Opinion
Beranda » Berita » Dituduh Wahabi, Padahal Mengajak Kembali kepada Islam Al-Qur’an dan Sunnah

Dituduh Wahabi, Padahal Mengajak Kembali kepada Islam Al-Qur’an dan Sunnah

Dalam sejarah pemikiran dan perjuangan Islam, tak sedikit tokoh yang mengalami fitnah, salah paham, atau bahkan dijadikan sasaran tuduhan oleh kelompok-kelompok yang merasa terganggu dengan ajakan kepada kemurnian ajaran Islam. Salah satu istilah yang kerap digunakan untuk menyerang adalah “Wahabi.” Tuduhan ini sering kali dilontarkan tanpa pemahaman yang benar mengenai apa itu Wahabi dan kepada siapa tuduhan itu seharusnya ditujukan—atau bahkan apakah itu tuduhan yang pantas.

Makna Tuduhan “Wahabi”

Dalam diskursus keagamaan, istilah “Wahabi” sering digunakan untuk merujuk kepada mereka yang mengajak umat Islam untuk kembali kepada pemurnian akidah, menjauhi bid’ah, syirik, dan khurafat, serta menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama hukum dan ajaran. Tuduhan ini banyak dilontarkan kepada tokoh-tokoh yang berpegang teguh pada pemahaman salafus shalih, yakni generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

Namun dalam banyak kasus, istilah ini lebih digunakan sebagai stempel negatif untuk mendiskreditkan ulama atau dai yang tidak mengikuti tradisi keagamaan yang mapan di suatu komunitas tertentu. Akibatnya, istilah ini tidak lagi mengacu kepada satu paham atau mazhab tertentu, tetapi lebih menjadi alat politik atau sosial untuk membungkam suara reformasi dalam agama.

Tokoh-tokoh yang Dituduh “Wahabi”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Dalam gambar yang Anda unggah, terlihat tiga sosok ulama besar Indonesia yang dikenal sebagai pembaharu pemikiran Islam di tanah air. Mereka menyerukan agar umat Islam kembali kepada ajaran murni sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Namun, perjuangan mereka sering dibalas dengan tuduhan sebagai “Wahabi,” seolah-olah hal tersebut adalah kesalahan besar.

Padahal, jika dilihat secara objektif, mereka tidak menyebarkan ajaran kekerasan, tidak menolak ijtihad, dan tidak pula menghapus keberagaman pendapat dalam Islam. Mereka hanya mengajak kepada tauhid yang murni, penghapusan praktik-praktik yang tidak bersumber dari syariat, serta pembaruan pemikiran Islam agar kembali sesuai dengan semangat dan nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah.

Mengapa Ajakan Kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah Dipermasalahkan?

Ada beberapa alasan mengapa ajakan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah sering dituduh sebagai gerakan “Wahabi” atau bahkan “radikal”:

1. Mengganggu Status Quo: Banyak praktik keagamaan yang telah melembaga dalam tradisi lokal meskipun tidak memiliki dasar syariat yang kuat. Ketika ada tokoh yang mengkritik praktik-praktik ini, hal itu dianggap sebagai ancaman terhadap otoritas lokal atau tradisi yang sudah mengakar.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

2. Ketidaktahuan Umat: Tidak semua umat memiliki pengetahuan mendalam tentang ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Akibatnya, mereka lebih mudah menerima tuduhan tanpa menelusuri kebenaran.

3. Propaganda Kelompok Tertentu: Ada kelompok yang memiliki kepentingan ideologis atau politik tertentu, sehingga mereka menyebarkan narasi negatif terhadap ajakan tauhid dan pembaruan dalam Islam.

4. Salah Paham terhadap Istilah: Istilah “Wahabi” sendiri sudah terlalu kabur maknanya dan sering digunakan secara sembarangan tanpa merujuk kepada pemahaman yang benar tentang sejarah dan konteks gerakan yang dimaksud.

Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah: Kewajiban Setiap Muslim

Perintah untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah bukanlah ide baru, melainkan perintah langsung dari Allah dan Rasul-Nya:

Amalan Sunnah Harian Sesuai Dalil Dari Al-Qur’an dan Hadist

> “Jika kamu berselisih dalam suatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir.”
(QS. An-Nisa: 59)

Ayat ini menjadi prinsip utama dalam kehidupan seorang Muslim. Tidak ada jalan keselamatan kecuali dengan berpegang kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Maka, ajakan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah bukanlah sebuah gerakan baru yang bisa dicurigai, melainkan inti dari iman itu sendiri.

Perlu Keadilan dalam Menilai

Sudah seharusnya kita bersikap adil dalam menilai suatu gerakan atau tokoh. Jangan hanya karena berbeda pandangan, lalu kita menuduh seseorang sebagai “Wahabi” atau “radikal.” Tanyakan dulu: apakah mereka mengajak kepada kekerasan? Apakah mereka menyeru kepada perpecahan? Ataukah justru mereka mengajak kepada tauhid, ilmu, dan akhlak mulia?

Banyak ulama yang selama hidupnya memperjuangkan pembaruan Islam, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syed Ahmad Khan, sampai para pembaharu lokal di Indonesia. Mereka semua pernah mengalami resistensi dan tuduhan yang tidak berdasar. Namun sejarah membuktikan, ajaran mereka justru menjadi cahaya bagi umat yang ingin kembali kepada Islam yang lurus.

Kesimpulan

Tuduhan “Wahabi” sering kali hanyalah bentuk resistensi terhadap ajakan kepada kebenaran. Ia digunakan untuk menakuti umat agar menjauhi tokoh-tokoh yang berani berbicara tentang pentingnya tauhid, pentingnya ilmu, dan pentingnya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

Namun sebagai Muslim yang cerdas dan bertanggung jawab, kita tidak boleh mudah terpengaruh oleh stigma. Kita harus menilai dengan ilmu, dengan objektivitas, dan dengan semangat keadilan. Jangan sampai kita justru menjadi bagian dari fitnah terhadap para pejuang Islam yang tulus dan ikhlas mengajak umat kepada jalan yang benar.

Karena pada akhirnya, kebenaran akan selalu kembali kepada satu titik: Al-Qur’an dan Sunnah. (Tengku Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement