Oleh: Masykurudin Hafidz, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
SURAU.CO – Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Para hadirin sekalian yang saya hormati. Izinkanlah kami memberikan keterangan ini sesuai dengan pengalaman kami dalam bidang pemantauan dan advokasi proses Pilkada selama ini. Tujuan utama dari kesaksian kami adalah untuk menekankan betapa pentingnya mewujudkan keadilan Pilkada yang substantif.
Perkenankan kami mengawali kesaksian ini dengan kisah Gubernur Umar bin Abdul Aziz. Pada saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz sedang menyelesaikan tugas-tugas pemerintahannya, seseorang masuk ke ruang kerjanya dan hendak membicarakan sesuatu. Khalifah Umar bertanya, ”Untuk urusan apa Anda datang ke sini: urusan negara atau pribadi?”. “Urusan pribadi, wahai Khalifah,” jawab orang tersebut. Tiba-tiba, Khalifah Umar mematikan lampu penerang di atas mejanya dan seketika suasana menjadi gelap. ”Kenapa Khalifah memadamkan lampu itu?” tanya orang tersebut merasa heran. Khalifah Umar menjelaskan, ”Wahai Sahabatku, lampu yang sedang saya pakai bekerja ini milik negara dan menjadi fasilitas pemerintah. Minyak yang digunakan juga dibeli dengan uang pajak yang dibayar rakyat. Sementara perkara yang akan kita bahas adalah persoalan pribadi”.
Tantangan dalam Mewujudkan Keadilan Pilkada dengan Dominasi Petahana
Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Kita membangun Pilkada serentak berdasarkan prinsip kesetaraan sebagai prasyarat untuk menghasilkan persaingan yang sehat. Persaingan sehat ini berawal dari adanya keseimbangan antar pasangan calon dalam meyakinkan pemilih. Kampanye yang mereka lakukan harus bisa memberikan rasa keadilan tidak hanya bagi antar-calon tetapi juga masyarakat pemilih.
Berdasarkan asas tersebut, data yang kami himpun menunjukkan, dari 101 daerah yang melaksanakan Pilkada tahun 2017, terdapat 67 daerah (66 persen) yang diikuti oleh 99 calon petahana. Dari daerah yang diikuti calon petahana tersebut, terdapat 19 daerah di mana kepala daerah dan wakilnya maju bersama kembali, dan 15 daerah lainnya pecah kongsi. Sebagian besar calon petahana, yaitu sebanyak 83 pasangan calon, mengambil jalur partai politik, dan sisanya 7 pasangan calon mengambil jalur perseorangan. Terdapat pula 4 daerah di mana calon petahana potensial tidak memiliki pesaing, yaitu Tulang Bawang Barat, Tambrauw, Pati, dan Kabupaten Landak.
Data di atas menunjukkan bahwa mayoritas daerah Pilkada 2017 diikuti oleh petahana. Sementara itu, pengalaman kami dalam memantau Pilkada memperlihatkan adanya praktik yang tidak adil ketika terdapat calon petahana. Keberadaan petahana dalam Pilkada juga potensial menimbulkan keterlibatan aparatur sipil negara, kampanye terselubung, serta pemanfaatan dana dan fasilitas publik untuk kepentingan elektoral. Inilah tantangan terbesar dalam mewujudkan keadilan Pilkada.
Contoh Nyata Ketidakadilan dalam Kampanye Petahana
Sebagai contoh, dari hasil pemantauan kami di Pilkada serentak 2015, kami menemukan berbagai praktik tidak adil. Di antaranya adalah pemasangan alat peraga yang melanggar ketentuan, pemberian bantuan sosial terselubung, penggunaan fasilitas negara, dan keterlibatan aparatur daerah.
Dalam pemasangan alat peraga kampanye yang dilarang, misalnya, kami menemukan pasangan calon petahana di Palu, Jember, dan Semarang memasang billboard dengan taksiran biaya ratusan juta rupiah. Kecerdikan pasangan calon dengan mengurangi unsur bahan kampanye dalam alat peraga tersebut menyulitkan pengawas Pemilu untuk menindak. Dalam pemberitaan media massa, kami juga menemukan penggunaan metode infotorial oleh petahana di Bantul, Balikpapan, Semarang dan Tangerang Selatan. Demikian juga dengan pemberian bantuan sosial jelang Pilkada, seperti bantuan uang dan barang di Tangerang Selatan serta bantuan kepada guru ngaji di Jember. Selain itu, kami menemukan penggunaan bus milik pemerintah daerah untuk mengangkut partisipan kampanye di Maros, serta keterlibatan camat dan lurah dalam kampanye di Tangerang Selatan, Bantul, dan Jember.
Terhadap temuan-temuan tersebut, tindakan penanganan oleh pengawas Pemilu memang belum efektif. Unsur pelanggaran yang sulit terpenuhi secara formil seringkali membuat pengawas tidak bisa menangani kasus tersebut. Keterbatasan Bawaslu ini juga terlihat dari Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) untuk Pilkada 2017, yang secara eksplisit menempatkan petahana sebagai salah satu indikator utama kerawanan.
Semangat Keadilan dalam UU Pilkada dan Praktik Kampanye
Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Kata kunci dari kampanye antar pasangan calon adalah keadilan dan kesetaraan. Semangat inilah yang menjadi dasar ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 2016 pasal 65 ayat (1) dan (2). Aturan tersebut menyatakan bahwa kampanye dalam bentuk debat publik, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, dan iklan media massa difasilitasi oleh KPU dan didanai oleh APBD. Tujuannya jelas, yaitu untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan antar pasangan calon. Metode pembiayaan dari uang publik ini juga bertujuan untuk membangun akuntabilitas antara pasangan calon dengan masyarakat pemilih.
Adapun metode kampanye yang dapat pasangan calon lakukan secara mandiri adalah pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka. Pemantauan kami menunjukkan, jadwal kampanye untuk kegiatan ini dilakukan setiap hari selama masa kampanye, di mana pasangan calon bisa bertemu langsung dengan pemilih rata-rata 3 kali setiap harinya. Hal ini membutuhkan kesiapan penuh dari pasangan calon. Dalam arti lain, jika petahana pada saat yang sama melakukan kampanye dan masih berstatus sebagai pejabat publik, maka akan timbul kebingungan di masyarakat dan ketidakpastian status. Dengan menyandang status cuti, justru petahana dapat lebih leluasa mengatur waktu untuk berkampanye dan mendapatkan kesempatan yang setara dengan pasangan calon lainnya.
Dalam hal yang lebih substansial, masa kampanye adalah momentum bagi seluruh pasangan calon—baik petahana atau bukan—untuk membangun kontrak politik dengan masyarakat secara berkeadilan. Dengan demikian, demokrasi substansial di level lokal dapat terus menerus kita kembangkan.
Demikian keterangan ini kami buat. Semoga keterangan ini dapat menjadi masukan dan pertimbangan dalam mengadili dan memutus perkara ini seadil-adilnya. Terima kasih yang Mulia. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
