CM Corner
Beranda » Berita » Kompleksitas Penyelenggara(an) Pemilu

Kompleksitas Penyelenggara(an) Pemilu

Gambar Ilustrasi
Gambar Ilustrasi

Oleh : Masykurudin Hafidz
Direktur Akademi Pemilu dan Demokrasi

SURAU.CO – Perdebatan antara Titi Anggraini, Doddy Wijaya dan Rahmat Bagja tentang “Mereset Penyelenggara Pemilu” (10/2025), menitikberatkan pada KPU dan Bawaslu sebagai aktor utama dalam tata kelola pemilu. Sementara untuk mencapai pemilu yang demokratis, kualitas penyelenggaraan secara berkelindan juga disebabkan oleh aktor lain yang sama penting, yaitu kontestan dan partisipan.

Merujuk pada konsep Dahl (1971), di samping penyelenggara, peningkatan kualitas pemilu tidak boleh melupakan peserta dan pemilih. Ketiganya terkait satu sama lain dalam mengelola tahapan yang melibatkan interaksi antar para pemangku kepentingan. Ibarat sepak bola, kualitas pertandingan tidak hanya diukur dari kinerja wasit tetapi kredibilitas pemain dan antusiasme penonton.

Argumentasi Mahkamah Konstitusi (MK) pada putusan Nomor 135/PUU-XXI/2024 menunjukkan kompleksitas pelaksanaan tahapan elektoral. Pemilu dan Pemilihan dalam satu tahun yang sama, berdampak pada kepadatan penyelenggaraan sehingga menyebabkan kelelahan dan menimbulkan banyak korban.

Keserentakan pemilu juga menyebabkan ketidaksiapan partai politik sebagai kontestan. Ketidaksiapan tersebut terlihat dari belum mampunya partai menyiapkan kader terbaik, tenggelamnya isu-isu lokal di bawah dominasi isu nasional, serta munculnya kejenuhan di kalangan pemilih yang terus disuguhi praktik demokrasi yang bersifat prosedural.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Laporan Electoral Integrity Global (EIG) tahun 2025 menunjukkan skor integritas pemilu Indonesia turun dari 66 ke 47. Penurunan paling tajam terjadi disebabkan oleh perilaku kontestasi dan kualitas peradilan. Perubahan ketentuan syarat calon presiden dan wakil presiden, penggunaan sumber daya negara secara terselubung, menjamurnya politik transaksional serta penggunaan media sosial tidak sepenuhnya dalam kendali penyelenggara pemilu.

Menurut Sarah Birch (2011), pelanggaran dalam proses penyelenggaraan pemilu untuk kepentingan perseorangan maupun partai politik dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti manipulasi regulasi, praktik jual beli suara, bias partisan oleh penyelenggara, atau boikot oleh pihak oposisi. Pelanggaran tersebut juga mencakup kekerasan politik dan tindakan protes yang berujung pada kekerasan, terutama ketika persaingan berlangsung ketat dan situasi politik rawan konflik.

Dengan demikian, problem pemilu yang kompleks perlu didekati juga secara multi-dimensional. Meskipun sebagai penanggung jawab utama penyelenggaraan, menjadikan penyelenggara sebagai tumpuan dalam mewujudkan kualitas elektoral, perlu dilakukan secara proporsional.

Menata Bersama

Mozaffar & Schedler (2002) mendefinisikan tata kelola pemilu sebagai sebuah kumpulan atas aktivitas-aktivitas yang saling terkait satu sama lain yang melibatkan para aktor dalam pembuatan regulasi, pelaksanaan aturan dan penegakan hukum.

Dari kajian James, Garnett, Loeber, & van Ham (2019) kita diingatkan bahwa dalam menjalankan teknis pelaksanaan pemilu, tidak bisa dihindari aspek politik yang memerlukan negosiasi dari proses implementasi tahapan yang berjalan dengan konsekuensi hukum yang patut dipertimbangkan oleh para aktor yang terlibat.

Catatan Politik Bamsoet: Soeharto dan Fakta Legasi yang Tak Terbantahkan 

Kompleksitas penyelenggaraan pemilu, sekaligus peranan para aktor di dalamnya, dapat mendasarkan pada siklus pemilu (electoral cycle) yang dikembangkan oleh International IDEA (2014). Metode siklus ini membagi penyelenggaraan menjadi tiga tahap yaitu periode pra-pemilu (pre-election periode), periode pemilu (electoral periode) dan periode pasca pemilu (post-election periode).

Periode pra pemilu terdiri dari perencanaan, peningkatan kapasitas, pendidikan, penyusunan daftar pemilih dan pendaftaran peserta pemilu. Dalam periode ini, untuk menjalankan tugasnya, penyelenggara pemilu berkoordinasi dengan kementerian bidang perencanaan, keuangan, kepegawaian, hukum, urusan dalam dan luar negeri hingga parlemen.

