Opinion
Beranda » Berita » Mengamati Geopolitik Energi Dalam Konflik Timur Tengah, Iran Israel

Mengamati Geopolitik Energi Dalam Konflik Timur Tengah, Iran Israel

Mengamati Geopolitik Energi Dalam Konflik Iran Israel.

 

Gejolak di Timur Tengah kembali terjadi. Kali ini antara Israel dan Iran. Seolah-olah ketidakstabilan kawasan ini sudah direncanakan untuk tidak pernah ada. Tentu kita semua bertanya-tanya kenapa kestabilan di Timur Tengah merupakan barang mahal dan susah didapat?

Sahabat energi yang ingin mendalami dari sudut pandang geopolitik energi disarankan untuk membaca buku The Prize karangan Daniel Yergin yang mengupas sisi-sisi gelap dan terang konflik antar negara yang bermuara pada ketahanan energi. Dengan menggunakan data-data yang otentik, buku ini mampu merangkai cerita yang membuat kita berpikir ulang tentang kenapa konflik terjadi. Tentu kita tidak bisa menafikan peran uang dan kekuasaan (power) dalam membaca geopolitik energi.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas buku The Prize tapi mencoba mengamati apa yang dipertaruhkan oleh Israel dan Iran yang tentunya berpengaruh besar terhadap kestabilan pasokan minyak dan gas dunia. Selain kedua negara ini, tentu kita harus bisa membaca persepektif geopolitik energi dari sisi Arab Saudi, Irak, Kuwait, Syria, Jordan, Qatar dan Mesir.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Satu hal yang sudah pasti terjadi adalah harga minyak mentah Brent naik dari USD 65 per barrel di awal Juni menjadi USD 73 di pertengahan Juni 2025. Seperti yang kita tahu Israel menyerang Iran pada tanggal 13 Juni 2025. Hanya beberapa saat setelah serangan ini, harga minyak mentah langsung bergejolak.

Sekali lagi kita diingatkan akan volatilitas harga minyak mentah dunia. Satu peristiwa bisa mengubah harga minyak mentah dalam sekejap. Coba kita lihat gejolak harga minyak mentah untuk tahun ini. Sewaktu Presiden Trump mengumumkan kenaikan tarif impor pada tanggal 9 April 2025, harga minyak mentah Brent turun dari USD 76 per barrel menjadi USD 65 per barrel dua bulan kemudian. Begitu juga dengan serangan Israel ke Iran, harga minyak mentah langsung naik.

Secara sederhana kita bisa melihat bahwa logika dasar dalam dagang terpusat pada hukum suplai dan demand. Tentu kita tidak bisa memungkiri hukum sebab akibat ini. Tapi, apakah dalam bidang energi hanya hukum ini yang menjadi faktor penting yang menentukan harga?

Mari kita lihat dari dua peristiwa yang mengakibatkan bergejolaknya harga minyak dalam tahun ini. Sebelum Presiden Trump mengumumkan kenaikan tarif, kondisi suplai minyak mentah sedikit diatas demand. Untuk menstabilkan harga, OPEC+ sudah berencana untuk memotong sisi suplai agar harga minyak bisa pada kisaran antara USD 75 dan USD 80 per barrel sampai akhir tahun 2025.

Belum sempat OPEC+ melakukan rencana aksi, muncul peristiwa kenaikan tarif yang sangat mengejutkan. Pertanyaannya adalah apakah pada saat itu suplai dan demand berubah? Jawaban tentu saja tidak. Yang berubah adalah persepsi para trader bahwa ke depan pertumbuhan ekonomi akan melambat yang mengakibatkan berkurangnya demand. Sehingga harga minyak mentah menjadi turun.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Apakah persepsi ini benar? Menurut International Energi Agency (IEA), pada bulan April, Mei dan Juni, pertumbuhan demand memang melambat tapi secara keseluruhan demand tetap naik dibandingkan awal tahun.

