Sejarah
Beranda » Berita » Abu al-Fida: Sejarawan Muslim dari Dinasti Mamluk 

Abu al-Fida: Sejarawan Muslim dari Dinasti Mamluk 

Abu al-Fida
Ilustrasi Abu al-Fida (Foto: Istimewa)

SURAU.CO – Nama Abu al-Fida tercatat dalam sejarah Islam sebagai sejarawan, geograf, sekaligus pangeran dari Dinasti Mamluk. Dedikasi dan pengabdiannya sangat besar sehingga peradaban Barat pun mengakui kiprahnya. Bahkan orang-orang Barat mengabadikan namanya pada sebuah kawah di bulan dengan sebutan Abulfeda. Sejarawan Barat, de Vaux, memujinya sebagai “manusia yang sungguh luar biasa.”

Abu al-Fida memiliki nama lengkap Ismail Ibnu Ali bin Mahmud al-Malik al-Mu’ayyad Imad ad-Din. Ia lahir di Damaskus, Suriah, pada November 1273 M. Ia berasal dari keluarga bangsawan Kurdi dan keturunan Ayyub—ayah dari panglima besar Perang Salib, Salahuddin al-Ayyubi.

Ayahnya, Malik ul-Afdha, merupakan saudara pangeran Hama. Namun, Hulagu Khan yang memimpin invasi Mongol menghancurkan banyak kota Islam dan membuat keluarga Abu al-Fida jatuh dalam masa sulit. Ia lahir dalam suasana politik dan keamanan yang tak menentu, semangat Abu al-Fida untuk belajar tak pernah surut.

Sejak kecil, ia menunjukkan minat besar pada ilmu pengetahuan. Ia menghafal Al-Qur’an, mempelajari hadis, dan mendalami berbagai disiplin ilmu. Dan situasi zamannya menuntutnya juga menguasai dunia militer.

Perjalanan Militer

Pada usia 12 tahun, Abu al-Fida ikut ayahnya melawan tentara Salib. Ia terjadi dalam perebutan benteng Ksatria Markab Hospitaler. Saat berusia 16 tahun, ia masih aktif di medan perang dan ikut menaklukkan Tripoli. Setelah itu, ia terus bergabung dalam berbagai ekspedisi militer, termasuk menduduki Kastil Roum di sekitar Sungai Eufrat.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Ia kemudian berada di bawah komando Sultan Mamluk Ladjyn. Dalam catatannya, ia bahkan menuliskan kisah hidup sultan tersebut. Tahun 1309, ia kembali dari haji dan langsung ikut berperang melawan pasukan sekutu Mongol-Armenia. Tahun 1316, Sultan Mamluk di Kairo menugaskannya sebagai letnan. Dua tahun kemudian, ia naik jabatan menjadi Pangeran Hama. Dengan kedudukan itu, ia berhasil mengembalikan kejayaan leluhurnya.

Abu al-Fida memimpin Hama selama lebih dari dua dekade dalam suasana stabil dan damai. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijaksana, melindungi para pelajar, dan menulis dengan tekun. Tahun 1320, ia menerima gelar turun-temurun Sultan Malik ul-Mu’ayyad yang menyatakan kedudukan di Dinasti Mamluk.

Abu al Fida kemudian kembali lagi ke Mekkah pada tahun 1321, lalu dia pergi melakukan kampanye militer sekali lagi untuk menyerang wilayah Asia Kecil. Saat berada di tengah-tengah kampanye militer ini, Abu al Fida menggunakan sedikit waktu yang tersisa untuk menulis. Pada tahun 1323, dia kembali ke Hama dan menulis karya geografi. Dia juga juga sempat melakukan perdagangan. Selain itu dia naik haji ke Mekah sebanyak tiga kali, membagi waktunya secara seimbang antara politik, ekonomi, ibadah, dan ilmu.

Karya dan Keilmuan

Selain menjadi panglima perang dan pangeran, Abu al-Fida juga seorang cendekiawan. Ia menguasai ilmu sejarah, geografi, botani, dan pengobatan. Ia menulis buku ensiklopedia obat-obatan berjudul Kunash.

Namun karyanya yang paling monumental adalah “Tarikh al-Mukhtasar fi Akhbari al-Bashar” atau The Concise History of Humanity. Ia mulai menulis buku ini pada tahun 1315 dan menyempurnakannya pada tahun 1329. Ia memuat sejarah universal, mulai dari penciptaan dunia, sejarah pra-islam hingga Islam.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Karyanya mendapat berbagai macam penghargaan di dunia Islam maupun di Barat. Karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Prancis, dan Inggris. Sejarawan setelahnya, seperti Ibnu al-Wardi (1348) dan Ibnu Shina al-Halabi (1403), melanjutkan catatan sejarah yang ia susun.

Selain sejarah, ia menulis tentang geografi. Ia menjelaskan kota-kota utama di dunia, garis lintang dan bujur, iklim, adat istiadat, serta pembagian etnis. Ia menetapkan ortografi nama tempat dengan cermat dan mengamati tentang bentuk bumi. Ia menegaskan bahwa tiga perempat permukaan bumi tertutup air, sebuah kesimpulan yang menunjukkan ketelitian ilmiahnya.

Pengaruh dan Pengakuan di Barat

Abu al-Fida mengambil inspirasi dari karya sejarah sebelumnya, terutama Ibnu al-Atsir dari Mosul. Namun, ia menambahkan pengalaman pribadinya sebagai saksi berbagai peristiwa besar. Oleh karena itu, karyanya memiliki bobot tinggi dan menarik perhatian ilmuwan Barat.

Pada abad ke-17, orientalis Eropa seperti John Cagnier dan Reiske menerbitkan karya-karyanya. Dari situlah, pengetahuan sejarah dan geografi Islam menyebar luas ke dunia Barat. Tidak mengherankan jika orang-orang kemudian mengabadikan namanya sebagai kawah Abulfeda di bulan, simbol dianugerahi atas jasanya.

Abu al-Fida menunjukkan bahwa seorang Muslim dapat menjalani peran ganda: menjadi pemimpin yang tangguh di medan perang, penguasa yang adil, dan ilmuwan yang rajin menulis. Ia membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dan kekuatan militer bisa berjalan beriringan. Karyanya juga membuktikan bahwa tulisannya mampu menjembatani peradaban Islam dengan dunia Barat.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Abu al-Fida wafat di Hama pada tahun 1331 ketika ia berada di puncak kejayaan. Ia meninggalkan warisan besar berupa karya tulis dan teladan hidup sebagai ulama, panglima, sekaligus penguasa.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement