaik dalam sistem pendidikan adalah dengan mencontohkannya. Oleh karenanya, sangat penting bagi orang tua untuk tidak hanya menyuruh, melainkan juga memberikan contoh. Bahkan, contoh ini bisa dilakukan sejak anak masih balita sehingga membuatnya sangat terbiasa.
Selain mencontohkan, metode yang juga sangat efektif dalam sistem pembelajaran adalah kolaboratif. Misalkan dengan mengajak anak-anak shalat berjamaah. Di luar itu, pengajaran yang bersifat nasihat juga perlu terus tersampaikan secara konsisten. Sehingga anak-anak bisa melakukannya secara berkelanjutan dan menjadi praktik dalam keseharian.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
