SURAU.CO – Hari kemerdekaan sebuah negara tentu menjadi momen bersejarah. Momen ini menandakan bahwa bangsa tersebut telah bebas dari penjajahan. Rakyatnya kini menjadi independen serta berdaulat penuh. Mereka dapat mengatur pemerintahannya sendiri tanpa intervensi asing. Tidak diragukan lagi, ini adalah sebuah nikmat yang sangat besar.
Akan tetapi, Islam mengajarkan sebuah konsep kemerdekaan yang jauh lebih dalam. Maknanya melampaui sekadar kebebasan politik suatu bangsa. Kemerdekaan dalam Islam adalah kondisi seorang hamba yang bebas beribadah kepada Allah Ta’ala. Dalam hidupnya, tidak ada satu pun yang menjadi penghalang dalam ketaatannya. Dengan kata lain, kemerdekaan hakiki berarti tiada lagi rintangan antara seorang muslim dengan surga Allah. Inilah tujuan tertinggi yang semestinya diperjuangkan.
Bentuk Pertama: Merdeka dari Perbudakan Syirik
Kemerdekaan terbesar bagi seorang muslim adalah tauhid. Oleh karena itu, ia harus membebaskan diri sepenuhnya dari segala bentuk kesyirikan. Ibadah yang murni hanya untuk Allah adalah esensi kebebasan sejati. Sebaliknya, ketika seseorang menyekutukan Allah, ia sebenarnya sedang terbelenggu. Ia menjadi budak bagi makhluk, bukan hamba bagi Sang Pencipta.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan hal ini. Beliau berkata,
العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره
“Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306).
Lihatlah orang yang berbuat syirik. Ia menggantungkan hidupnya pada selain Allah. Jiwanya tersandera oleh makhluk yang ia sembah. Ia meminta persetujuan dari sesembahan itu sebelum bertindak. Akibatnya, kemerdekaannya telah hilang dan tergadaikan.
Bahkan, ada yang mengaku muslim namun masih mencari pertolongan lain. Mereka meminta kekayaan dan kesuksesan pada makhluk yang lemah. Padahal, makhluk tersebut tidak punya kuasa apa pun. Fenomena ini menunjukkan betapa jiwa mereka tidak merdeka. Allah Ta’ala pun menegaskan ketidakmampuan sesembahan selain-Nya.
Allah berfirman,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ* وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaf 5-6).
Jelaslah bahwa jiwa yang benar-benar merdeka adalah jiwa yang bertauhid. Ia hanya tunduk dan berserah diri kepada Allah semata. Dengan demikian, ia terbebas dari segala bentuk peribadatan kepada selain-Nya.
Bentuk Kedua: Membebaskan Diri dari Belenggu Hawa Nafsu
Selanjutnya, bentuk kemerdekaan lainnya adalah kebebasan dari hawa nafsu. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita untuk mengendalikannya. Hawa nafsu yang tidak terkendali pasti akan menjerumuskan manusia. Ia akan membawa pada kesesatan serta kebatilan yang nyata.
Saking berbahayanya, Allah Ta’ala bahkan memperingatkan Nabi Daud ‘alaihis salam. Padahal, beliau adalah seorang raja dan penguasa yang merdeka. Allah melarangnya mengikuti hawa nafsu dalam memutuskan perkara.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh.” (QS. Shad: 26).
Lantas, bagaimana cara menaklukkannya? Cara paling ampuh untuk menaklukkan hawa nafsu adalah dengan rasa takut. Kita harus membangun rasa takut kepada kebesaran Allah dan azab-Nya. Rasa takut inilah yang akan menjadi benteng pertahanan diri.
Hal ini ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41).
Orang yang takut kepada Allah akan lebih mudah menundukkan nafsunya. Sebaliknya, orang yang merasa aman saat berbuat dosa pasti akan kalah. Pada akhirnya, ia akan menjadi budak yang tunduk pada keinginan nafsunya.
Bentuk Ketiga: Terbebas dari Jerat Ujian Dunia
Selain bebas dari syirik dan hawa nafsu, dunia ini adalah ladang ujian bagi setiap manusia. Allah menguji kita dengan berbagai fitnah dalam kehidupan. Ujian tersebut bisa berupa kelimpahan harta. Bisa pula berupa kesulitan dan kekurangan. Keduanya adalah bentuk cobaan dari Allah yang harus dihadapi.
Allah menjelaskan kepada kita tentang hakikat dunia yang fana ini. Dunia hanyalah sebuah panggung permainan yang seringkali melalaikan.
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak… Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadîd: 20).
Seorang muslim yang merdeka akan mampu melewati ujian tersebut. Ia tidak diperbudak oleh fitnah dunia yang sementara. Ketika diuji dengan kesempitan, ia senantiasa menunjukkan kesabaran. Kemudian, saat diberi kelapangan, ia tidak lupa untuk bersyukur. Jiwanya bebas dan tidak bergantung pada keadaan duniawi.
Sikap inilah yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له.
“Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999).
Jiwa yang merdeka tidak akan pernah menyalahkan takdir. Ia tidak akan diperbudak oleh harta saat kaya. Ia juga tidak akan mengutuk Allah saat sedang miskin.
Merenungi Kembali Kemerdekaan Sejati
Momen hari kemerdekaan adalah saat yang tepat untuk refleksi. Kita perlu bersyukur atas nikmat kemerdekaan sebagai sebuah bangsa. Namun, kita juga harus merenungkan kemerdekaan diri kita sendiri di hadapan Allah. Ajaran Islam menunjukkan bahwa seseorang belum benar-benar merdeka hingga bebas dari tiga belenggu utama.
Pertama, ia harus merdeka dari perbudakan syirik. Jiwanya bebas untuk beribadah hanya kepada Allah. Kedua, ia harus merdeka dari belenggu hawa nafsu. Seluruh aktivitasnya didasari rasa takut kepada Allah, bukan godaan syahwat. Ketiga, ia harus merdeka dari jerat fitnah dunia. Ia menghadapi segala ujian dengan sabar dan juga syukur.
Semoga Allah senantiasa menjaga negeri kita. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada para pemimpinnya. Dan yang terpenting, semoga kita semua dapat meraih kemerdekaan sejati untuk menjadi hamba-Nya yang taat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
