SURAU.CO-Kenapa juara dunia jarang Muslim sering muncul sebagai pertanyaan yang menggugah sekaligus memicu refleksi mendalam. Saat kita melihat panggung internasional di bidang olahraga, sains, politik global, hingga teknologi, kenapa juara dunia jarang Muslim menjadi fakta yang sulit diabaikan. Apakah ini kutukan sejarah atau cerminan dari sistem yang tak berpihak?
Dominasi Global dan Ketimpangan Sistemik: Juara Dunia dan Dunia Muslim
Untuk menjawab kenapa juara dunia jarang Muslim, kita perlu melihat realitas ketimpangan sistemik yang terjadi antara negara mayoritas Muslim dan negara adidaya dunia. Sejak jatuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah pada awal abad ke-20, berbagai negara Muslim mengalami penjajahan, konflik internal, serta krisis identitas. Sistem pendidikan yang tertinggal, minimnya anggaran riset, dan rendahnya kebebasan akademik menjadi faktor utama tertinggalnya prestasi global.
Di bidang ilmu pengetahuan, hanya segelintir ilmuwan Muslim berhasil meraih Nobel. Salah satunya Abdus Salam dari Pakistan yang mendapatkan Nobel Fisika pada 1979. Sayangnya, prestasi ini justru tidak mendapat apresiasi yang layak di negerinya sendiri karena perbedaan mazhab.
Sumber Daya Ada, Tapi Sistem Lemah: Potensi Terhambat oleh Struktur
Banyak pihak menyebut adanya “kutukan,” namun sesungguhnya masalah terletak pada sistem. Atlet Muslim seperti Mohamed Salah, Khabib Nurmagomedov, dan Ibtihaj Muhammad membuktikan bahwa dunia Muslim tidak kekurangan talenta. Sayangnya, mereka sukses karena perjuangan pribadi, bukan berkat sistem pembinaan negara.
Negara-negara Muslim jarang memberi prioritas pada olahraga, seni, dan inovasi. Mereka menganggap bidang-bidang itu sebagai pelengkap, bukan sebagai pilar pembangunan. Ketika sistem tak mendukung, potensi hebat pun sulit berkembang.
Budaya Kompetisi dan Akses Terbatas: Peradaban Muslim Tertinggal
Kenapa juara dunia jarang Muslim juga berakar dari budaya internal. Budaya kompetisi dan meritokrasi belum merata dalam masyarakat Muslim. Banyak anak muda kesulitan bersaing karena sistem sosial lebih mengandalkan koneksi daripada kemampuan.
Padahal, peradaban Islam pernah memimpin dunia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad ke-8 hingga 13. Kemunduran itu bukan semata-mata kesalahan internal. Penjajahan, eksploitasi sumber daya, dan intervensi asing telah menggerus kejayaan itu secara perlahan.

Atlet Muslim Khabib Nurmagedof (Petarung UFC)
Revitalisasi Pendidikan dan Riset: Jalan Menuju Juara Dunia
Kebangkitan dunia Muslim tidak bisa terjadi tanpa reformasi menyeluruh di sektor pendidikan dan riset. Dunia Islam butuh sistem yang memupuk kreativitas, riset, serta pemikiran terbuka. Universitas-universitas Muslim harus bergerak dari zona nyaman menuju pusat inovasi global.
Beberapa negara seperti Turki, Uni Emirat Arab, dan Malaysia sudah menunjukkan langkah maju. Misi luar angkasa Uni Emirat Arab ke Mars (Hope Probe 2021) menandai awal kebangkitan ilmiah dunia Muslim. Mereka membuktikan bahwa umat Islam mampu menciptakan prestasi dunia jika sistem mendukung.
Menjadi Juara Dunia tanpa Melepas Identitas Islam
Beberapa orang menganggap bahwa untuk menjadi juara dunia, seseorang harus menanggalkan identitas keislamannya. Namun, fakta membantah asumsi itu. Khabib Nurmagomedov tetap menjaga prinsip Islam secara konsisten dan tetap meraih gelar juara UFC tanpa terkalahkan.
Kesuksesan semacam itu membuktikan bahwa umat Islam tidak harus meniru sistem Barat. Mereka cukup membangun sistem meritokratis yang berpadu dengan nilai-nilai luhur Islam.
Saatnya Umat Islam Menjawab Tantangan Global
Kini waktunya umat Islam berhenti menyalahkan “kutukan” dan mulai membenahi sistem dari dalam. Dengan membangun budaya prestasi, membebaskan potensi anak muda, dan mendorong inovasi berbasis nilai Islam, bukan mustahil gelar juara dunia akan semakin sering diraih oleh generasi Muslim. (Hen)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
