Oleh: Masykurudin Hafidz, Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
SURAU.CO – Niat awal filsafat untuk mencari makna secara total dan menyeluruh ternyata senantiasa jatuh dalam situasi defisit. Kegagalan inilah yang menjadi dasar untuk mendudukkan filsafat fragmentaris sebagai sebuah pendekatan kritis. Filsafat seringkali menjadi ilusi. Ia seolah-olah mempunyai daya terang terhadap realitas, tetapi justru menjerit di hadapan kemajemukannya. Filsafat adalah suatu perkabungan, karena intensi awalnya untuk mendeskripsikan realitas ternyata tidak sampai kepada tujuannya.
Dengan begitu, berfilsafat berarti menerima ketidaktuntasan. Berbeda dengan ideologi atau agama, filsafat selalu membuka diri (disclosure) untuk berdialog terhadap hal-hal yang tidak tuntas saat mencari makna. Karena tidak tuntas, pencarian hakikat oleh filsafat pun tidak pernah terdeskripsikan sebagaimana adanya. Artinya, untuk mendeskripsikan realitas, kita harus mengambil jarak darinya, sehingga kita tidak akan pernah dapat memilikinya secara utuh. Oleh karenanya, filsafat tidak lain hanyalah fragmen-fragmen yang tidak utuh dari suatu episode peristiwa yang tidak tuntas.
Kegagalan Filsafat Mencapai Totalitas: Dari Plato hingga Kant
Contoh nyata bahwa filsafat tidak sanggup menuntaskan tugasnya bisa kita lihat dalam pemikiran dua filsuf besar: Plato dan Immanuel Kant. Dalam menjelaskan realitas, Plato bercerita tentang orang-orang yang ditawan dalam sebuah goa. Mereka percaya bahwa bayang-bayang di dinding goa adalah realitas. Plato ingin mengatakan bahwa adalah salah jika kita menganggap yang tampak sebagai yang ada. Masalahnya adalah, jika kita semua terkecoh oleh bayang-bayang, bagaimana mungkin kita tahu bahwa itu bukan realitas? Di sini, Plato telah mengklaim bahwa ia tahu realitas sesungguhnya, padahal ia sendiri termasuk tawanan yang terkecoh itu.
Contoh selanjutnya datang dari Immanuel Kant. Menurutnya, penampakan sebuah objek bukanlah objek itu sendiri. Kita tidak bisa mengetahui objek pada dirinya sendiri (das Ding an sich), dan yang dapat kita ketahui hanyalah objek yang kita deskripsikan. Masalahnya adalah, bagaimana Immanuel Kant tahu bahwa pengetahuan das Ding an sich itu ada, padahal ia sendiri termasuk yang tidak mengetahuinya? Dengan membagi pengetahuan menjadi fenomena dan noumena, Kant justru terjerat oleh prasyarat pengetahuan yang ia buat sendiri.
Filsafat Fragmentaris: Jalan Keluar Menemukan Makna
F. Budi Hardiman, dalam buku terbarunya, Filsafat Fragmentaris (2007), menjelaskan dengan baik upaya untuk mendudukkan filsafat fragmentaris. Filsafat ini ingin mengatakan bahwa filsafat tidak mungkin mencerminkan realitas yang utuh. Jenis filsafat ini membuang jauh-jauh klaim ketuntasan pengetahuan manusia. Baginya, ide tentang totalitas itu mencurigakan, karena jangan-jangan hanya menyembunyikan kesempitannya di balik kedok totalitas. Filsafat Fragmentaris merasakan bahwa Positivisme dan Materialisme telah menghilangkan dimensi penghayatan manusia. Filsafat ini ingin memberikan jalan keluar untuk menemukan kembali dimensi penghayatan manusia yang hilang itu.
Dengan menggunakan strategi tiga tahap—deskripsi, kritik, dan dekonstruksi—Filsafat Fragmentaris ingin mengatakan sesuatu yang selama ini terpendam.
1. Deskripsi.
Mengikuti tawaran Fenomenologi, tahap ini ingin menemukan kembali dimensi penghayatan manusia terhadap dunia. Caranya adalah dengan masuk ke dalam situasi objek itu sendiri (Lebenswelt) dan mendeskripsikannya sebagaimana objek itu manusia hayati.
2. Kritik.
Mengikuti tawaran Filsafat Kritis, tahap ini mengoreksi dimensi kekuasaan dan kepentingan dalam setiap tindakan manusia. Filsafat Kritis ingin membongkar penindasan yang berlangsung melalui ideologi dan kesadaran palsu (falsches Bewusstsein). Kritis juga berarti tidak pernah merasa puas dan selalu membuka kembali perdebatan.
3. Dekonstruksi.
Mengikuti tawaran Dekonstruktivisme, tahap ini ingin mencari hakikat dengan cara mendestabilisasi makna. Metode ini menyingkap bagaimana sebuah teks tidak mungkin konsisten dengan konsep yang dibangunnya sejak awal. Dekonstruksi adalah sebuah pembebasan terhadap makna lain dari teks yang terepresi oleh kuasa pengarang.
Sebuah Kritik Balik terhadap Filsafat Fragmentaris
Ketiga pendekatan di atas semakin membuka pemahaman bahwa realitas sangat majemuk, bahkan fragmentaris. Namun, sebagaimana yang ia kritiknya, filsafat fragmentaris itu sendiri ternyata juga tidak tuntas. Anggapan bahwa setiap filsafat adalah fragmentaris berarti ada intensi universalitas dalam konsepnya. Itu berarti totalitas, yang justru menjadi lahan kritik bagi filsafat fragmentaris. Menganggap bahwa setiap filsafat adalah fragmentaris adalah sebuah tindakan “kekerasan” (violence) karena ia melakukan penutupan (closure) terhadap kemungkinan lain.
Pada akhirnya, inilah dialektika pemikiran filosofis. Sifat dasar filsafat adalah terus bergeser, berganti, dan sementara. Tidak ada saling klaim kebenaran antar pemikiran karena masing-masing mempunyai argumen sendiri dalam pencarian makna. Setiap filsuf mempunyai hak hidup untuk berpendapat, lantas berfilsafat. Juga orang lain
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
