Oleh: Masykurudin Hafidz, Kader Muda Nahdlatul Ulama
SURAU.CO – Artikel Farid Wadjdi (Media Indonesia, 31/08) yang menanggapi tulisan M. Hasibullah Satrawi (24/08) menarik untuk kita perdebatkan kembali. Salah satu argumen Farid Wadjdi untuk mendukung gagasan khilafah adalah fakta sejarah keterlibatan K.H. A. Wahab Hasbullah dalam komite khilafah. Namun, benarkah demikian? Tulisan ini ingin menelusuri bagaimana sikap politik NU dalam sejarah perdebatan NU versus Khilafah ini.
Sejarah kelahiran NU merupakan bagian dari reaksi anti-pembaruan. Contoh yang Farid Wadjdi ungkapkan hanyalah titik awal dari pergulatan politik dan kultural NU. Sejak awal, upaya pengembalian sistem khilafah pasca-keruntuhan Turki Utsmani memicu perdebatan panjang, terutama antara Kerajaan Mesir pimpinan Raja Fuad dengan penguasa Hijaz di bawah kekuasaan Ibnu Sa’ud (Martin Van Bruinessen, 1994). Upaya Raja Fuad untuk menjadi khalifah dianggap ancaman serius oleh Ibnu Sa’ud. Karena itu, untuk menandingi kongres Kairo, ia menyelenggarakan kongres tandingan di Mekah pada Juni-Juli 1926.
Meluruskan Sejarah Awal NU dan Sikapnya terhadap Khilafah
Di Indonesia, para aktivis muslim juga membincangkan konsep khilafah ini. Sebagaimana Farid Wadjdi kutip, pada Kongres Al-Islam ketiga tahun 1924, mereka sepakat mengirim delegasi ke Kongres Kairo. Namun, delegasi ini tidak jadi berangkat karena kongresnya diundur. Setahun kemudian, pada Agustus 1925, undangan kongres khilafah kembali datang, kali ini dari Mekah. Penentuan apakah akan menghadiri kongres Kairo atau Mekah menjadi perdebatan sengit.
Kalangan Muhammadiyah cenderung ke kongres Kairo karena di sana ada tokoh pembaru, Rasyid Ridha. Sementara itu, Sarekat Islam menghendaki kongres Mekah. Adapun kalangan tradisionalis, yang K.H. A. Wahab Hasbullah komandoi, menilai kedua kongres tersebut sudah tidak relevan lagi dengan pembentukan khilafah. Pilihan kalangan tradisionalis untuk menghadiri kongres Mekah lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa kedudukan Hijaz lebih penting daripada sekadar tema khilafah. Tujuan utamanya adalah memberikan nasihat kepada penguasa Hijaz yang menganut Wahabisme agar tetap menghormati praktik keagamaan tradisional.
Melihat pentingnya masalah ini, kalangan tradisionalis tidak tinggal diam. Demi menjaga agama dari ancaman puritanisme, mereka membentuk Komite Hijaz, yang kemudian secara organisatoris menjadi Nahdlatul Ulama. Penjelasan ini setidaknya menangkis anggapan Farid Wadjdi bahwa NU mendukung gagasan khilafah sejak awal. Bagi NU, Indonesia dalam format kebangsaan lebih penting daripada sekadar bermimpi menyatukan umat Islam di seluruh dunia.
Komitmen Politik Kebangsaan NU
Bukti konkret dari komitmen kebangsaan NU terhadap NKRI adalah pada awal tahun 1950-an ketika pemberontakan DI/TII terjadi. Kelompok ini menuntut Negara Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila diganti dengan Negara Islam Indonesia (NII). Tuntutan tersebut tentu sangat mengguncang politik dalam negeri.
Melalui Musyawarah Nasional (MUNAS) Alim-Ulama tahun 1952 di Cipanas, para ulama NU memutuskan bahwa meskipun Soekarno bukan presiden yang rakyat pilih secara langsung, kepemimpinannya harus dipertahankan. Jika tidak, konsekuensinya adalah Indonesia akan berpecah belah. Oleh karena itu, para ulama menetapkan Soekarno sebagai pemimpin de facto negara Indonesia (waliyyu al-amri al-dharuri bi al-syaukah). Keputusan ini sangat luar biasa. Mereka yang sejatinya representasi umat Islam justru memilih NKRI sebagai basis kehidupan bernegara.
Warisan ulama NU inilah yang kembali PBNU pertegas ketika gagasan Khilafah mencuat saat ini. K.H. Hasyim Muzadi beserta ulama Nahdliyin lainnya secara tegas menolak sistem khilafah karena akan mengganggu keragaman bangsa. Sebagai umat mayoritas, kalangan Nahdliyin sadar bahwa kebangkitan Islam harus dilakukan dengan menjaga integritas bangsa, meningkatkan kualitas umat, dan memerangi korupsi.
Menjawab Klaim Hizbut Tahrir
NU sebagai organisasi muslim terbesar merasakan kegelisahan mendalam terhadap merebaknya gerakan Islam transnasional. Sebab, gerakan-gerakan tersebut kerap kali menebar ancaman dan mengganggu keragaman. Bahkan, informasi dari beberapa daerah menunjukkan, mereka kerap kali memaksakan kehendak untuk menyampaikan gagasannya di masjid-masjid NU, meskipun sudah ditolak secara tegas.
Hal ini tercermin dalam tulisan Farid Wadjdi. Ia dengan berbagai cara menggunakan fakta sejarah yang salah, setidaknya tanpa konfirmasi kepada ahlinya soal sikap NU. Bukan hanya itu, dalam konferensi internasional Khilafah yang lalu, HTI juga memasang spanduk yang mengatasnamakan warga NU. Cara-cara demikian pada hakikatnya tidak etis. Silakan saja HTI menyebarluaskan gagasannya, tapi janganlah membawa nama NU yang sudah mempunyai komitmen kuat pada Pancasila dan NKRI.
Atas dasar itu, PBNU secara tegas memberikan pernyataan bahwa NU menolak sistem khilafah dan tetap pada komitmen NKRI. NU tidak ada sangkut pautnya dengan sistem khilafah, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa mendatang. Pada akhirnya, pelurusan sejarah ini menjadi sangat penting. Dengan demikian, sejatinya Hizbut Tahrir Indonesia tidak berhak menggunakan label NU untuk mendukung gagasannya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
