SURAU.CO – Ibnu Al-Shatir, nama lengkapnya adalah Ala Al-Din Abu’l-Hasan Ali ibnu Ibrahim ibnu al-Shatir, merupakan seorang polymath Muslim Arab terkemuka. Ia ahli astronomi, matematika, teknik mesin, dan penemu ulung. Lahir pada tahun 1304 M, Ibnu Al-Shatir meninggal dunia pada tahun 1375 M. Karya-karyanya memiliki pengaruh signifikan. Bahkan, pemikirannya memengaruhi salah satu tokoh terpenting Renaisans.
Pencetus Heliosentrisme yang Terlupakan?
Peradaban Barat sering mengaitkan Nicolaus Copernicus (1473–1543 M) dengan teori heliosentris Tata Surya. Namun, fakta sejarah mengungkapkan hal menarik. Sejarawan astronomi menemukan kesamaan ide matematika. Kesamaan ini terlihat antara buku “De Revolutionibus” karya Copernicus dengan kitab yang ditulis Ibnu Al-Shatir. Kitab tersebut berjudul “Kitab Nihayat Al-Sul Fi Tashih al-Usul”. Ibnu Al-Shatir menulisnya seratus tahun lebih awal. Ini menunjukkan pemikiran al-Shatir sangat mungkin memengaruhi Copernicus.
Ibnu Al-Shatir bekerja sebagai muwaqqit (pengatur waktu ibadah) di Masjid Umayyah, Damaskus, Suriah. Profesi ini memberinya kesempatan mendalam mempelajari pergerakan benda langit.
Revolusi Astronomi Melawan Ptolemeus
Ibnu Al-Shatir secara drastis merevolusi Teori Geosentris Ptolemy (90 SM–168 SM). Ia memperkenalkan epicycle rumit secara matematis. Ini adalah sistem lingkaran di dalam lingkaran. Al-Shatir berupaya menjelaskan gerak Merkurius. Ia berpegang pada bumi sebagai pusat alam semesta. Model Merkurius Ibnu al-Shatir menggunakan Tusi-couple. Ini menggandakan epicycle, menghilangkan eksentrik dan equant teori Ptolemaic.
Menurut George Saliba, dalam “A History of Arabic Astronomy”, “Kitab Nihayat al-Sul fi Tashih al-Usul” adalah risalah astronomi terpenting Ibnu Al-Shatir. Saliba menjelaskan, “Dalam kitab itu, ia secara drastis mereformasi model matahari, bulan, dan planet Ptolemic.” Ia memperkenalkan model non-Ptolemic. Model ini menghapuskan epicycle pada model matahari. Juga, ia menghilangkan eksentrik dan equant. Ia menambahkan epicycle ekstra pada model planet. Ini dilakukan melalui model Tusi-couple. Semua eksentrik/eccentric, epicycle, dan equant pada model bulan dihilangkan.
Sebelumnya, aliran Maragha hanya berpatokan pada model Ptolemaic. Model geometris Ibnu al-Shatir merupakan karya pertama yang unggul. Model ini lebih sesuai dengan pengamatan empiris.
Pemisahan Filsafat dan Astronomi
Ibnu al-Shatir memisahkan filsafat alam dari astronomi. Ia menolak model empiris Ptolemic. Tidak seperti astronom sebelumnya, ia tidak terikat pada prinsip kosmologi. Ia tidak peduli dengan fisika Aristoteles. Tujuannya adalah menciptakan model yang konsisten dengan pengamatan empiris. Modelnya jauh lebih baik daripada model sebelumnya.
Saliba menyebut karyanya sebagai “Revolusi ilmiah sebelum Renaisans.” Ibnu al-Shatir melakukan pengujian dengan pengamatan empiris. Ia menguji model Ptolemaic. Jika tidak sesuai, ia merumuskan model non-Ptolemic. Pengamatannya yang akurat membuatnya yakin. Ia menghapus epicycle dalam model matahari Ptolemaic.
Ibnu al-Shatir adalah astronom pertama. Ia memperkenalkan eksperimen dalam teori planet. Ia menguji model dasar empiris Ptolemaic. Saat menguji model matahari Ptolemaic, ia memaparkan “pengujian nilai Ptolemaic.” Ini mengenai bentuk dan ukuran matahari. Ia menggunakan pengamatan gerhana bulan. “Karyanya tentang percobaan dan pengamatannya memang telah musnah,” papar Saliba. “Namun buku The Final Quest Concerning the Rectification of Principles adalah milik al-Shatir.”
Pengaruh Tak Terbantahkan
“Meskipun sistemnya geosentri yang kuat,” jelas V. Roberts dan E. S. Kennedy. Mereka menulis dalam “The Planetary Theory of Ibn al-Shatir,” “ia telah menghapuskan equant dan accentric Ptolemaic.” Detail sistem matematikanya hampir serupa dengan “De revolutionibus” Copernicus.
Menurut Saliba, model bulan Copernicus serupa dengan model Ibnu al-Shatir. Ada kemungkinan besar Copernicus mengadaptasi model Ibnu al-Shatir. “Manuskrip Byzantine Yunani yang berisi Tusi-couple tempat Ibnu al-Shatir bekerja telah mencapai Italia pada abad ke-15 M,” tutur AI Sabra. Diagram model heliocentric Copernicus memiliki tanda-tanda serupa. Ini mirip dengan diagram Ibnu al-Shatir pada model geosentrisnya. “Sangat mungkin Copernicus terpengaruh karya Ibnu al-Shatir,” ujar Saliba. YM Faruqi menambahkan, “Teori pergerakan bulan Ibnu al-Shatir sangat mirip dengan Copernicus.” Ini terjadi sekitar 150 tahun kemudian.
Kontribusi Teknik yang Mengesankan
Selain astronomi, Ibnu al-Shatir juga seorang insinyur jenius. David A. King, dalam “The Astronomy of the Mamluks”, menjelaskan. Ibnu al-Shatir menemukan jam astrolabe pertama yang terjadi di awal abad ke-14 M. Jam astrolabe bukan jam biasa, melainkan alat astronomi kuno yang dapat digunakan untuk menentukan waktu dengan mengamati posisi benda langit seperti matahari dan bintang.Alat ini juga memiliki fungsi lain seperti pengukuran ketinggian bangunan, navigasi, serta perhitungan posisi bintang dan planet. Meskipun sudah jarang digunakan saat ini, astrolabe memiliki peran penting dalam sejarah, terutama bagi umat Islam untuk menentukan waktu salat dan awal bulan Ramadhan.
Penemuannya membuatnya dikenal sebagai muwaqqit. Ini didasarkan pada garis jam lurus. Ia membagi waktu sehari menjadi 12 jam. Waktu pendek di musim dingin, lebih panjang di musim panas. Jam mataharinya adalah polar-axis sundial tertua. “Konsep kemudian muncul di Barat pada 1446,” ungkap Jones, Lawrence.
Penemuan Kompas Revolusioner
David A. King juga mengatakan, Ibnu al-Shatir menemukan kompas yang merupakan perangkat pengatur waktu. Kompas ini menggabungkan jam matahari dan kompas magnetis. Penemuan ini terjadi pada awal abad ke-14 M.
Ibnu Al-Shatir adalah ilmuwan Muslim Arab luar biasa. Kontribusinya membentuk fondasi ilmu pengetahuan modern. Pengaruhnya terhadap peradaban Barat tidak dapat disangkal. Ia adalah tokoh penting yang perlu kita kenang.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