Bagaimana dengan serangan Israel terhadap Iran? Lagi-lagi demand real pada bulan Juni tetap naik tapi persepsi trader yang menganggap demand pada bulan-bulan ke depan akan turun sehingga harga juga turun. Seluk beluk trading oil and gas mungkin bisa kita bahas dalam kesempatan lain.

Selain harga minyak, apa lagi yang sedang dipertaruhkan dengan konflik Israel dan Iran ini. Sampai tulisan ini ditulis, Israel maupun Iran belum menargetkan untuk menyerang fasilitas-fasilitas produksi dan pengolahan migas di masing-masing negara. Walaupun Iran melaporkan ada depo minyak dan fasiltas pengolahan gas yang kena serang sehingga harus dimatikan (shut in).

Kita berharap tentu fasilitas-fasilitas migas ini tidak terganggu. Namun demikian kalau ini terjadi maka akan ada sekitar 3.3 juta bopd produksi minyak mentah dan sekitar 2 juta bopd ekspor dari Iran yang terhenti. Artinya sekitar 3% suplai minyak mentah dunia akan terganggu. Seperti yang kita tahu Iran mempunyai cadangan minyak no 8 didunia sementara untuk cadangan gas no 4.

Selanjutnya, sekitar 20% ekspor minyak mentah dan 20% ekspor LNG melewati Selat Hormuz. Kalau Iran menutup selat ini, maka dapat dibayangkan apa yang terjadi terhadap harga minyak dan LNG ke depan. Ada yang berspekulasi bahwa harga minyak mentah bisa naik diatas USD 90 per barrel.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Bagi negara-negara pengimpor minyak mentah dan LNG harus mulai memitigasi resiko terburuk yang mungkin terjadi. Naiknya harga minyak dan LNG bukan lagi masalah ketiadaan produksi tapi sudah menyentuh masalah keamanan rantai pasok. Inilah esensi dari energy security dimana untuk mengamankan kebutuhan energi didalam negeri, maka institusi negara hadir tidak saja dalam mencari sumber minyak tapi juga mengamankan rantai pasoknya.

Bagaimana dari sisi Israel? Mungkin sebagian kita menduga bahwa Israel tidak punya produksi minyak dan gas. Ternyata dugaan ini salah. Israel punya beberapa lapangan gas yang cukup besar seperti Leviathan, Lamar dan Karish.

Produksi gas dari Israel ini selain untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri juga diekspor ke Jordan dan Mesir. Khusus untuk Mesir, seperenam kebutuhan gasnya diperolah dari Israel. Sahabat energi bisa membayangkan kalau Mesir sangat bergantung kepada impor gas dari Israel.

Dengan terjadi gejolak ini, Israel sudah memutuskan untuk menghentikan operasi lapangan-lapangan gas mereka. Tinggal sekarang Mesir dan Jordan harus mencari pengganti yang tentu tidak mudah untuk mendapatkannya.

Tulisan Daniel Yergin dalam buku The Prize sudah melihat phenomena bahwa oil and gas bisa menjadi senjata untuk mendapatkan keunggulan geopolitik (oil for weapon). Arab Saudi pernah menerapkannya sewaktu terjadi konflik Arab-Israel tahun 1973 dimana Arab Saudi menerapkan embargo minyak terhadap Amerika Serikat (AS). Akibatnya terjadi krisis energi di AS yang memicu keputusan untuk membangun Strategic Petroleum Reserve (SPR) sebagai salah satu cara untuk mencapai ketahanan energi.

Selain SPR, apalagi yang bisa kita lakukan untuk mencapai ketahanan energi? Apakah ada SPR yang tidak berbiaya mahal? Apakah renewable energi bisa dijadikan salah satu sumber untuk energy security? Apakah renewable energi bisa mengganti energi fosil? Banyak sekali tema-tema diskusi yang bisa bahas untuk menanmbah pemahaman kita terhadap energy security dan geopolitik energi. Semoga sahabat semua bisa mengambil pelajaran dari tulisan ini. Keterangan Foto (Arcandra Tahar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement