Kisah
Beranda » Berita » Kisah Kearifan Sunan Ampel dan Pelajaran Berharga dari Seorang Petapa Sakti

Kisah Kearifan Sunan Ampel dan Pelajaran Berharga dari Seorang Petapa Sakti

Ilustrasi

SURAU.CO – Sunan Ampel, yang memiliki nama asli Raden Rahmat, merupakan sosok ulama besar dengan garis keturunan yang luhur. Ibunya adalah seorang putri dari Campa, yang juga merupakan adik dari permaisuri Raja Majapahit, Prabu Brawijaya. Sementara itu, ayahnya berasal dari kalangan bangsawan Samudra Pasai. Latar belakang ini menjadikan Sunan Ampel seorang ningrat sejati. Namun, status kebangsawanan tersebut tidak membuatnya silau.

Justru sebaliknya, Sunan Ampel memilih jalan hidup yang sangat sederhana. Pribadinya yang rendah hati membuatnya amat dicintai oleh masyarakat. Ia mendedikasikan hidupnya untuk menyebarkan ajaran Islam. Para santrinya berjumlah banyak, tertarik oleh kedalaman ilmunya, terutama dalam bidang fikih, tauhid, dan balaghah (ilmu retorika). Beliau juga dikenal sebagai wali yang memiliki karomah atau kesaktian. Akan tetapi, ia tidak pernah memanfaatkannya kecuali dalam keadaan yang benar-benar mendesak. Baginya, memamerkan kelebihan kepada orang lain adalah sebuah hal yang tabu.

Pertemuan di Tepi Danau

Suatu ketika, dalam sebuah perjalanan dakwahnya, Sunan Ampel tiba di tepi sebuah danau yang membentang luas. Dari kejauhan, perhatiannya tertuju pada seorang petapa sakti. Orang tersebut sedang berusaha keras menyeberangi danau dengan berjalan di atas permukaan air. Sebuah pemandangan yang menakjubkan bagi orang awam.
Namun, usaha sang petapa tidak berjalan mulus. Ia hanya mampu berjalan beberapa langkah sebelum akhirnya tubuhnya tenggelam ke dalam air. Dengan sisa tenaga, ia berenang kembali ke tepi dan mencoba lagi. Kejadian itu terus berulang. Ia berjalan, tenggelam, lalu berenang ke pinggir. Sunan Ampel hanya mengamati dari kejauhan dengan sabar. Beliau tidak ingin mengusik, karena ia menghargai kehendak bebas setiap manusia.

Setelah sekian lama mencoba, petapa itu akhirnya terbaring lemas di tepi danau, napasnya terengah-engah. Melihat kondisi tersebut, Sunan Ampel segera menghampirinya. Dengan lembut, ia membantu sang petapa untuk duduk dan bersandar pada sebatang pohon. Sunan Ampel juga membantunya memulihkan pernapasan agar tenaganya kembali.

Anehnya, begitu merasa sedikit lebih baik, sang petapa langsung berdiri. Ia hendak mengulangi perbuatannya lagi, mencoba menaklukkan danau dengan berjalan di atas air. Saking fokusnya, ia bahkan lupa mengucapkan terima kasih kepada orang yang baru saja menolongnya.

Kisah Nama Abu Hurairah: Dari Pecinta Kucing Menjadi Penjaga Hadis

Dialog Penuh Makna

Melihat tekad yang keliru itu, Sunan Ampel merasa perlu untuk menegurnya. Ia ingin memahami tujuan di balik tindakan yang sia-sia tersebut.
“Maaf, Kisanak. Boleh saya bertanya?” sapa Sunan Ampel dengan sopan.
Petapa itu menatapnya dengan tajam dan menjawab singkat, “Boleh, tapi jangan lama-lama.”
“Tuan sedang apa sebetulnya bolak-balik berusaha menyeberangi danau sampai tenggelam berkali-kali?” tanya Sunan Ampel.

Dengan nada bangga, petapa itu menjelaskan, ”Aku sudah empat puluh tahun melakukan pekerjaan ini. Dulu aku tidak bisa mengapung sedikitpun di atas air. Setelah berlatih, akhirnya aku mulai bisa berjalan beberapa inci. Sekarang kau lihat sendiri walaupun belum bisa sampai seberang sana, aku telah berhasil berjalan di atas air hingga sepertiga lebar danau. Mungkin 20 tahun lagi sudah akan bisa berjalan di atas air hingga ke tepi yang jauh itu.”
Sunan Ampel tersenyum bijak mendengar jawaban itu. “Kisanak, apakah itu bukan pekerjaan yang sia-sia? Empat puluh tahun baru bisa menempuh sepertiga danau. Saya akan dapat menyeberangi danau ini hanya dalam waktu setengah jam saja,” ujarnya.
“Aku tidak percaya,” bantah pertapa itu dengan cepat.
“Apa Tuan mau minta buktinya?” tantang Sunan Ampel.
“Buktikan sekarang juga.”
“Baik. Tunggulah Tuan di sini setengah jam. Saya akan menyepi dulu, baru saya akan menyeberangi danau itu sambil berdiri dengan kedua kaki saya,” jawab Sunan Ampel dengan penuh keyakinan.

Pelajaran tentang Efisiensi Hidup

Meskipun terdengar mustahil, rasa penasaran membuat petapa itu setuju untuk menunggu. Ia ingin membuktikan sendiri kebenaran dari ucapan Sunan Ampel.

Benar saja, tepat setengah jam kemudian, sang petapa melihat Sunan Ampel sudah berada di tengah danau. Beliau memang berdiri dengan kedua kakinya, namun bukan di atas air, melainkan di atas sebuah rakit sederhana. Ternyata, Sunan Ampel hanya meminjam rakit dari seorang penduduk yang tinggal di sekitar danau.

Sebuah usaha yang menghabiskan waktu empat puluh tahun bagi sang petapa, dapat diselesaikan oleh Sunan Ampel hanya dalam tiga puluh menit. Kisah ini mengandung pelajaran yang sangat dalam. Agama yang diajarkan Sunan Ampel, yaitu Islam, melarang umatnya untuk menyia-nyiakan umur dan hidup untuk pekerjaan yang tidak membawa manfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Sunan Ampel menunjukkan bahwa akal sehat, pemikiran praktis, dan efisiensi jauh lebih mulia daripada kesaktian yang dipamerkan untuk tujuan yang tidak berguna. Daripada menghabiskan puluhan tahun untuk bisa berjalan di atas air, lebih baik menggunakan akal untuk mencari cara tercepat, seperti menggunakan rakit, agar waktu yang berharga bisa digunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat. (Tri)

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement