Opinion
Beranda » Berita » Pemikiran Kritis, untuk Siapa?

Pemikiran Kritis, untuk Siapa?

Pemikiran kritis, untuk Siapa?
Visualisasi perempuan berjilbab memiliki pemikiran kritis. Sumber: MetaAI

SURAU.CO. Ironis! Kata yang tepat menggambarkan persilatan kata di media sosial dan di ruang-ruang publik. Banyak peristiwa tidak penting justru mendapatkan atensi berlebih, berupa komentar atau sekedar membagikan. Mereka tidak menunjukkan pemikiran kritis dalam setiap atensi yang diberikan dan banyak peristiwa penting yang seharusnya dikritisi dengan benar justru hanya disaksikan tanpa respons berarti. Misal saat adanya peristiwa korupsi, kerusakan lingkungan, atau kebijakan publik lainnya.

Siapa yang bertanggung jawab mengkritisi suatu peristiwa yang berefek masal atau berpotensi mengubah budaya? Apakah hanya pemerintah atau pemegang otoritas saja? Atau hanya para ahli dan ilmuwan saja? Kemana anak muda yang katanya bonus demografi dan aset bangsa?

Generasi Muda

Hai anak muda, adakah sedikit saja kegelisahan dihatimu ketika melihat atau mendengar sesuatu yang tidak sepatutnya terjadi? Sepatutnya para generasi muda lebih galau ketika melihat kerusakan etika, moral, dan tatanan kehidupan. Karena generasi muda yang akan menikmati hasil dari kerusakan hari ini. Generasi muda yang masih produktif, seharusnya mampu berpikir jernih dengan baik. Tidak perlu tindakan luar biasa untuk meresponsnya. Sekedar mengkritisi dengan baik sudah merupakan tindakan nyata. Apalagi jika pemikiran kritis itu disebarkan secara masif, tentu akan memberi dampak.

Sikap kritis terhadap sekitar untuk perbaikan masa depan perlu terus dipupuk agar tumbuh mekar mewangi. Salah satu ciri kehidupan sosial yang tumbuh dan berkembang baik adalah masih tersedianya stok kepedulian pada sesama, utamanya dalam diri sendiri. Peduli pada lingkungan sekitar, tidak hanya pada orangnya, tetapi juga alamnya dan segala aktivitas yang ada didalamnya.

Namun faktanya, banyak orang lebih peduli kepada hal remeh temeh yang tidak mendasar. Hujatan dan cacian berseliweran terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak ada pengaruh terhadap hidup kita, apalagi hidup orang banyak. Netijen lebih cepat menilai dan menghakimi tanpa dasar.

Riyadus Shalihin: Antidot Ampuh Mengobati Fenomena Sick Society di Era Modern

Data Bicara

Menurut laporan digital We Are Social, 2025 merupakan tahun yang penuh dengan tonggak sejarah digital. Digital 2025 menunjukkan bahwa momentum AI semakin cepat, media sosial semakin penting dan belanja iklan terus meningkat signifikan di seluruh ranah digital. Menurut We Are Social di Februarib2025 pengguna internet mencapai 67,9% dari total populasi manusia di dunia. Dan pengguna media sosial global sebanyak 63,9% dari semua penduduk bumi.

Masih menurut we are social, pengguna internet menghabiskan rata-rata 6 jam 38 menit online setiap hari. Laporan tersebut menyebutkan bahwa motivasi terbesar untuk berinternet di awal tahun 2025 adalah mencari informasi. 62,8% pengguna internet dewasa menyatakan bahwa mencari infirmasi adalah alasan utama mereka menggunakan internet. Penelitian Pew Research Center menunjukkan bahwa 64% Gen Z mengandalkan media sosial sebagai sumber berita utama, tapi hanya 27% dari mereka yang memverifikasi kebenaran informasi tersebut.

Sikap Kritis

Sikap tidak mau mencari tahu kebenaran sebuah informasi, membuat subur berita hoax. Kebenaran suatu informasi tidak lagi menjadi penting. Gen Z tidak memperlihatkan sikap kritis terhadap berbagai informasi dan isu sosial di tengah masyarakat. Tingginya data pengguna internet dan media sosial, serta mencari informasi sebagai alasan utama tidak berbanding lurus dengan menurunnya kepedulian terhadap isu ekonomi, pendidikan, politik dan sosial.

Berita negatif yang terus meningkat menjadi alasan indeks kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan penguasa terus menurun. Tingkat kepedulian dalam bentuk pemikiran kritis tidak berdampak secara langsung terhadap menurunnya isu-isu ekonomi, pendidikan, politik dan sosial. Hal ini terjadi akibat minimnya pemahaman mendalam terhadap isu publik yang sedang  berkembang. Kritik generasi muda belum benar-benar kritis, baru sampai meramaikan kolom komentar di media sosial.

Pemikiran Kritis Aplikatif

Kritik paling baik tentu kritik pada diri sendiri, mengakui kesalahan dan membenahi kesalahan. Ketika kita menganggap korupsi dan nepotisme sebagai kesalahan, maka kita harus mampu memilih kejujuran sebagai pilihan utama. Dan menyadari bahwa tindakan salah yang kita lakukan, sama salahnya dengan yang orang lain lakukan.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Sebagai contoh, tidak menggunakan ordal untuk melancarkan suatu urusan adalah bentuk aplikasi pemikiran kritis. Atau sebagai orang tua, tidak mengambil jalur khusus (baca: dengan uang pelicin) memaksakan anak masuk sekolah favorit, padahal dia tidak mampu. Contoh yang baik adalah guru yang baik. Banyak orang menolak korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam narasi, tapi praktiknya sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, menunjukkan kurangnya pemikiran kritis.

Melatih pemikiran kritis tidak bisa dalam waktu singkat, butuh proses dan pembiasaan untuk menjadikannya habit. Seorang pengkritisi harus mampu menjadi pemikir kritis yang adil. Mampu mengkritisi keadaan di sekitar, tapi juga tidak lalai dalam mengkritisi diri sendiri dan melakukan pembenahan.

Kemampuan berpikir kritis memungkinkan  untuk menganalisis informasi secara mendalam, mengidentifikasi masalah, mencari solusi kreatif dan membuat keputusan bijaksana. Berpikir kritis tidak hanya soal menyusun dan menyampaikan argumen, tetapi lebih dari itu mampu menerapkan dalam aplikasi kehidupan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement