SURAU.CO – Idul Adha bukan sekadar ritual tahunan dengan gema takbir, peluk hangat keluarga, dan sembelihan hewan kurban. Ia adalah puncak dari kontemplasi spiritual tentang makna pengorbanan, ketulusan, dan penghambaan total manusia kepada Tuhan.
Kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail AS tidak hanya kisah klasik untuk dibacakan di mimbar khutbah. Ia adalah fondasi spiritual yang terus hidup dan menjadi oase kesadaran ruhani di tengah gurun modernitas yang gersang oleh nilai-nilai ilahiyah.
Sebagaimana firman Allah SWT: “Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.”(QS. As-Saffat: 102)
Ayat ini tidak hanya bicara tentang pengorbanan fisik, tetapi juga dialog batin dan intelektual antara ayah dan anak. Ini adalah teladan dari otoritas yang membuka ruang musyawarah sesuatu yang langka di era ketika ketaatan sering dipaksakan tanpa kebijaksanaan.
Keteladanan Ibrahim dalam Perspektif Islam Moderat
Menurut KH. Ahmad Syafii Maarif, kurban tidak boleh berhenti sebagai ritual simbolik, melainkan harus menjadi energi transformatif untuk kehidupan sosial yang lebih adil dan manusiawi. Kurban adalah simbol solidaritas, cinta sosial, dan keberanian menanggalkan ego pribadi demi kemaslahatan bersama.
Hal senada diungkapkan oleh Prof. Quraish Shihab, bahwa:
“Makna utama kurban adalah kepasrahan total kepada Allah, bahkan ketika logika manusia kita sulit menerimanya.”
Di tengah era digital yang gaduh dengan konten, opini, dan kepentingan, keikhlasan telah menjadi barang langka. Kurban Ibrahim adalah kisah keikhlasan tanpa pamrih, narasi kesediaan memberi tanpa perlu diketahui, bahkan tanpa perlu dipuji.
Menghidupkan Nilai Kurban di Tengah Krisis Kemanusiaan
Di zaman ini, pengorbanan tidak selalu berupa menyembelih kambing atau sapi. Kurban bisa berupa waktu, perhatian, tenaga, hingga empati ketika kita melayani orang tua yang renta, menemani anak-anak dalam tumbuh kembangnya, atau menghibur hati sesama yang sedang terluka.
Dr. Haidar Bagir, cendekiawan Muslim kontemporer, menekankan:
“Kurban modern adalah ketika kita mampu menahan ego dan berbagi kasih dalam dunia yang semakin dingin dan mekanistik.”
Idul Adha menjadi jeda spiritual untuk merenung:
-
Apa yang sudah kita kurbankan untuk keluarga?
-
Apa yang kita lepaskan untuk tetangga yang kesulitan?
-
Apa yang kita bagi untuk negeri yang sedang diuji?
Atau sebaliknya kita masih mempertahankan gengsi, keras kepala, dan merasa paling benar atas nama prinsip, padahal itu hanya topeng dari egoisme kita sendiri?
Kurban: Titik Temu antara Spiritualitas dan Kemanusiaan
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidaklah darah kurban itu mengalir, melainkan ia lebih dahulu sampai kepada Allah dari tempat ia jatuh ke bumi.” (HR. Tirmidzi)
Maknanya jelas: yang diterima oleh Allah bukan daging dan darah, tetapi niat dan pengorbanan yang tulus dari hati yang penuh cinta dan kasih sayang terhadap sesama.
Idul Adha adalah momen kesetaraan: antara yang kuat dan yang lemah, antara yang memiliki dan yang tidak. Ibadah ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sosial lahir dari kerelaan berbagi, bukan dari akumulasi kekayaan pribadi.
Menjadi Ibrahim di Zaman Ini
Setiap zaman memerlukan sosok Ibrahim baru bukan untuk menyembelih anaknya, tetapi untuk menyembelih egonya. Untuk menyembelih:
-
Ambisi yang melampaui batas etika,
-
Keserakahan dalam berpolitik dan berbisnis,
-
Ketidakpedulian terhadap kaum miskin dan terpinggirkan.
Setiap pemimpin rumah tangga, guru, ulama, pejabat publik, hingga aktivis sosial, harus menghidupkan ruh pengorbanan ini di bidangnya masing-masing.
Idul Adha adalah momen titik balik spiritual, bukan hanya momentum ibadah. Kita semua harus bertanya pada diri sendiri: “Sudahkah aku berkorban demi Allah dan sesama, atau aku hanya terus memperjuangkan egoku sendiri?”
Ruh Kurban di Tengah Arus Zaman: Menjadi Lentera di Tengah Kegelapan
Menjadikan Idul Adha sebagai momentum refleksi personal dan sosial adalah bagian dari dakwah bil hikmah (dakwah dengan kebijaksanaan). Di era di mana kebermaknaan hidup sering digantikan oleh pencitraan dan konsumerisme, kisah Ibrahim dan Ismail adalah narasi tandingan: tentang keikhlasan, keteguhan, dan cinta kepada Allah yang murni.
Sebagaimana dawuh Gus Mus (KH. Mustofa Bisri): “Tuhan tidak memerlukan darah kurbanmu. Tapi orang-orang miskin di sekitarmu, merekalah yang merasakan kehadiran Tuhan lewat kurbanmu.”
Maka, di Hari Raya Idul Adha ini, mari kita hadirkan kembali ruh pengorbanan:
-
Di rumah kita: dengan cinta, waktu, dan kesabaran.
-
Di masyarakat: dengan kejujuran, kesetiakawanan, dan integritas.
-
Di ruang publik: dengan keteladanan dan keberanian untuk berlaku adil.
Idul Adha 1446 H/2025 M ini, mari kita jadikan pengorbanan sebagai wujud cinta yang bertumbuh dari iman dan tanggung jawab sosial. Karena kurban bukan soal daging semata, tapi tentang hati yang bersedia berbagi.
Semoga kita semua bisa menjadi Ibrahim zaman ini yang rela berkorban bukan untuk pujian, tapi demi ridha Allah dan kesejahteraan umat manusia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
