SURAU.CO -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus memperdalam analisisnya terhadap Pemilu 2024. Lembaga antirasuah ini menyoroti dugaan maraknya pelanggaran terkait praktik politik uang. Praktik politik uang menjadi fokus utama kajian KPK karena hal ini menggerogoti esensi demokrasi. Sebagai bagian dari upaya ini, KPK menggelar kunjungan kerja penting. Mereka menyambangi kantor Bawaslu Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Selasa (3/6).
Dalam kunjungan tersebut, fokus utama yang didiskusikan adalah terkait fenomena politik uang. Isu ini relevan untuk pemilu maupun pilkada di wilayah DIY. Hal ini karena di pilkada kemarin, di salah satu kabupaten di DIY ditemukan pelanggaran terkait politik uang.
Kunjungan delegasi KPK diterima oleh pimpinan dan jajaran sekretariat Bawaslu DIY. Ketua Bawaslu DIY, Mohammad Najib, memimpin pertemuan tersebut. Najib didampingi oleh dua anggota, yakni Agung Nugroho dan Sutrisnowati. Selain itu, sejumlah staf dari sekretariat Bawaslu DIY juga turut hadir. Mereka bersama-sama membahas berbagai tantangan dan strategi pengawasan pemilu.
Strategi Pencegahan Bawaslu DIY
Mohammad Najib membuka diskusi dengan data yang menarik. Ia menyampaikan bahwa DIY memiliki catatan pelanggaran yang lebih rendah. Sehingga, jika dibandingkan dengan provinsi lain, angkanya terbilang kecil. Menurutnya, hal ini bukan tanpa sebab. Bawaslu DIY sadar akan keterbatasan sumber daya. “Keterbatasan jangkauan pengawasan mendorong Bawaslu DIY untuk fokus pada pencegahan dan pengawasan partisipatif. Hal ini untuk meminimalisiasi ruang pelanggaran,” papar Najib.
Pendekatan proaktif ini menjadi kunci utama. Bawaslu DIY tidak hanya menunggu laporan masuk. Tetapi, mereka aktif mengajak masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan. Strategi ini terbukti mampu menekan potensi pelanggaran sejak dini.
Anggota Bawaslu DIY, Sutrisnowati, memberikan rincian lebih lanjut. Ia menjelaskan beberapa inisiatif konkret yang telah berjalan. Bawaslu DIY menginisiasi peraturan desa (perdes) tentang antipolitik uang. Mereka juga mendampingi pembentukan Desa Anti Politik Uang (APU). Menurutnya, program ini sangat efektif. Keberhasilannya didukung oleh tingkat partisipasi masyarakat DIY yang tinggi
.
Sutrisnowati merumuskan tiga pilar penting untuk melawan politik uang. Lebih jelasnya ia mengatakan, “untuk menekan politik uang, diperlukan tindakan pencegahan, rekonstruksi hukum (revisi UU), dan perlindungan pelapor,” papar Sutrisnowati. Sehingga, menurutnya, ketiga elemen ini harus berjalan beriringan untuk menciptakan ekosistem pemilu yang bersih.
Kelemahan Regulasi dan Tantangan Lapangan
Diskusi semakin mendalam saat menyoroti regulasi yang ada. Sutrisnowati secara kritis menyoroti aturan dana kampanye. Ia menilai regulasi saat ini hanya mengatur aspek prosedur. Aturan tersebut tidak menyentuh realitas yang terjadi di lapangan. Kenyataannya, banyak alat peraga seperti baliho tidak sesuai dengan laporan dana kampanye resmi.
Selain itu, pemahaman publik menjadi kendala tersendiri. Masyarakat umum sering kali kurang paham. Mereka belum mengerti unsur formil dan materiil sebuah alat bukti. Hal ini menyulitkan proses pelaporan dugaan politik uang. Akibatnya, warga menjadi ragu untuk melapor karena tidak yakin buktinya cukup kuat.
Bawaslu DIY juga menghadapi berbagai tantangan dalam pengawasan kampanye. Banyak pihak penyelenggara kampanye tidak disiplin. Mereka sering tidak mengirimkan surat pemberitahuan atau izin kampanye. Hal ini membuat pengawasan menjadi lebih sulit. Apalagi, Bawaslu juga tidak memiliki wewenang untuk mengaudit biaya kampanye secara menyeluruh.
Aturan mengenai uang saku atau transportasi dalam PKPU juga ambigu. Ketidakjelasan ini sering kali dimanfaatkan. Peserta pemilu menerjemahkannya sebagai celah untuk memberikan imbalan dalam bentuk barang atau natura. Praktik ini menyamarkan politik uang dalam bentuk lain.
Mencari Solusi Sistemik
Tantangan lain yang dihadapi Bawaslu DIY bersifat sistemik. Proses penanganan pelanggaran dibatasi waktu yang sangat singkat. Dan, sumber daya manusia (SDM) pengawas yang terbatas. Regulasi antar tahapan pemilu terkadang tumpang tindih. Aturan juga mengharuskan semua pelanggaran selesai satu bulan sebelum rekapitulasi suara. Semua ini menambah kompleksitas kerja pengawasan.
Menanggapi berbagai masukan tersebut, KPK memberikan sebuah saran inovatif. Dalam konteks ini, KPK mengusulkan agar fungsi saksi TPS dari partai politik dialihkan. Beban ini bisa diambil alih oleh pengawas pemilu resmi. Tujuannya adalah untuk mengurangi beban biaya politik yang ditanggung peserta pemilu.
Sutrisnowati menilai usulan tersebut menarik dan bisa dicanangkan. Namun demikian, ia mengingatkan sejumlah hal. “Pengawas TPS dalam kaitannya hal ini memastikan bahwa saksi peserta pemilu mendapatkan berita acara pemungutan dan pengitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi peserta pemilu,” pungkasnya. Jadi, hanya dengan satu pengawas per TPS, tugas tambahan ini memerlukan pertimbangan matang.
KPK berharap penjaringan informasi dari Bawaslu DIY ini memberikan gambaran komprehensif. Jadi, masukan ini sangat berharga untuk merumuskan rekomendasi kebijakan. Dengan demikian, ke depan diharapkan dapat menurunkan biaya politik yang sangat tinggi di Indonesia demi demokrasi yang lebih sehat. (Wan)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
