Politik
Beranda » Berita » Menanti Keseriusan Mewujudkan Keterwakilan Perempuan

Menanti Keseriusan Mewujudkan Keterwakilan Perempuan

Menanti Keseriusan Mewujudkan Keterwakilan Perempuan
Visualisasi Keterwakilan Perempuan dalam Politik. Sumber:Meta AI

SURAU.CO. Isu keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia bukanlah hal baru. Pada 29 Juli 1980, Indonesia menandatangani Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan saat Konferensi Sedunia Dasawarsa Perempuan PBB di Kopenhagen. Selanjutnya, Indonesia mengesahkan konvensi ini melalui UU Nomor 7 Tahun 1984, yang berlaku efektif mulai 24 Juli 1984.

Sejak era reformasi, Indonesia telah menunjukkan komitmen formal terhadap peningkatan partisipasi politik perempuan. Setidaknya dengan menetapkan kuota 30 persen perempuan dalam pencalonan anggota legislatif. Namun sampai dengan saat ini, realisasi dari keterwakilan perempuan ini masih jauh dari kata ideal. Dalam sejarah parlemen Indonesia, belum pernah ada anggota legislatif terpilih yang mencapai angka minimal 30 persen.

Keterwakilan Perempuan dalam Politik 

Dalam Jurnal Ilmiah Kajian Gender (2020) yang berjudul Kesetaraan Gender dalam Politik: Pembinaan Kader Perempuan oleh Partai Politik, Upaya Menuju Penguatan Kapasitas Legislatif Daerah, Valina Singka Subekti menyatakan bahwa:. Keterwakilan perempuan dalam politik memiliki beberapa argumen penting. Pertama, terkait dengan hak-hak politik perempuan yang merupakan bagian integral yang tak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia. Kedua, dalam sistem demokrasi, pandangan dari kelompok-kelompok yang berbeda harus dipertimbangkan dalam formulasi kebijakan strategis. Ketiga, terkait dengan masalah kuantitas bahwa perempuan adalah bagian terbesar dari penduduk Indonesia. Keempat, terkait dengan persoalan kompleks yang dihadapi Indonesia seperti masalah ekonomi, lapangan kerja, kemiskinan dan integrasi bangsa yang mana perempuan adalah bagian terbesar dari mereka yang kurang beruntung, sehingga mereka tetap berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan.

Keterwakilan perempuan di parlemen lahir dan berkembang dari konsep pengakuan hak asasi manusia khususnya hak asasi perempuan dalam bidang politik. Hak politik perempuan mencakup hak untuk berpartisipasi tanpa diskriminasi dalam semua aktivitas politik.

Fakta Keterwakilan Perempuan dalam Politik di Indonesia

Partisipasi perempuan dalam bidang politik di Indonesia sudah berkembang sedemikian rupa. Pemerintah menerapkan kuota minimal 30% bagi perempuan tidak hanya dalam pencalonan anggota legislatif, tetapi juga dalam kepengurusan partai politik dan lembaga penyelenggara pemilu. Namun dalam praktek sesungguhnya, keterwakilan perempuan dalam dunia politik belum mencapai target minimal 30%.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Tingkat keterpilihan perempuan menjadi anggota legislatif dalam hal ini anggota DPR pada Pemilu 2024 mencapai angka 22,24 persen. Proporsi ini naik signifikan dari Pemilu 2019 yang tercatat 19,48 persen. Namun hasil ini masih belum mencapai angka 30% keterpilihan perempuan di DPR.

Peraturan Keterwakilan Perempuan dalam Pencalonan

Pemilu 2024 dan 2019 sama-sama mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Undang-Undang Pemilu di Indonesia menetapkan sistem kuota 30% untuk pencalonan perempuan hanya pada anggota DPR dan DPRD, sementara Pemilu anggota DPD tidak memiliki aturan kuota serupa.

Pasal 245 dan 246 Undang-Undang Pemilu menetapkan kuota 30% pencalonan perempuan. Penjelasan pasal tersebut menegaskan bahwa dalam setiap tiga bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya. Sistem ini menerapkan modifikasi zipper, di mana minimal satu dari tiga calon adalah perempuan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak secara tegas menjelaskan penempatan nomor urut calon perempuan. Namun, ketentuan 30% keterwakilan perempuan dan modifikasi sistem zipper sudah diterapkan melalui Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pencalonan Pemilu 2014. KPU memberikan sanksi bagi partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi kuota pencalonan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%, berupa pembatalan partai politik sebagai peserta pemilu pada dapil yang tidak memenuhi kuota minimal sesuai ketentuan.

KPU konsisten melaksanakan aturan tentang 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan mulai pelaksanaan Pemilu 2014 sampai dengan pelaksanaan Pemilu 2019, tetapi tidak pada Pemilu 2024. Pemilu 2024 dan 2019 mengacu pada Undang-Undang yang sama, tetapi berbeda dalam penerapan 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan legislatif.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Pembangkangan Konstitusi oleh Penyelenggara Pemilu

Tidak semua pihak mendukung semangat mewujudkan keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen. Pada Pemilu 2024, KPU sebagai Lembaga penyelenggara Pemilu menciderai komitmen negara dalam mewujudkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen. KPU membuat keteledoran dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 Pasal 8 ayat (2) huruf (b) dengan mengatur pembulatan ke bawah untuk angka pecahan kurang dari 50 di belakang koma.

Penerapan ketentuan ini menyebabkan banyak partai politik gagal mencapai kuota 30% perempuan dalam daftar calon legislatif di berbagai daerah pemilihan. NETGRIT mencatat setidaknya 267 daftar calon legislatif dari partai politik yang didaftarkan ke KPU gagal mencapai kuota 30% perempuan, namun dinyatakan memenuhi syarat. Jumlah 267 daftar calon anggota legislatif yang seharusnya tidak memenuhi syarat ini hanya untuk daftar calon anggota DPR. Jumlah daftar calon legislatif anggota DPRD di seluruh Indonesia yang tidak memenuhi kuota keterwakilan 30% perempuan jauh lebih banyak lagi.

Kuota 30% keterwakilan perempuan mensyaratkan bahwa dalam daftar calon legislatif, jumlah perempuan minimal 30%—boleh lebih, tapi tak boleh kurang. Jika jumlah perempuan dalam daftar calon anggota legislatif kurang dari 30%, maka bertentangan dengan ketentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% dalam pasal 245 Undang-Undang Pemilu.

Gugatan 

KPU menyusun PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan, terutama Pasal 8 ayat (2) huruf (b) yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu, sehingga menimbulkan gugatan ke banyak lembaga peradilan Pemilu. Perludem, KPI, dan tiga warga negara—Hadar, Titi, dan Wahidah—mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung terkait PKPU Nomor 10 Tahun 2023. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan uji materiil mengenai pembulatan ke bawah untuk pembagian jumlah kursi dengan angka desimal di bawah 50. Perubahan pembulatan dari ke atas menjadi ke bawah bertentangan dengan Undang-Undang yang mewajibkan kuota 30% keterwakilan perempuan.

Koalisi Masyarakat Sipil melaporkan dugaan pelanggaran administrasi Pemilu kepada Bawaslu RI terkait tindakan yang dilakukan oleh KPU RI. Hasilnya Bawaslu RI memutuskan KPU RI melakukan pelanggaran administrasi mengenai target keterwakilan calon anggota legislatif perempuan sebesar 30%. Bawaslu meminta KPU memperbaiki administrasi tata cara pencalonan DPR RI dengan menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung Nomor 24/P/HUM/2023.

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Dalam putusannya Bawaslu juga memberi peringatan agar KPU tidak mengulangi perbuatan melanggar aturan. Namun KPU tidak menindaklanjuti kedua putusan tersebut, baik putusan MA ataupun putusan Bawaslu. Pemilu 2024 tetap berjalan dengan keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif tidak mencapai angka 30%.

Akhirnya para pegiat Pemilu dari berbagai Lembaga melaporkan KPU ke DKPP terkait Tindakan KPU yang tidak mematuhi ketentuan Undang-Undang Pemilu, Putusan Mahkamah Agung dan Putusan Bawaslu mengenai pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan. DKPP menilai tindakan KPU merupakan tindakan pembangkangan terhadap hukum dan etika yang telah menimbulkan dampak luas dan merugikan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk memenuhi keterwakilan perempuan dalam politik. DKPP juga menilai KPU telah menunjukkan sikap yang tidak berpihak pada kepentingan perempuan dalam pemenuhan kebutuhan perempuan dibidang politik sebagaimana ketentuan dan CEDAW dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. DKPP menjatuhkan sanksi Peringatan Keras kepada KPU RI.

Pelanggaran Konstitusi

Tindakan KPU yang melanggar Undang-Undang Pemilu dan beberapa putusan peradilan yang menangani perkara Pemilu terkait 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif merupakan pelanggaran konstitusi. Pada akhirnya berdampak terhadap kerugian negara sebagai akibat dari gugatan sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi. MK membatalan hasil Pemilu di dapil VI DPRD Provinsi Gorontalo dan memerintahkan dilaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa perempuan dalam daftar calon anggota legislatif tidak boleh dibawah angka 30 persen untuk setiap dapil. Sayangnya yang mengajukan gugatan sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi hanya di daerah Pemilihan VI DPRD Provinsi Gorontalo saja, meskipun sebenarnya ada ribuan daerah pemilihan se Indonesia yang tidak memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan.

Sejarah Buruk

KPU RI Periode 2022 – 2027 telah menorehkan sejarah buruk dan kemunduran dalam upaya afirmasi kesetaraan gender dalam politik di Indonesia. Meskipun KPU sudah menerima sanksi berupa peringatan keras oleh DKPP, namun tidak memberi dampak sama sekali. Sanksi yang diterima KPU dinilai tidak sebanding dengan dampak kerusakan konstitusi dan sistem demokrasi yang telah diatur dengan jelas. Seyogyanya KPU RI periode 2022-2027 tidak hanya mendapatkan sanksi hukum yang lebih berat dari sekedar peringatan. Akan tetapi juga mendapatkan sanksi moral, sosial dan politik yang setara. KPU tidak berdiri sendiri sebagai Lembaga penyelenggara Pemilu, Bawaslu juga harusnya mendapatkan sanksi yang setara. Karena Bawaslu tidak melakukan tugas dan kewajibannya mengawasi setiap tahapan Pemilu dan mengawasi pelaksanaan putusan terkait Pemilu.

Lembaga penyelenggara pemilu dalan menjaga demokrasi dan konstitusi membutuhkan orang-orang yang memiliki integritas yang tinggi. Keterpilihan anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 dalam menjaga demokrasi sebagai anggota penyelenggara Pemilu perlu dipertimbangkan dengan baik periode berikutnya.

KPU dan Bawaslu dinilai tidak serius dalam mewujudkan afirmasi kesetaraan gender dan komitmen bangsa Indonesia untuk memajukan dan memenuhi hak-hak perempuan dalam politik, tidak hanya terlihat dari proses pencalonan anggota legislatif yang tidak afirmatif dan melanggar Undang-Undang. Tetapi juga representasi perempuan dalam keanggotaan KPU dan Bawaslu dari pusat sampai ke daerah. KPU dan Bawaslu belum memenuhi ketentuan Undang-Undang Pemilu terkait keterwakilan perempuan minimal 30% dalam keanggotaan mereka.

Mewujudkan Keterwakilan Perempuan dalam Politik

Pentingnya keterwakilam perempuan 30%, agar secara politik perempuan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Dengan keterwakilan perempuan 30% dapat menghasilkan kebijakan politik yang lebih responsif terhadap kebutuhan seluruh warga negara. Dalam hal ini termasuk perempuan itu sendiri dan kaum marginal lainnya. Perempuan di parlemen perlu berperan aktif dan memberikan kontribusi nyata dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Perempuan di parlemen dengan jumlah minoritas akan sulit dalam memperjuangan aturan yang berpihak pada perempuan. Perempuan tidak bisa saling mendukung dalam mempengaruhi kebijakan yang dapat memunculkan perubahan budaya politik baru.

Pengaturan hukum dalam Undang-Undang Pemilu tidak menjadi satu-satunya faktor penentu rendahnya keterwakilan perempuan dalam politik. Namun afirmasi kesetaraan gender dalam menjaga keterwakilan perempuan dalam politik perlu menjadi perhatian dalam pembahasan RUU Pemilu yang sedang bergulir. RUU Pemilu seharusnya menjadi pintu masuk penting dalam memperkuat afirmasi terhadap perempuan di ranah politik. Selama ini, ketentuan afirmatif dalam UU Pemilu mewajibkan parpol mencantumkan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif. Namun, tanpa sanksi tegas bagi pelanggaran ketentuan tersebut, implementasinya cenderung bersifat simbolik. Demikian juga dalam pengaturan keterwakilan perempuan sebagai anggota penyelenggara Pemilu selama ini hanya memperhatikan, tidak mewajibkan. Berbagai pihak dapat saja memanipulasi pengaturan dalam Undang-Undang Pemilu melalui peraturan teknis.

Kita membutuhkan undang-undang yang memberikan kepastian hukum untuk memperkuat dan memberikan jaminan keterwakilan perempuan dalam politik. Tidak hanya bagi pelaksanaan Pemilu dan penyelenggara Pemilu saja. Partai politik perlu membuat aturan yang efektif untuk menyeleksi dan menghadirkan calon perempuan yang memenuhi syarat dan memiliki potensi besar untuk dipilih. Banyak partai politik yang hanya mematuhi aturan kuota secara administratif, bukan substansial. Sehingga kemungkinan perempuan terpilih sebagai anggota legislatif sangat kecil. Bahkan dalam banyak kasus, penempatan mereka lebih bersifat pelengkap demi memenuhi persyaratan administratif pendaftaran. Akibatnya, proporsi perempuan yang benar-benar terpilih sebagai anggota legislatif masih stagnan dan sulit mencapai angka 30 persen.

Penutup

Perlu keberanian politik para legislator untuk memperkuat ketentuan afirmatif dalam menyusun RUU Pemilu. Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif bukan sekadar soal keadilan gender. Ini menyangkut kualitas demokrasi dan kebijakan publik yang lebih inklusif. Perempuan membawa perspektif berbeda dalam merumuskan kebijakan, khususnya yang menyentuh isu kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, hingga perlindungan terhadap kelompok rentan.

Indonesia tidak kekurangan perempuan-perempuan hebat yang mampu berkontribusi di dunia politik. Perlu sistem yang berpihak dan mendorong keterlibatan perempuan. RUU Pemilu dapat menjadi wujud nyata dari keseriusan negara dalam menjadikan demokrasi kita lebih setara. Kini, bola ada di tangan para pembuat kebijakan. Publik menanti, apakah RUU Pemilu akan menjadi instrumen perubahan menuju keterwakilan perempuan yang lebih bermakna. Ataukah justru kembali menjadi dokumen kompromi yang mengabaikan suara setengah populasi bangsa ini.

Kembali

Pesan Anda telah terkirim

Peringatan
Peringatan
Peringatan
Peringatan

Peringatan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement