SURAU.CO – Di relung khazanah peradaban Islam Nusantara, sebuah melodi abadi terus bergema melintasi zaman. Melodi itu adalah alunan suara anak-anak yang mengeja Kalam Tuhan, yang dibimbing oleh tatapan sabar seorang guru di sebuah surau sederhana. Dua metode besar menghidupkan denyut spiritual tradisi mengaji ini: Turutan dan Iqra. Keduanya, meski berbeda pendekatan, mengalirkan darah ke jantung keislaman kita dan memastikan cahaya Al-Quran tak pernah padam di bumi pertiwi. Artikel ini mengungkap kekuatan, filosofi, dan sinergi dua pilar dalam khazanah mengaji Nusantara ini.
Turutan: Menjaga Ruh dan Sanad Keilmuan dalam Pusaka Lisan
Jauh sebelum metode modern populer, metode Turutan telah menjadi tulang punggung pengajaran Al-Quran. Namanya, yang berasal dari filosofi Jawa “tutur-urutan”, secara langsung menjelaskan esensinya: seorang murid mengikuti ucapan sang guru secara berurutan, kata demi kata, hingga bacaannya mendarah daging. Turutan memanifestasikan prinsip agung dalam transmisi ilmu Islam, yaitu talaqqi musyafahah—seorang murid menerima ilmu langsung dari lisan seorang guru, bertatap muka, dan menyerap tidak hanya pengetahuan, tetapi juga getaran spiritualnya.
Proses belajar Turutan sangatlah personal dan menuntut kerendahan hati. Murid akan duduk bersimpuh, memegang sabak (papan tulis kayu) atau kitab tipis, lalu menirukan setiap lafal yang guru contohkan. Guru akan langsung mengoreksi setiap kesalahan, sekecil apa pun, baik dalam makhraj (titik artikulasi huruf) maupun sifat-sifatnya yang detail. Proses ini menuntut kesabaran dan ketekunan sebagai kurikulum utamanya. Lebih dari sekadar metode, Turutan adalah proses pewarisan ruh dan sanad keilmuan. Guru tidak hanya mengajarkan cara membaca, tetapi juga mewariskan “rasa” dari bacaan tersebut, sebuah koneksi spiritual yang ia sendiri terima dari gurunya, dalam mata rantai emas (sanad) yang para ulama harapkan terus bersambung hingga Rasulullah SAW.
Hingga hari ini, banyak pesantren salaf (tradisional) tetap mempertahankan metode Turutan sebagai pilar utama. Mengutip laporan dari NU Online, metode ini menjadi benteng penjaga otentisitas lafal Al-Quran dari generasi ke generasi. Namun, di era modern, Turutan menghadapi tantangan skalabilitas. Masyarakat kini lebih sulit menemukan guru yang kompeten dan memiliki sanad jelas, yang membuka jalan bagi hadirnya inovasi.
Iqra: Jembatan Sistematis Pemberantas Buta Aksara Al-Quran
Memasuki era modern, laju kehidupan menuntut sebuah terobosan. Dari rahim kepedulian inilah, K.H. As’ad Humam di Yogyakarta melahirkan sebuah mahakarya: metode Iqra. Banyak biografinya mencatat, K.H. As’ad Humam adalah seorang difabel daksa yang mengalami kelumpuhan sejak remaja. Keterbatasan fisik tidak menghalangi semangatnya untuk berdakwah. Beliau mendedikasikan hidupnya untuk menemukan cara paling efektif bagi umat untuk belajar Al-Quran.
Setelah melakukan riset mendalam, pada awal 1990-an beliau memformalkan metode Iqra. Kegeniusannya terletak pada strukturnya yang logis dan bertahap. Beliau membagi materi ke dalam enam jilid tipis, membangun “tangga belajar” yang bisa didaki siapa saja. Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang revolusioner memberdayakan pembelajar. Mereka tidak pasif menunggu guru menyuapi mereka, melainkan aktif mengenali pola, mencoba membaca, dan maju secara mandiri. Guru bertindak sebagai fasilitator dan korektor, bukan satu-satunya sumber ilmu.
Dampaknya sungguh fenomenal dan menjadi solusi efektif untuk pemberantasan buta aksara Al-Quran. Data dari Kementerian Agama Republik Indonesia menunjukkan bahwa ribuan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) di seluruh Indonesia kini menggunakan metode Iqra sebagai fondasi utama. Pengaruhnya bahkan meluas ke mancanegara. Negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam kini turut mengadopsi dan mengadaptasi Iqra, membuktikan universalitas dan keampuhan metode ini sebagai sebuah inovasi pendidikan Islam.
Sintesis Agung: Harmoni Perjalanan Mengaji di Era Modern
Mempertentangkan Turutan dan Iqra adalah sebuah kekeliruan fundamental. Keduanya adalah mitra dalam misi mulia yang sama, merepresentasikan kearifan Nusantara dalam menjaga tradisi sambil merangkul inovasi. Perjalanan seorang pembelajar Al-Quran modern seringkali merupakan sintesis dari kedua metode ini.
Tahap pertama adalah fase fondasi dengan Iqra. Di sini, seorang pemula membangun kepercayaan diri dan kelancaran dasar. Ia fokus mengenali huruf, harakat, dan aturan tajwid paling esensial. Rasa pencapaian yang cepat membuat proses belajar menjadi menyenangkan dan memotivasi untuk terus lanjut. Iqra memberikan struktur, kecepatan, dan skala untuk membangun kerangka literasi yang kokoh.
Setelah menyelesaikan keenam jilid Iqra dan mampu membaca dengan lancar, perjalanan berlanjut ke tahap kedua: fase pemurnian dengan semangat Turutan. Murid akan bergabung dalam sebuah halaqah (kelompok studi) Tahsin atau Talaqqi. Di sinilah, seorang guru yang mumpuni akan “membongkar” bacaan muridnya, memoles setiap detail yang murid lewatkan. Kedalaman dengung, ketepatan qalqalah, hingga transisi antar huruf yang mulus menjadi fokus utama. Guru mentransfer ruh bacaan, memastikan murid melantunkan setiap ayat dengan pemahaman dan penghayatan yang benar. Fase ini memberikan kedalaman, validasi, dan menyempurnakan bacaan hingga mencapai tingkatan yang lebih tinggi.
Pada akhirnya, Turutan dan Iqra adalah anugerah dan bagian tak terpisahkan dari khazanah Nusantara yang dinamis. Keduanya adalah bukti bahwa warisan kita tidak kaku, melainkan hidup—selalu mampu beradaptasi, berinovasi, dan menjawab panggilan zaman tanpa kehilangan jiwanya yang paling dalam. (KAN)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
