SURAU.CO – Puasa Ramadhan merupakan pilar fundamental dalam ajaran Islam yang wajib setiap Muslim tunaikan. Namun, adakalanya berbagai kondisi menghalangi seseorang untuk berpuasa penuh. Kondisi tersebut antara lain sakit, perjalanan jauh, serta haid atau nifas bagi wanita. Oleh karena itu, Islam memberikan solusi bijaksana bagi mereka yang meninggalkan puasa, yaitu melalui qadha atau kafarat. Sayangnya, banyak umat Muslim masih keliru memahami kedua istilah ini. Akibatnya, mereka berisiko tidak menunaikan kewajiban kepada Allah secara sempurna. Artikel ini akan mengupas tuntas perbedaan qadha dan kafarat secara jelas. Pembahasan ini akan mencakup definisi, pihak yang wajib menunaikan, hingga tata cara pelaksanaannya agar pemahaman kita menjadi lurus dan benar.
Memahami Makna Qadha Puasa
Secara bahasa, kata qadha berarti “mengganti”. Dalam konteks puasa, qadha adalah kewajiban mengganti puasa yang seseorang tinggalkan di hari lain di luar bulan Ramadhan. Seseorang wajib melakukan qadha jika tidak berpuasa karena memiliki uzur syar’i. Uzur ini mencakup kondisi sakit yang memberatkan, melakukan perjalanan jauh (safar) sesuai ketentuan syariat, serta haid dan nifas yang dialami wanita. Allah SWT menegaskan kewajiban qadha secara jelas dalam Al-Qur’an.
Landasannya adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 184:
“Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184).
Ayat tersebut secara lugas memerintahkan kita untuk mengganti puasa. Jumlah hari penggantinya pun harus sama persis dengan jumlah hari yang kita tinggalkan. Hal ini menunjukkan betapa Islam sangat menekankan pentingnya menjaga keutuhan ibadah puasa Ramadhan.
Memahami Makna Kafarat Puasa
Di sisi lain, kafarat memiliki makna sebagai “tebusan” atau denda. Seseorang wajib membayar kafarat sebagai konsekuensi dari pelanggaran berat. Pelanggaran tersebut adalah tindakan membatalkan puasa Ramadhan secara sengaja tanpa ada uzur yang syariat benarkan. Salah satu contoh paling umum adalah melakukan hubungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadhan. Dasar hukum mengenai kafarat ini berasal dari hadits Nabi Muhammad SAW yang Abu Hurairah riwayatkan.
“Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan berkata: ‘Aku telah binasa, wahai Rasulullah!’ Nabi bertanya: ‘Apa yang terjadi padamu?’ Ia menjawab: ‘Aku telah menggauli istriku di siang hari Ramadhan.’ Rasulullah bersabda: ‘Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Rasulullah bersabda: ‘Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Rasulullah bersabda: ‘Apakah kamu mampu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Ia menjawab: ‘Tidak.'” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari dialog ini, kita memahami bahwa kafarat memiliki tingkatan. Pelakunya harus menunaikan tebusan tersebut secara berurutan sesuai kemampuannya.
Konsekuensi Menunda Qadha Puasa
Selanjutnya, bagaimana jika seseorang menunda pembayaran hutang puasa? Apabila seseorang menunda qadha tanpa uzur hingga Ramadhan berikutnya tiba, maka ia menanggung konsekuensi tambahan. Selain tetap wajib mengqadha, ia juga harus membayar fidyah. Fidyah ini berfungsi sebagai denda atas keterlambatan tersebut. Beberapa ulama besar, termasuk Ibnu Qudamah dan Ibnu Abbas, mendukung pendapat ini.
Namun, hukumnya menjadi berbeda jika penundaan tersebut terjadi karena adanya uzur syar’i yang berkelanjutan. Sebagai contoh, seseorang menderita sakit berkepanjangan yang membuatnya tidak mungkin berpuasa. Dalam kondisi ini, ia hanya wajib mengqadha puasanya saja tanpa ada kewajiban membayar fidyah. Hal ini menunjukkan betapa fleksibelnya hukum Islam saat menghadapi kondisi-kondisi tertentu.
Tata Cara Pembayaran Kafarat yang Benar
Syariat Islam telah mengatur tata cara pembayaran kafarat secara jelas dan mengikat. Seseorang harus mengikuti tiga tingkatan kafarat ini secara berurutan. Berikut adalah rinciannya:
-
Memerdekakan budak. Pada zaman sekarang, opsi pertama ini sudah tidak relevan karena praktik perbudakan secara resmi telah tiada.
-
Berpuasa dua bulan berturut-turut. Kemudian, jika opsi pertama tidak mungkin, pelaku wajib menjalankan opsi kedua ini. Ia harus berpuasa tanpa jeda satu hari pun, kecuali jika ada uzur syar’i seperti sakit atau haid bagi wanita.
-
Memberi makan 60 orang miskin. Terakhir, jika berpuasa dua bulan berturut-turut juga tidak mampu, ia harus memilih opsi ketiga. Ukuran makanan pokok yang ia berikan adalah satu mud (kurang lebih 750 gram) untuk setiap orang miskin.
Hikmah di Balik Syariat Qadha dan Kafarat
Setiap syariat dalam Islam sudah pasti mengandung hikmah yang mendalam, begitu pula dengan qadha dan kafarat. Keduanya mencerminkan keseimbangan sempurna antara keadilan dan kasih sayang Allah. Qadha dan kafarat bukanlah sekadar hukuman, melainkan juga bentuk pendidikan dan penanaman rasa tanggung jawab. Melalui qadha, Allah memberikan kesempatan bagi hamba-Nya yang berhalangan untuk tetap menyempurnakan ibadah. Sementara itu, kafarat memberikan efek jera agar tidak ada yang meremehkan kesucian ibadah puasa. Dengan demikian, pemahaman yang benar akan menuntun setiap Muslim untuk lebih berhati-hati dan senantiasa menjaga kemuliaan bulan Ramadhan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
