Surau.co – Miqdad bin Amr al-Bahrani, lebih dikenal sebagai al-Miqdad bin al-Aswad al-Kindi atau biasa dipanggil Miqdad adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW. Miqdad lahir di Hadhramaut, Yaman dari pasangan Amr al-Bahrani. Miqdad dikenal sebagai pria jangkung dengan perut buncit. Kulitnya gelap dan rambutnya lebat. Miqdad memiliki janggut yang diwarnai dan mata lebar sementara hidungnya bengkok.
Ia berangkat ke Mekah setelah terjadi insiden antara dirinya dengan salah satu sesamanya yaitu Abu Shammar ibn Hajar al-Kindi dan menyebabkannya menjadi buronan dan kabur dari rumahnya ke Mekah. Di Mekah, dia mengabdi pada seorang pria bernama al-Aswad ibn Abd al-Yaghuts al-Kindi, yang setelah beberapa kali dia terkesan oleh gurunya dan menyebabkan al-Aswad semakin menyukainya dan kemudian mengadopsinya sebagai anak. Sebab itulah Miqdad lebih dikenal sebagai al-Miqdad ibn Aswad al-Kindi daripada al-Miqdad ibn Amr. Tetapi setelah turunnya ayat mulia yang melarang merangkaikan nama anak dengan nama ayah angkatnya dan mengharuskan merangkaikannya dengan nama ayah kandungnya, maka namanya kembali dihubungkan dengan nama ayahnya, yaitu Amr bin Sa’ad.
Mendampingi Rasulullah dalam Menyemangati Para Sahabat
Ketika Islam dibawa oleh Rasulullah SAW, Miqdad termasuk di antara tujuh orang pertama yang memeluk Islam meskipun dia menyembunyikan keyakinan barunya tersebut dari Aswad ibn Abd al-Yaghuts. Ia rela menanggung penderitaan dan siksaan, serta kekejaman kaum Quraisy. Ia kemudian melakukan migrasi ke Madinah bersama sesama muslim untuk menghindari penganiayaan dari suku Quraisy.
Miqdad adalah seorang sahabat yang menghadiri semua pertempuran kaum muslimin bersama Rasulullah SAW. Keberanian dan perjuangannya di medan Perang Badar akan selalu diingat oleh kaum Muslimin sampai saat ini.
Bahkan Abdullah bin Mas’ud, seorang sahabat Rasulullah pernah berkata, “Saya telah menyaksikan perjuangan Miqdad, sehingga saya lebih suka menjadi sahabatnya daripada segala isi bumi ini.”
Dalam pertempuran Badar, Miqdad adalah salah satu muslim yang menunggang kuda, sementara yang lain naik unta atau berjalan kaki. Jumlah anggota pasukan Islam yang berkuda ketika itu tidak lebih dari tiga orang, yaitu Miqdad bin Amr, Martsad bin Abi Martsad, dan Zubair bin Awwam. Miqdad memimpin sayap kiri tentara muslim selama pertempuran ini. Miqdad bin Amr pernah tampil berbicara mengobarkan semangat di tengah ketakutan dan kegalauan kaum muslimin dalam peperangan Badar karena kekuatan musuh yang begitu dahsyat. Sebelum pertempuran, Miqdad berbicara kepada Rasulullah SAW dengan mengutip Alquran,
“Wahai utusan Allah! Lanjutkanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Kami bersamamu. Aku bersumpah demi Allah kami tidak akan pernah melakukan seperti yang dilakukan Bani Israel kepada Musa dan berkata, ‘Pergilah dengan Tuhanmu dan berperang. Kami akan tinggal di sini’ Tidak, aku akan memberitahumu, ‘Pergilah dengan Allah dan berperang. Kami bersamamu!’ Aku bersumpah demi Allah, Yang mengutus kamu sebagai Nabi di jalan yang benar; bahkan jika kamu memimpin kami ke Bark al-Ghimad, kami akan melawan sampai kamu mencapainya ”
Kata-katanya mengalir laksana anak panah yang lepas dari busurnya. Hingga merasuk ke dalam hati orang-orang Mukmin. Dan wajah Rasulullah pun berseri-seri sementara mulutnya mengucapkan doa yang terbaik untuk Miqdad.
Dari ucapan yang dilontarkan Miqdad, tidak saja menggambarkan keperwiraannya semata, tetapi juga melukiskan logikanya yang tepat dan pemikirannya yang dalam. Itulah sifat Miqdad. Ia seorang filsuf dan pemikir. Hikmah dan filsafatnya tidak saja terkesan pada ucapan semata, tapi terutama pada prinsip-prinsip hidup yang kukuh dan perjalanan hidup yang teguh, tulus, dan lurus.
Pasukan Islam pun menjadi bersemangat mengikuti semangat Miqdad. Bahkan cara bicara Miqdad patut dicontoh oleh yang lain. Kata-kata Miqdad benar-benar berdampak positif kepada segenap pasukan Islam.
Sa’ad bin Muadz, pemuka kaum Anshar berkata, “Ya Rasulullah, sungguh, kami telah beriman kepadamu, membenarkanmu, dan kami telah saksikan bahwa apa yang engkau bawa adalah benar. Kami juga sudah bersumpah setia kepadamu. Karena itu, majulah wahai utusan Allah, kami akan bersamamu. Demi yang telah mengutusmu membawa kebenaran, seandainya engkau membawa kami ke lautan, lalu engkau mengarungi lautan itu, tentu kami juga akan mengarunginya. Tidak seorang pun akan berpaling. Kami akan bersamamu berperang melawan musuh. Kami adalah orang-orang yang gagah berani dalam peperangan, tidak gentar menghadapi musuh. Allah akan memperlihatkan kepadamu kiprah kami dalam peperangan yang akan berkenan di hatimu. Karena itu, maju terus, kami akan bersamamu. Berkah Allah akan bersama kita.”
Rasulullah sangat senang. Beliau bersabda kepada para pengikutnya, “Berangkatlah dan bergembiralah!” Dan kedua pasukan pun berhadapan.
Kontribusi Miqdad dalam Islam
Dalam pertempuran Uhud, Miqdad bertugas sebagai pemanah. Kemudian dalam pertempuran Dhu Qarad ketika Bani Ghatafan di bawah Abdurrahman al-Faraji datang untuk menyerang Madinah, dia bersama Akhram dan Abu Qatadah melawan Abdurrahman al-Faraji. Akhram tewas dalam pertempuran ini, tetapi Miqdad dan Abu Qatada berhasil membalaskan dendam pemimpin mereka dan menyebabkan pasukan Abdurrahman melarikan diri. Catatan ini juga ditemukan dalam Waqidi Kitabul Maghazi.
Miqdad pernah diangkat oleh Rasulullah SAW sebagai Gubernur di suatu wilayah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Bagaimana dengan jabatanmu?”
Ia menjawab dengan jujur, “Engkau telah menjadikanku menganggap diri ini di atas rakyat sedang mereka di bawahku. Demi yang telah mengutusmu membawa kebenaran, mulai saat ini saya tidak akan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang.”
Ia menjadi gubernur, lalu dirinya dikuasai kemegahan dan pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi gubernur lagi setelah pengalaman pahit itu. Dan ia menepati janjinya itu. Sejak saat itu, ia tidak pernah menerima jabatan pemimpin.
Ia sering mengucapkan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, “Orang yang berbahagia ialah orang yang dijauhkan dari kehancuran.”
Jika jabatan kepemimpinan dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan kehancuran bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya ialah menjauhinya.
Di antara sikap bijaknya adalah kehati-hatiannya dalam menilai orang. Sikap ini juga ia pelajari dari Rasulullah SAW yang telah menyampaikan kepada umatnya, “Berubahnya hati manusia lebih cepat dari periuk yang sedang mendidih.”
Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar orang yang akan dinilainya tidak mengalami hal baru lagi. Adakah perubahan setelah kematian?
Selama periode awal ekspedisi kekhalifahan, Miqdad bertugas sebagai pembaca Alquran dari tentara khalifah Abu Bakar. Tradisi ini tercatat berlanjut hingga saat khalifah Umar dalam pertempuran Yarmouk, dimana Miqdad telah ditugaskan oleh Khalid bin al-Walid untuk membacakan ayat-ayat Alquran dari Al-Anfal hingga penjaga belakang yang dipimpin oleh Said ibn Zayd untuk membakar semangat juang mereka sebelum pertempuran.
Miqdad dikirim oleh khalifah Umar ke Mesir selama penaklukan muslim di Mesir untuk membantu ‘Amr ibn al Ash sebagai yang terakhir meminta bala bantuan. Khalifah Umar memuji Miqdad dalam suratnya kepada Amr bahwa Miqdad setara dengan 1000 tentara.
Miqdad bergabung dengan armada angkatan laut kekhalifahan pertama untuk Penaklukan Siprus di bawah Muawiyah dan Ubadah ibn al-Samit.
Suatu ketika terjadi percakapan antara dirinya dengan seorang sahabat dan seorang tabi’in berikut, menunjukkan kemahirannya dalam berfilsafat dan ia berhak menyandang gelar seorang filsuf:
Pada suatu hari kami pergi duduk-duduk dekat Miqdad. Tiba-tiba lewat seorang laki-laki, dan berkata kepada Miqdad, “Sungguh berbahagialah kedua mata ini yang telah melihat Rasulullah! Demi Allah, andainya aku bisa melihat apa yang engkau lihat, dan menyaksikan apa yang engkau saksikan.”
Miqdad berkata, “Apa yang mendorong kalian untuk menyaksikan peristiwa yang disembunyikan Allah dari penglihatan kalian, padahal kalian tidak tahu apa akibatnya bila sempat menyaksikannya? Demi Allah, bukankah pada masa Rasulullah banyak orang yang ditelungkupkan Allah mukanya di neraka Jahanam? Kenapa kalian tidak mengucapkan puji kepada Allah yang menghindarkan kalian dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu, dan menjadikan kalian sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Nabi kalian?”
Inilah suatu hikmah yang diungkapkan Miqdad, memang tidak seorang pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali ia dapat hidup di masa Rasulullah dan hidup bersamanya. Tetapi pandangan Miqdad tajam dan dalam, pemikirannya dapat menembus sesuatu yang tidak pernah dipikirkan oleh orang awam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.