Mode & Gaya
Beranda » Berita » Nasib Sial dalam Drama Head Over Heels Menurut Ajaran Islam

Nasib Sial dalam Drama Head Over Heels Menurut Ajaran Islam

Drama Head Over Heels
Bae Gyeon Woo Drama Head Over Heels

Benarkah Ada Kesialan? Membedah Persepsi Nasib Buruk dalam Drama Head Over Heels Menurut Ajaran Islam

Kisah Kesialan Bae Gyeon Woo dalam Head Over Heels

Drama Korea Head Over Heels menampilkan Bae Gyeon Woo, yang diperankan Choo Young Woo, sebagai karakter yang terus-menerus mengalami kesialan dan nasib buruk. Sejak kecil, orang-orang sudah menganggapnya sebagai pembawa sial, bahkan orang tuanya enggan merawatnya, sementara berbagai kecelakaan terus menimpa hidupnya. Ini menumbuhkan keyakinan di antara teman-temannya bahwa berteman dengannya sama saja menantang bahaya. Bahkan, ia sempat dituduh sebagai penyebab kebakaran di sekolahnya.

Dalam konteks spiritual drama ini, nasib Gyeon Woo semakin rumit. Saat memasuki ruang ritual, ia berjalan terbalik yang diyakini akan mendatangkan kematian. Selama 21 hari berikutnya, arwah gentayangan terus memicu kesialan yang membayangi Gyeon Woo. Akibat semua cap buruk dan kejadian malang ini, ia menarik diri dari lingkungan sosial dan akhirnya mengembangkan kebencian terhadap sesama manusia. Kisah Gyeon Woo dalam drama ini secara dramatis menggambarkan bagaimana persepsi dan keyakinan akan “kesialan” bisa memengaruhi kehidupan seseorang.

Pandangan Islam tentang Kesialan

Islam menolak konsep kesialan yang dikaitkan dengan waktu, benda, atau makhluk tertentu. Buya Yahya dan ulama seperti Imam al-Munawi menegaskan bahwa keyakinan semacam ini tergolong tathayyur (menganggap sesuatu sebagai pertanda buruk) dan tasya’um (prasangka buruk), yang bertentangan dengan akidah. Dalam Islam, semua hari adalah baik. Keburukan terjadi karena dosa manusia atau sebagai bagian dari takdir Allah, bukan karena pengaruh hari tertentu.

Firman Allah dalam Surah Al-Fajr: 1–2, “Demi fajar, dan malam yang sepuluh…”, menunjukkan bahwa waktu adalah ciptaan Allah yang tidak memiliki kekuatan apa pun. Keyakinan pada hari sial bahkan bisa menyeret seseorang pada syirik kecil karena menganggap ada kekuatan selain Allah yang menentukan nasib.

Syekh as-Suhaili dan Imam al-Munawi menegaskan bahwa hanya orang yang meyakini kesialanlah yang akan merasakannya. Artinya, jika seseorang menganggap suatu hari buruk, maka ia sendiri yang menarik “kesialan” itu akibat prasangkanya. Sebaliknya, seorang muslim yang bertawakal dan yakin bahwa semua ketetapan berasal dari Allah tidak akan terpengaruh oleh mitos semacam itu.

Fenomena Suami Takut Istri: Meneladani Sikap Sahabat Nabi dan Psikologi Modern

Rasulullah SAW juga bersabda, “Tidak ada penyakit (yang menular dengan sendirinya), tidak ada kesialan, dan tidak pula burung pembawa sial.” (HR. Bukhari).

Ini menunjukkan bahwa musibah atau keberuntungan sepenuhnya bergantung pada takdir dan izin Allah, bukan pada faktor eksternal. Oleh karena itu, Islam mengajarkan umatnya untuk selalu berprasangka baik (husnuzan) kepada Allah dan menjauhi segala bentuk kepercayaan tahayul. Kita harus menyikapi musibah dengan sabar dan tawakal, karena musibah bisa menjadi ujian, penghapus dosa, atau peningkat derajat di sisi Allah. Keyakinan akan hari sial hanya akan melemahkan iman dan menjauhkan seseorang dari perlindungan Allah.

Sebagaimana firman-Nya dalam Surah At-Talaq: 3, “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkannya.”

Dengan demikian, seorang muslim yang kuat imannya tidak akan terjebak dalam kepercayaan kosong tentang kesialan, melainkan fokus pada amal shaleh dan ketergantungan penuh kepada Allah SWT.

Hikmah di Balik Musibah dan Kekuatan Prasangka

Sementara drama Head Over Heels menggambarkan penderitaan karakter yang terjebak dalam lingkaran kesialan, Islam menawarkan pandangan yang lebih dalam dan memberdayakan. Islam menegaskan bahwa takdir berasal dari kehendak Allah, dan seorang Muslim harus merespons musibah dengan sabar dan tawakal, bukan dengan putus asa atau percaya pada kesialan mistis. Dalam Islam, kesialan lebih dipandang sebagai akibat dari dosa, bukan takdir mutlak atau sifat bawaan hari atau individu tertentu.

Budaya Workaholic: Mengancam Kesehatan Tubuh dan Kualitas Ibadah

Dari sudut pandang agama, Allah mengikuti prasangka hamba-Nya. Jika hamba-Nya berprasangka buruk, Allah bisa mengikutinya. Sebaliknya, jika ia yakin akan kebaikan dari Allah, maka Allah pun bisa mengabulkan harapan itu. Karena itu, seorang Muslim sebaiknya fokus memperbaiki diri, taat kepada Allah, dan menjaga prasangka baik, bukan takut pada kesialan yang tak berdasar dalam ajaran agama. Wallahu a’lam.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement