SURAU.CO – Politik balas budi atau patronase masih menjadi penyakit laten dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Sejak awal kemerdekaan hingga kini, praktik ini terus mewarnai dinamika politik, seolah-olah bangsa tidak menuju langkah-langkah perbaikan yang signifikan. Pemimpin yang terpilih seringkali memberi jasa kepada para pendukungnya. Akibatnya, pemimpin tidak menyerahkan jabatan publiknya kepada orang-orang yang berkompeten, melainkan kepada mereka yang setia mendukung selama proses politik berlangsung. Dalam perspektif Islam, praktik semacam ini jelas terlarang karena bertentangan dengan prinsip keadilan, amanah, dan profesionalisme.
Politik Balas Budi dan Dampaknya
Budaya patronase berjalan dengan skema sederhana: pemimpin bertindak sebagai patron (pemberi dukungan), sementara para pendukung bertindak sebagai klien (penerima imbalan). Pemimpin biasanya memberi imbalan jasa berupa jabatan publik yang seharusnya diisi oleh orang yang kompeten. Namun, dalam praktiknya, pemimpin justru menyerahkan strategi jabatan kepada orang-orang yang memiliki kedekatan politik. Akibatnya, struktur kabinet membengkak dan penuh dengan pejabat yang tidak ahli di bidangnya.
Dampaknya sangat serius. Pertama, pejabat yang tidak memahami bidang pekerjaannya melahirkan kebijakan ngawur. Kedua, pejabat yang tidak kompeten mencari peluang untuk memperkaya diri sendiri. Kondisi inilah yang membuat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) terus terjadi di Indonesia. Padahal, Islam menegaskan bahwa pemimpin harus menyerahkan jabatannya berdasarkan kompetensi, bukan karena hubungan pribadi atau hubungan budi politik.
Pandangan Ulama tentang Larangan Patronase
Al-Qulyubi menegaskan, pemimpin yang menyerahkan jabatannya tanpa mempertimbangkan kompetensi melakukan perbuatan haram. Dia berkata:
يَحْرُمُ عَلَى الْإِمَامِ تَوْلِيَةُ غَيْرِ أَهْلٍ مَعَ وُجُودِ الْأَهْلِ وَيَحْرُمُ الْقَبُولُ أَيْضًا وَلَا تَنْفُذُ تَوْلِيَتُهُ
Artinya, “Haram bagi imam (pemimpin) mengangkat seseorang yang bukan ahlinya padahal ada orang yang ahli, dan haram pula bagi orang yang tidak ahli itu menerima jabatan tersebut. Pengangkatannya juga tidak sah.” (Hasyiyah Qalyubi, Juz 4, hlm. 298).
Pernyataan ini menunjukkan dua hal. Pertama, pemimpin berdosa besar ketika mengangkat pejabat tidak kompeten. Kedua, orang yang menerima jabatan itu juga ikut berdosa. Terlebih lagi, syariat menganggap keputusan mereka tidak sah meskipun kebijakan mereka terlihat benar.
Imam Nawawi juga menegaskan hal serupa. Dalam Raudlatut Thalibin, beliau menulis:
إِنْ عَرَفَ الْإِمَامُ أَهْلِيَّتَهُ وَلَّاهُ، وَإِلَّا فَيَبْحَثُ عَنْ حَالِهِ، فَلَوْ وَلَّى مَنْ لَمْ تَجْتَمِعْ فِيهِ الشُّرُوطُ مَعَ الْعِلْمِ بِحَالِهِ، أَثِمَ الْمُوَلِّي وَالْمُتَوَلِّي وَلَمْ يُنَفَّذْ قَضَاؤُهُ
Artinya, “Jika imam sudah mengetahui kelayakan seseorang, maka ia boleh mengangkatnya. Jika belum, maka ia harus mencari tahu keadaannya. Jika ia mengangkat orang yang tidak memenuhi syarat padahal tahu keadaannya, maka ia (pemimpin) dosa, yang diangkat juga dosa, dan keputusan hukumnya tidak sah meskipun sesuai dengan kebenaran.” (Juz 11, hlm.97).
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa politik balas budi tidak hanya melahirkan pejabat yang tidak kompeten, tetapi juga menjerumuskan pelakunya pada dosa. Pemimpin dan pejabat sama-sama memikul tanggung jawab kelak di hadapan Allah.
Kriteria Kompetensi Menurut Islam
Islam tidak hanya melarang patronase, tetapi juga memberikan kriteria yang jelas mengenai syarat seorang pejabat. Khatib Asy-Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj menyebutkan beberapa keterampilan penting yang harus dimiliki pejabat. Ia menekankan sifat sabar, teliti, cerdas, waspada, pandai menulis, memiliki panca indera dan anggota tubuh yang produktif, memahami bahasa masyarakat, berpikiran qana’ah, jujur, tenang, serta berwibawa.
Kriteria ini menunjukkan bahwa jabatan publik merupakan amanah besar yang menuntut kapasitas dan integritas. Walaupun kita sulit menemukan sosok yang sempurna, pejabat tetap harus memiliki kompetensi dasar yang mumpuni. Artinya, pemimpin tidak boleh menyerahkan jabatannya hanya karena kedekatan politik, tetapi harus melalui seleksi ketat berdasarkan kualitas.
Reformasi Internal sebagai Solusi
Untuk keluar dari jerat politik balas budi, maka harus melakukan reformasi internal. Pemimpin harus berani mengutamakan kompetensi daripada loyalitas politik. Pemimpin juga harus mencopot pejabat yang mendapatkan jabatan karena patronase, karena mempertahankannya hanya akan memperpanjang siklus dosa sekaligus menambah kerugian negara.
Reformasi ini bukan sekedar kebutuhan politik, namun juga kewajiban moral dan agama. Jika pemimpin benar-benar ingin membawa kemajuan bangsa, mereka harus menolak sistem balas budi. Jabatan publik merupakan amanah besar yang akan Allah mintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, pemimpin dan pejabat yang menerima jabatan tanpa kompetensi harus sadar bahwa mereka sedang memikul dosa besar.
Penutup
Politik balas budi bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ulama besar seperti Al-Qulyubi, Imam Nawawi, Khatib Asy-Syarbini, dan Imam Nawawi telah menegaskan larangan praktik ini. Islam menekankan pentingnya kompetensi, keadilan, dan amanah dalam setiap mengangkat pejabat. Jika pemimpin menjalankan prinsip ini, bangsa akan melahirkan pemerintahan berkualitas dan menciptakan kesejahteraan rakyat.
Sebaliknya, jika patronase politik tetap berlanjut, bangsa hanya akan terjebak dalam lingkaran setan berupa korupsi, ketidakadilan, dan kemiskinan. Jalan keluar satu-satunya terletak pada reformasi internal dan penolakan terhadap politik balas budi. Dengan langkah itu, Indonesia dapat mewujudkan pemerintahan ideal yang Islam impikan: pemerintahan yang adil, amanah, dan menyejahterakan seluruh rakyat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
