SURAU.CO–Imam Al-Ghazali atau lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi merupakan ulama besar abad ke-5 Hijriah. Ia lahir di Such, Khurasan, dan dikenal luas sebagai tokoh pembaharu dalam bidang fikih, filsafat, dan tasawuf.
Kitab Bidayatul Hidayah ditulis khusus untuk para pembawa ilmu yang ingin memperdalam aspek adab dan penghambaan diri. Imam Al-Ghazali tidak sekedar mengajarkan ilmu, tetapi juga bagaimana hidup dengan hati yang bersih.
Karya ini menempati posisi penting dalam sastra Islam klasik. Ia menjadi pintu gerbang menuju karya-karya besar lain seperti Ihya’ Ulumuddin . Bidayatul Hidayah bukan sekedar teks pengantar, melainkan suluh spiritual yang memandu langkah kita dalam beribadah.
1. Menghadirkan Kesadaran akan Pandangan Allah
Dalam kitab bidayatul hidayah, Imam Al-Ghazali memulai bab ini dengan menanamkan rasa muraqabah, yaitu kesadaran bahwa Allah selalu melihat dan mempertemukan hamba-Nya. Ia menulis:
فَاعْلَمْ أَنَّ مَوْلَاكَ مُطَّلِعٌ عَلَيْكَ، نَاظِرٌ إِلَيْكَ، رَاقِبٌ عَلَيْكَ
“Ketahuilah bahwa Tuhanmu selalu memperhatikanmu, memandangmu, dan memperhatikanmu.”
Seorang hamba idealnya tidak hanya takut terhadap hukuman, tetapi juga malu ketika mengabaikan perhatiannya. Kesadaran ini mendorong kita untuk hidup dengan penuh rasa tanggung jawab, bahkan saat tidak ada manusia yang melihatnya.
Di era digital saat ini, orang sering kali lebih khawatir pada kamera pengawas daripada pengawasan Allah. Padahal, tidak ada ruang bagi kita untuk sembunyi dari-Nya. Oleh karena itu, memperkuat rasa muraqabah sangat penting agar hidup tidak terjebak dalam kemunafikan batin.
2. Menjaga Adab Saat Sendiri dan Dalam Kesenian
Adab kepada Allah tidak hanya berlaku di masjid atau dalam forum keagamaan. Justru saat kita sendirian, kualitas keimanan terlihat dengan jelas. Imam Al-Ghazali mengingatkan:
فَإِيَّاكَ أَنْ تَسْتَحِيَ مِنَ النَّاسِ وَلَا تَسْتَحِيَ مِنَ اللهِ
“Janganlah kamu merasa malu kepada manusia tetapi tidak merasa malu kepada Allah.”
Banyak orang yang merasa sungkan melakukan dosa di hadapan manusia, namun mereka lupa bahwa Allah lebih pantas untuk dihormati. Dalam kesunyian, saat hanya ada kita dan Allah, ujian ketulusan adab itu muncul.
Misalnya, ketika seseorang menolak korupsi meski tidak ada yang tahu, itu adalah bentuk adab kepada Allah. Maka, menanamkan rasa malu kepada Allah akan mendorong kita menjadi pribadi yang konsisten—baik di ruang publik maupun dalam kesendirian.
3. Khusyuk dalam Ibadah Sebagai Cermin Adab
Khusyuk yang di maksyud Imam Al-Ghazali menekankan bahwa adab kepada Allah harus tampak dalam cara kita beribadah. Khusyuk bukan sekadar formalitas, melainkan pancaran kesadaran akan kehadiran-Nya. Beliau menulis:
يَسْتَحِي الْعَبْدُ مِنْ مَوْلَاهُ فِي حَالِ مَعْصِيَتِهِ وَلَا يَسْتَحِي فِي حَالِ مُنَاجَاتِهِ؟
“Bagaimana mungkin seorang hamba malu saat bermaksiat, namun tidak merasa malu ketika bermunajat?”
Sering kali, kita memperhatikan etika saat menjabat pejabat atau tokoh penting. Namun, ketika salat—yang hakikatnya adalah pertemuan dengan Sang Raja Agung—kita justru terburu-buru. Ironisnya bukan?
Melalui nasihat ini, Imam Al-Ghazali mengajak kita untuk berdoa dengan lembut dan penuh hormat dalam ibadah. Jika tubuh kita bersih saat menghadap manusia penting, seharusnya hati kita juga bersih saat menghadap Allah.
Menuta Ulang Hati dan Perilaku
Adab kepada Allah adalah bentuk cinta yang paling luhur. Bukan karena takut neraka semata, melainkan karena kita ingin menjadi hamba yang tahu diri. Imam Al-Ghazali tidak mengajarkan kita menjadi sempurna, namun mengajak kita untuk terus berbenah.
Kini, di tengah kehidupan yang bising, mari kembali menata hati. Sudahkah kita malu kepada Allah ketika lalai? Sudahkah kita diam dengan lembut saat berdialog dengan-Nya? Sudahkah kita menjaga perilaku, meski tak ada yang melihat?
Semoga Allah menjadikan kita insan yang terus belajar adab dan cinta.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
