SURAU.CO – Bulan Suro di Jawa mengandung nilai lebih dari tradisi dalam Tahun Baru Islam. Masyarakat memaknainya sebagai ruang spiritual yang menyatukan semangat hijrah, ritual slametan, dan refleksi budaya lokal. Tradisi ini mencerminkan bagaimana Islam, sejak awal hadir di Nusantara, tidak menyingkirkan kepercayaan lama. Sebaliknya, Islam bernegosiasi dengan sistem budaya yang lebih dulu hidup di tengah masyarakat.
Sejarah Suro dalam Budaya Jawa
Setiap kali 1 Muharram tiba, umat Islam di berbagai belahan dunia memperingati momen hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah—peristiwa penting yang menjadi dasar penanggalan Hijriyah. Di Indonesia, khususnya di tanah Jawa, masyarakat menyebut bulan Muharram sebagai Suro. Mereka mengambil istilah ini dari kata Arab Asyura (sepuluh), yang merujuk pada tanggal 10 Muharram, salah satu hari yang memiliki keutamaan dalam Islam. Namun, Suro bukan sekadar terjemahan bahasa, ia telah menjadi ruang simbolik yang kaya, tempat bertemunya semangat hijrah dengan warisan ritual budaya lokal.
Tradisi memperingati bulan Suro tidak bisa dilepaskan dari proyek besar Sultan Agung Hanyokrokusumo, Raja Mataram Islam, yang pada 8 Juli 1633 memperkenalkan Kalender Jawa. Sistem kalender ini menggabungkan kalender lunar Islam dengan sistem penanggalan Hindu-Jawa. Tujuannya bukan hanya administratif, melainkan strategis secara budaya dan politik—menyatukan kelompok santri dan abangan dalam satu sistem waktu yang bisa diterima bersama. Dengan langkah ini, Sultan Agung tidak menghapus budaya lama, tapi justru menyesuaikannya dengan nilai-nilai Islam.
Praktikalitas Suro
Dalam praktiknya, masyarakat Jawa memperingati 1 Suro dengan nuansa yang hening, kontemplatif, dan spiritual. Tidak ada pesta atau keramaian. Sebaliknya, banyak orang memilih tirakat, puasa, ziarah ke makam leluhur, atau melakukan ritual slametan di rumah-rumah. Dalam bukunya The Religion of Java (1960), Clifford Geertz mencatat bahwa banyak kelompok abangan merayakan Suro, bahkan sebagian di antara mereka secara sadar mengambil jarak dari ortodoksi Islam. Ia menulis bahwa beberapa kalangan menganggap 1 Suro sebagai warisan budaya yang telah lebih dulu hadir sebelum Islam.
Geertz mencatat salah satu bentuk slametan yang dilakukan masyarakat, yakni ritual penghormatan kepada Hasan dan Husain—dua cucu Nabi Muhammad SAW. Dalam cerita rakyat yang berkembang, keduanya ingin membuat slametan untuk Nabi, namun beras yang mereka cuci terbuang ke sungai karena diinjak-injak kuda musuh. Mereka lalu memasak nasi yang bercampur pasir, dan menyajikannya sebagai bubur. Maka dalam ritual ini, dibuat dua jenis bubur: satu dengan pasir dan batu kecil (untuk mengenang Hasan dan Husain), satu lagi berisi kacang dan singkong goreng (untuk masyarakat umum). Meski praktik ini tergolong langka, ia menunjukkan betapa kuatnya imajinasi religius yang tumbuh di masyarakat Jawa.
Konvergensi Antar Nilai
Meski Geertz menilai beberapa ekspresi Suro sebagai “anti-Islam”, realitas sosial di Jawa lebih kompleks dari label semacam itu. Tradisi Suro menunjukkan adanya sinkretisme, bukan semata penolakan terhadap Islam. Ruang ini mempertemukan nilai Islam dengan warisan Kejawen. Dari perjumpaan itu, masyarakat Jawa melahirkan bentuk-bentuk perayaan religius yang khas dan tetap hidup hingga kini.
Warga di daerah seperti Yogyakarta, Surakarta, hingga desa-desa di Banyumas dan Banyuwangi, rutin menggelar prosesi budaya untuk menyambut Suro. Kirab, sedekah bumi, pawai pusaka, dan larung sesaji menjadi bagian dari tradisi tersebut. Masyarakat Jawa melihat kegiatan ini sebagai bagian dari spiritualitas mereka. Walaupun tidak secara langsung menampilkan ajaran Islam teologis, mereka tetap mengekspresikan iman lewat cara yang selaras dengan kosmologi lokal.
Umat Islam memaknai Muharram sebagai awal tahun dengan semangat hijrah dan introspeksi. Masyarakat Jawa menambahkan dimensi sosial-budaya dalam peringatan tersebut. Mereka tidak hanya berdoa dan mengaji saat 1 Suro, tapi juga menggelar kirab pusaka, ruwatan, dan pertunjukan wayang.
Artikel East Meets West: When the Islamic and Gregorian Calendars Coincide (2018) menjelaskan adanya keragaman persepsi tentang Asyura. Di satu sisi, banyak komunitas Syiah memperlakukan Muharram sebagai bulan duka, sementara sebagian besar Muslim Sunni menjadikannya bulan kontemplasi. Dalam artikel itu, Muharram bertepatan dengan Januari dalam kalender Masehi, efek psikologis dan spiritualnya bisa berlapis—sebuah momen refleksi dalam dua sistem kalender sekaligus.
Suro sebagai Ruang Konvergensi
Tradisi Malam Suro di Jawa bukan hanya soal perayaan secara simbolik, tapi juga ruang konvergensi untuk memaknai spiritualitas. Dengan kata lain, selain melakukan simbolisasi perpindahan melalui perjalanan secara fisik, Suro juga merepresentasikan transformasi nilai. Peringatan Suro mengingatkan bahwa masyarakat dapat menghadirkan tradisi yang menyerap nilai baru tanpa menolak budaya lama, menghidupkan spiritualitas dengan caranya sendiri, dan memberi makna pada keheningan yang tidak agresif dan penuh kesadaran.
Tradisi 1 Suro mengajak kita untuk berhenti sejenak. Momentum ini diharapkan mendorong kita menengok ke dalam. Untuk merenungi perjalanan batin serta menjalani hijrah dengan sederhana.
.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