Pendidikan dan sosialisasi pemilih dilaksanakan sejak awal periode untuk memastikan tingkat literasi masyarakat terhadap proses pemilu, memiliki ketahanan ketika mendapatkan informasi yang tidak benar serta mampu berpartisipasi secara bermakna. Kerjasama dengan aktor kepemiluan seperti pemantau, organisasi masyarakat, organisasi kepemudaan dan lembaga masyarakat sipil sangat menunjang kualitas pemilihan.

Sementara periode pemilu terdiri dari pencalonan, kampanye, pemungutan dan rekapitulasi suara. Periode ini menjadi paling krusial bagi penyelenggara pemilu beserta dengan seluruh jajarannya hingga tempat pemungutan suara untuk memastikan pelaksanaan tahapan berjalan dengan jujur dan adil. Setiap pelanggaran yang terjadi, wajib ditindaklanjuti dan tidak diulangi kembali.

Dalam periode ini, tingkat koordinasi paling kuat terjadi antara KPU dan Bawaslu dengan peserta pemilu, pihak keamanan, aparat penegak hukum dan lembaga peradilan. Partisipasi pemilih dalam pemantauan dan advokasi kebijakan dimaknai sebagai kontribusi nyata dalam perbaikan pelaksanaan tahapan pemilihan.

Langkah Awal Pemulihan Sektor Industri dan UMKM (Catatan Politik Bamsoet)

Setelah pemilu selesai, penyelenggara pemilu dengan sigap melakukan evaluasi dengan menyertakan seluruh pihak terkait, menyusun usulan reformasi hukum dan strategi pengembangan kelembagaan untuk perbaikan demokrasi ke depan. Penyakit yang terjadi baik di internal maupun eksternal penyelenggara menjadi pembelajaran untuk perbaikan regulasi berikutnya.

Berdasarkan konsep periodik tersebut, kualitas pelaksanaan pemilu sangat bergantung pada sejauh mana penyelenggara membangun relasi dengan semua pihak yang memiliki kontribusinya masing-masing. Baik hubungan yang bersifat kelembagaan dengan kementerian/lembaga maupun dengan organisasi masyarakat sipil.

Melampaui Teknokrasi

Diskusi Titi Anggraini, Doddy Wijaya dan Rahmat Bagja juga fokus pada penyelenggaraan pemilu dari sisi institusional-teknokratis. Perdebatan kata ‘reset’ apakah dimaknai sebagai pembongkaran total sehingga kehilangan kontinuitas (ahistoris) atau perbaikan total dengan pembenahan menyeluruh menjadi fokus perbincangan kelembagaan. Usulan perbaikan yang mengemuka adalah mewujudkan penyelenggara pemilu yang netral, transparan dan konsisten serta rencana kerja operasional agar pembenahan kelembagaan tidak berhenti sebagai diksi.

Selain berdasarkan ketentuan regulasi (teks), penyelenggara pemilu juga bekerja dalam ruang dan waktu (konteks) yang sangat beragam, penuh tantangan dan pertimbangan kondisi lokal.

Teknokrasi memang memastikan proses pemilu lebih efisien dan transparan. Namun, perlu ada keseimbangan yang tepat antara keahlian teknis dengan menjaga pemilu tetap demokratis, inklusif, dan mampu menjawab aspirasi seluruh lapisan masyarakat yang dinamis.

Dalam Bahasa Marks & Hooghe (2004), keseragaman nasional dan keragaman lokal sebagai wujud dari multi-level governance menekan pentingnya hubungan interaktif antara pusat dan daerah dalam melaksanakan keputusan yang efektif. Pemilu sebagai instrumen demokrasi prosedural mampu berinteraksi secara fungsional dengan kebutuhan dan realitas lokal.

Interaksi yang berlapis-lapis ini membentuk kualitas demokrasi yang melibatkan seluruh stakeholders kepemiluan dalam konteks sosial-politik yang beragam.

Oleh karena itu, kewajiban menjalankan penyelenggaraan dengan tetap menyeimbangkan antara kepastian hukum, efektifitas pelaksanaan dan sensitifitas pada konteks sosial-politik. Hal ini agar penggunaan kewenangan tidak justru menimbulkan konflik, ketidakadilan atau bahkan merusak legitimasi proses demokrasi.

Dengan tetap berdasarkan regulasi, menyelenggarakan pemilu yang kompleks, membutuhkan cara kerja yang multi-dimensional. Karena pemilu adalah pekerjaan dan tanggung jawab kita bersama.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement