Mode & Gaya
Beranda » Berita » “Bumi Manusia” dan Perempuan: Gema Perlawanan Feminisme Poskolonial

“Bumi Manusia” dan Perempuan: Gema Perlawanan Feminisme Poskolonial

Buku Bumi Manusia oleh Pramoedya A. T.
Buku Bumi Manusia oleh Pramoedya A. T.

SURAU.CO – Sastra tidak pernah hadir dalam kekosongan. Ia tumbuh dari sejarah, budaya, dan ketimpangan sosial yang mewarnai zamannya. Dalam konteks itu, novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer menawarkan lebih dari sekadar kisah cinta. Ia menggambarkan perlawanan perempuan terhadap penindasan kolonial dan budaya patriarki.

 

Perempuan dalam Pusaran Kolonialisme dan Patriarki

Bumi Manusia menyajikan perempuan bukan sebagai korban pasif. Sebaliknya, mereka muncul sebagai subjek sadar yang berani menentang struktur kekuasaan. Pramoedya melalui tokohnya, Minke, memotret bagaimana budaya kolonial membentuk persepsi tentang perempuan.

“Mana ada Jawa, bupati pula, bukan buaya darat?” (Toer, 2009: 23)

Kutipan ini mencerminkan stereotip laki-laki Jawa yang mengobjektifikasi perempuan. Namun, dalam narasi Pramoedya, tokoh-tokoh perempuan justru hadir sebagai penantang stereotip tersebut.

Dahlan: Bisikan Prabowo Subianto

Nyai Ontosoroh: Simbol Perempuan Merdeka

Tokoh Nyai Ontosoroh menjadi pusat kekuatan narasi. Ia bukan perempuan biasa. Ia cerdas, mandiri, dan menolak tunduk pada sistem kolonial yang menindas. Bahkan ketika Minke, tokoh utama, duduk bersamanya, ia mengakui kehebatan Nyai:

“Dan ia bisa menerangkan! Nyai apa pula di sampingku ini?” (Toer, 2009: 58)

Nyai Ontosoroh memimpin perusahaan keluarga. Ia tidak sekadar mendampingi, tetapi mengambil peran penuh dalam pengambilan keputusan. Perempuan dalam narasi ini tidak lagi terkungkung oleh kodrat yang disempitkan oleh budaya.

Pendidikan: Jalan Menuju Kebebasan Perempuan

Salah satu tema penting dalam novel ini adalah pendidikan. Melalui pembelajaran dan pengalaman, tokoh-tokoh perempuan memperoleh kesadaran dan martabat. Hal ini tergambar jelas dalam kutipan berikut:

“Segala yang kupelajari dan kukerjakan dalam setahun itu telah mengembalikan hargadiriku…” (Toer, 2009: 130)

Hikmah Permintaan Maaf: Perjalanan Nikah Sahabat Karib

Dengan kata lain, Pramoedya ingin menyampaikan bahwa pendidikan membebaskan. Tanpa akses pengetahuan, perempuan terus terpinggirkan.

Kesadaran Diri sebagai Bentuk Perlawanan

Kesadaran menjadi awal dari perlawanan. Tokoh perempuan dalam Bumi Manusia tidak menerima nasib begitu saja. Mereka mempertanyakan dan melawan struktur yang membelenggu. Salah satu guru Minke mengatakan:

“Baru aku bertemu seseorang, dan perempuan pula, yang tidak mau berdamai dengan nasibnya sendiri.” (Toer, 2009: 346)

Pernyataan tersebut menjadi pengakuan atas kekuatan perempuan yang sadar dan tidak tunduk pada ketidakadilan. Kesadaran ini menjadi jantung dari ideologi feminis poskolonial yang Pramoedya bawa.

Perempuan dan Hak Hukum yang Ditiadakan

Novel ini juga membongkar ketimpangan hukum yang dialami perempuan pribumi. Mereka tidak memiliki kuasa atas anak atau harta karena sistem kolonial yang diskriminatif. Dalam salah satu adegan, digambarkan:

Menyelaraskan Pikiran dan Perbuatan: Kunci Hidup yang Autentik dan Bermakna

“Mamamu hanya perempuan Pribumi, akan tidak mempunyai suatu hak atas semua…” (Toer, 2009: 112)

Kondisi ini mencerminkan realitas masa itu. Sistem kolonial tidak hanya menindas bangsa terjajah, tetapi juga secara berlapis menindas perempuan di dalamnya.

Melawan adalah Kehormatan

Pramoedya tidak menggambarkan perlawanan sebagai sesuatu yang selalu berhasil. Namun, perlawanan adalah bentuk kehormatan tertinggi. Meskipun kalah, tokoh-tokohnya tetap mempertahankan martabat.

“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” (Toer, 2009: 535)

Dalam hal ini, feminisme poskolonial tidak hanya bicara tentang menang atau kalah. Ia bicara tentang keberanian untuk berdiri dan menolak tunduk.

Dekonstruksi Perempuan Tradisional

Salah satu kekuatan Bumi Manusia adalah kemampuannya mendobrak citra lama perempuan yang lemah dan pasrah. Dalam novel ini, Pramoedya menyusun ulang gambaran perempuan sebagai pemikir, pemimpin, dan pelawan. Ia menghadirkan narasi alternatif yang menginspirasi.

Bahkan saat tokoh Minke awalnya heran melihat perempuan bekerja, ia kemudian memahami bahwa perempuan juga mampu berdiri sendiri:

“Kau heran melihat perempuan bekerja? Aku mengangguk.” (Toer, 2009: 44)

Penggambaran ini mengubah cara pandang. Perempuan bukan lagi subjek diam, tetapi agen perubahan.

Penutup: Seruan Kesetaraan yang Masih Relevan

Lebih dari sekadar novel sejarah, Bumi Manusia adalah manifesto kesadaran. Ia menolak ketimpangan, menyuarakan kesetaraan, dan mengajak pembacanya berpikir ulang soal peran perempuan.

Dalam dunia yang masih menyisakan ketidakadilan gender, pesan Bumi Manusia tetap relevan. Perempuan berhak atas pendidikan, penghormatan, dan kendali atas hidupnya. Dan seperti Nyai Ontosoroh, perempuan layak untuk mendapat kehormatan bukan karena status, melainkan karena kemanusiaan dan kemampuannya. (AE).

 

× Advertisement
× Advertisement