Politik
Beranda » Berita » Sengketa Pulau Aceh-Sumut: Gegabah atau Balas Jasa Politik?

Sengketa Pulau Aceh-Sumut: Gegabah atau Balas Jasa Politik?

Sumber Dari Media External

Sebuah keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berpotensi menjadi bom waktu. Keputusan ini menyangkut status kepemilikan empat pulau di perbatasan. Polemik Sengketa Pulau Aceh-Sumut pun memanas dengan cepat. Awalnya, pulau-pulau tersebut berada di bawah administrasi Provinsi Aceh. Namun, sebuah peraturan baru diduga mengalihkannya ke Provinsi Sumatera Utara. Langkah ini dinilai banyak pihak terlalu gegabah. Bahkan, ia berisiko memicu konflik horizontal yang serius antara dua provinsi bertetangga. Di tengah situasi ini, muncul berbagai spekulasi. Sengketa Pulau Aceh-Sumut Sebagian kalangan menilai Kemendagri tidak cermat dalam mengambil keputusan. Di sisi lain, ada dugaan kuat bahwa langkah ini sarat dengan muatan politis. Muncul pertanyaan, apakah ini murni kelalaian administrasi, atau ada upaya “balas jasa” untuk kepentingan politik tertentu di tingkat nasional?

Akar Masalah: Keputusan Kemendagri yang Memicu Polemik

Pangkal masalah terletak pada penetapan batas wilayah. Empat pulau yang menjadi objek sengketa adalah Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang. Selama ini, pulau-pulau tersebut secara historis dan administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Pulau Banyak Barat, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh. Masyarakat dan pemerintah Aceh memegang teguh data historis ini. Namun, ketetapan Kemendagri seolah mengabaikan fakta tersebut. Pemerintah Aceh menilai keputusan ini tidak transparan dan tanpa sosialisasi yang memadai. Pemerintah Pusat/Kemendagri juga tidak pernah melibatkan Pemerintah Aceh dalam diskusi mendalam. Akibatnya, sentimen kedaerahan mulai menguat. Masyarakat Aceh pun merasa Pemerintah Pusat telah merampas hak wilayah mereka secara sepihak Ini bukan sekadar persoalan administrasi. Ini adalah soal harga diri dan kedaulatan sejarah.

Potensi Konflik Akibat Keputusan yang Gegabah

Keputusan Kemendagri mengenai batas wilayah Aceh-Sumut sangat sensitif karena berpotensi memicu konflik berkepanjangan. Sejarah mencatat bahwa sengketa wilayah adalah pertaruhan harga diri yang dapat menyulut gesekan sosial, sehingga langkah yang terkesan gegabah ini menempatkan pemerintah pusat dalam posisi sulit.  Polemik ini semakin rumit karena tidak bisa dilepaskan dari konteks politik nasional. Muncul dugaan kuat bahwa kebijakan ini merupakan “balas jasa” Mendagri Tito Karnavian untuk memuluskan agenda politik menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution. Selama ini kebersamaan Tito karnavian di dua periode pemerintahan sebelumnya dengan Jokowi. Termasuk beberapa agenda politik Jokowi yang sering dipikul Tito Karnavian.

Spekulasi ini diperkuat oleh prinsip politik bahwa tidak ada ‘makan siang gratis’; setiap kebijakan strategis di masa krusial sering kali menjadi instrumen untuk tujuan tersembunyi. Akibatnya, publik kini dihadapkan pada dilema: apakah ini murni keteledoran teknis atau manuver kekuasaan yang terencana? Untuk menjawab keraguan ini, beban pembuktian ada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah harus menjaga integritasnya dengan menunjukkan transparansi total. Caranya adalah dengan membuka seluruh data historis, kajian yuridis, dan proses pengambilan keputusan kepada publik. Tanpa langkah ini, kecurigaan adanya intervensi politik akan terus merusak kepercayaan masyarakat.

Solusi Jangka Panjang atau Kemenangan Sesaat?

Dalam Sengketa Pulau Aceh-Sumut ini, pemerintah pusat menghadapi dua pilihan. Pemerintah bisa memaksakan keputusan yang berisiko memicu konflik atau membuka kembali ruang dialog yang adil dan transparan. Tentu, pemerintah harus memilih jalan kedua yang lebih bijaksana. Pemerintah harus mendasarkan penyelesaian sengketa pada data historis, yuridis, dan aspirasi masyarakat lokal. serta  juga harus menciptakan solusi yang membawa kemakmuran bagi masyarakat di kedua provinsi, bukan sekadar memberikan kemenangan politik sesaat bagi elite. Pemerintah wajib memprioritaskan keadilan dan kesejahteraan bersama. Jika tidak, pemerintah hanya akan mewariskan konflik untuk generasi mendatang.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement