SURAU.CO – Pada masa awal dakwah Islam, tantangan datang silih berganti. Bangsa Arab yang belum menerima Islam seringkali menunjukkan kekejaman. Mereka bertindak sewenang-wenang terhadap Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Jumlah kaum Muslimin saat itu masih sedikit. Namun, iman mereka teguh laksana baja.
Suatu hari, seorang pemuka kabilah Arab mengirimkan delegasi. Mereka menemui Rasulullah dengan sebuah permintaan. “Warga kabilah kami sangat ingin memeluk Islam,” kata utusan itu. “Tetapi tidak ada dai yang kompeten di sini. Kirimkanlah kepada kami seseorang yang benar-benar menguasai masalah ini.”
Rasulullah dengan sigap mengutus beberapa dai. Beliau mengirimkan mereka untuk berdakwah. Namun, sebuah konspirasi jahat telah menunggu. Saat tiba di perbatasan wilayah kabilah itu, situasi berubah. Pemuka kabilah dan para pengikutnya mengepung utusan Rasulullah. Mereka mengeluarkan ultimatum kejam. “Pilih salah satu,” kata mereka. “Menyerah atau mati!”
Khubair bin Adi dan Zaid bin Asyna mengambil jalan penyerahan diri. Mereka mengikuti perintah para pengepung. Sementara itu, utusan Rasulullah lainnya mencium aroma pengkhianatan. Mereka memilih untuk bertarung hingga titik darah penghabisan. Mereka gugur sebagai syahid dalam pertempuran itu.
Pemuka suku yang licik itu mengirim Khubair dan Zaid ke Mekah. Mereka dalam keadaan terbelenggu rantai besi. Di Mekah, mereka menjadi tawanan kaum Quraisy.
Dendam Kaum Quraisy dan Keteguhan Khubair
Perang Badar telah usai. Banyak pemuka suku Quraisy yang tewas dalam pertempuran itu. Anak-anak dari para pemuka suku ini menyimpan dendam. Mereka bertekad membalaskan kematian orang tua mereka. Dengan membeli Khubair dengan harga yang sangat tinggi, mereka menyeretnya pulang dengan sorak-sorai keluarga yang kejam.
Khubair dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah. Rantai besi mengikat tubuhnya. Rintihan Khubair yang malang itu menyentuh hati seorang wanita. Wanita itu adalah penghuni rumah tersebut. Dengan sembunyi-sembunyi, ia menyusup ke dalam penjara. Ia ingin berbicara dengan Khubair.
“Wahai orang yang ditawan,” katanya lembut. “Ceritakan padaku jika engkau mempunyai suatu keinginan. Aku akan mencoba memenuhi keinginanmu.”
Khubair menatap wanita itu dengan mata berseri-seri. Sebuah harapan kecil menyala dalam dirinya. “Aku tidak mempunyai keinginan kecuali satu,” jawab Khubair. “Katakan kapan aku akan dihukum mati. Dan jika engkau bersedia, pinjami aku pisau cukur guna mencukur rambutku.”
Wanita itu memenuhi permintaan Khubair. Ia pergi dari hadapannya. Tak lama kemudian, ia mengirimkan anaknya yang masih kecil ke penjara. Anak itu membawa pisau cukur yang tajam.
Khubair memegang anak kecil itu dengan hati-hati. Ia membelai rambut anak itu. “Alangkah bodohnya ibumu, anakku,” katanya. “Dia telah menyerahkan dirimu ke tangan pembunuh musuh bebuyutannya.”
Sang ibu sedang dalam perjalanan kembali ke penjara karena ia mendengar ucapan Khubair. Kekhawatiran segera menyelimutinya. Ia menyadari kesembronoan perbuatannya. Khawatir akan keselamatan anaknya, sang ibu berlari ke arah pintu penjara. Khubair menyerahkan si anak kepada ibunya. “Jangan takut ibu!” kata Khubair menenangkan. “Tidak ada pengkhianatan dalam Islam.”
Shalat Terakhir dan Pilihan Pasti
Hari eksekusi pun tiba dan kemudian Khubair diseret ke tempat terbuka. Ia meminta izin untuk melaksanakan shalat terakhir dan permintaannya dikabulkan. Khubair melaksanakan shalat dengan agak cepat. Selesai shalat, ia berkata, “Dalam keadaan normal, seseorang biasanya cenderung lebih lama dalam mengerjakan shalat. Namun aku cepat-cepat menyelesaikan shalatku agar kalian tidak menganggapku takut menghadapi kematian.”
Khubair masih diberi satu pilihan terakhir dan itu adalah kesempatan untuk selamat. “Masih ada kesempatan selamat bagimu,” kata para algojo. “Tinggalkan Islam dan nikmati hidup bahagia.”
Dengan suara yang tenang dan pasti, Khubair menjawab. Ia tidak gentar sedikit pun. “Kematian dalam keadaan Islam lebih mulia daripada hidup tanpa Islam.”
Di atas tiang pancang yang tinggi, Khubair menghadapi takdirnya. Anak-anak panah dan tombak menghujam tubuhnya. Sang syahid pemberani itu menghembuskan napas terakhirnya. Ia pergi dengan kehormatan. Kisah Khubair bin Adi menjadi teladan abadi. Ini adalah bukti keteguhan iman dan pengorbanan sejati. Kisahnya menginspirasi umat Islam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
