Opinion
Beranda » Berita » Hukum Zahir: Menilai Seseorang dari yang Terlihat

Hukum Zahir: Menilai Seseorang dari yang Terlihat

Menilai Dari Apa yang Terlihat

SURAU.CO – Manusia memiliki kecenderungan alamiah untuk menilai. Islam mengajarkan kita untuk menilai orang dari yang tampak (zahir).  Saat melihat orang lain, pikiran kita seringkali mencoba menerka-nerka. Kita mencoba membaca niat, menebak isi hati, dan menyimpulkan karakter seseorang. Perilaku ini sangat sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak. 

Namun, Islam datang dengan sebuah prinsip keadilan dalam hal ini hukum zahir. Agama kita mengajarkan sebuah batasan yang jelas. Tugas kita sebagai manusia hanyalah menilai apa yang tampak secara lahiriah. Adapun urusan hati, niat, dan segala yang tersembunyi adalah hak prerogatif Allah semata. Memahami prinsip ini akan membebaskan kita dari prasangka buruk dan menjaga kita dari kezaliman.

Prinsip Emas dari Umar bin Khattab

Batasan ini dijelaskan secara gamblang oleh sahabat mulia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau menjelaskan perbedaan besar antara zaman ketika wahyu masih turun dan zaman setelahnya. Penjelasan ini menjadi kaidah utama dalam menghukumi orang lain.

Umar berkata,

“Sesungguhnya dahulu orang-orang dihukumi berdasarkan wahyu pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan sesungguhnya wahyu telah terputus. Sekarang kami menghukumi kalian berdasarkan amalan-amalan kalian yang tampak bagi kami. Barang siapa yang menampakkan kebaikan, kami akan berikan keamanan dan kami dekatkan dia. Kami tidak akan periksa sama sekali isi hatinya. Allah-lah yang akan menghisab isi hatinya. Dan barang siapa yang menampakkan keburukan, kami tidak akan berikan keamanan dan tidak akan membenarkannya, meskipun dia berkata bahwa niatnya baik.”

Ridha Allah SWT Terletak pada Ridha Orang Tua: Kunci Kebahagiaan Abadi

Perkataan Umar ini sangatlah dalam. Di masa Nabi, Allah bisa saja membongkar kemunafikan seseorang melalui wahyu. Namun, setelah Nabi wafat, pintu itu telah tertutup. Kini, kita tidak punya alat untuk membedah isi hati. Satu-satunya panduan kita adalah perbuatan yang bisa dilihat oleh mata.

Kisah Usamah: Larangan Membedah Isi Hati

Prinsip untuk tidak menyelidiki isi hati ini ditegaskan dalam sebuah peristiwa dramatis yang dialami oleh Usamah bin Zaid. Usamah adalah sahabat yang sangat dicintai oleh Rasulullah. Dalam sebuah pertempuran, ia berhasil mengejar seorang musuh. Tepat sebelum pedang Usamah menebasnya, orang itu mengucapkan kalimat “Laa ilaha illallah”.

Usamah mengira orang itu hanya berpura-pura agar selamat. Ia pun tetap membunuhnya. Ketika berita ini sampai kepada Nabi, beliau sangat marah. Beliau memanggil Usamah dan bertanya dengan nada yang sangat keras.

“Apakah engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa ilaha illallah?”
Usamah menjawab, “Wahai Rasulullah, dia mengucapkannya hanya karena takut pedang (ingin berlindung).”
Nabi kembali bertanya, “أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ؟”
“Apakah engkau telah membelah hatinya (sehingga engkau tahu isi hatinya)?”

Rasulullah terus mengulang-ulang kalimat itu. Usamah bin Zaid sampai berkata, “Aku berandai-andai baru masuk Islam pada hari itu.” Ini menunjukkan betapa besar penyesalannya. Kisah ini adalah pelajaran yang sangat kuat. Bahkan di tengah peperangan sekalipun, kita tidak punya hak untuk menghakimi niat seseorang.

Amanah: Refleksi Otentik Keimanan Seorang Mukmin

Bagaimana Menerapkannya dalam Kehidupan?

Prinsip hukum zahir ini memiliki implikasi yang sangat luas dalam kehidupan kita. Ia mengajarkan kita untuk selalu berprasangka baik (husnuzhan).

  • Jika kita melihat kebaikan: Saat kita melihat seseorang rajin ke masjid, suka bersedekah, atau berakhlak baik, maka kita wajib menilainya sebagai orang baik. Jangan pernah berbisik dalam hati, “Ah, dia pasti hanya riya.” Menilai seperti itu berarti kita telah melampaui batas dan mengambil hak Allah.

  • Jika kita melihat keburukan: Sebaliknya, jika kita melihat seseorang melakukan maksiat, kita membenci perbuatannya, bukan menghakimi pribadinya secara mutlak. Kita tetap wajib menasihatinya. Namun, kita tidak boleh berkata, “Dia pasti penghuni neraka.” Bisa jadi, di akhir hayatnya ia bertaubat dengan taubat yang tulus, dan Allah menerimanya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“Kita menghukumi berdasarkan yang tampak. Barang siapa yang menampakkan kebaikan, kita bersaksi bahwa dia adalah orang baik. Barang siapa menampakkan keburukan, kita bersaksi bahwa dia adalah orang yang buruk.”

Kematian dan Akhirat: Sebuah Perjalanan Abadi Menuju Kehidupan Kekal

Fokus Pada Diri Sendiri

Pada akhirnya, Islam mengajak kita untuk lebih fokus pada perbaikan diri. Sibuk menilai hati orang lain hanya akan membuang-buang waktu. Itu juga akan membuka pintu bagi kesombongan dan prasangka buruk.

Tugas kita sederhana. Perlakukan orang lain sesuai dengan apa yang mereka tampakkan. Serahkan urusan hati mereka kepada Dzat yang Maha Mengetahui segala isi hati. Dengan begitu, hati kita akan lebih bersih, dan interaksi kita dengan sesama akan lebih adil dan penuh rahmat.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement