Sosok
Beranda » Berita » Syekh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi: Cahaya Sufi dari Ranah Minang

Syekh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi: Cahaya Sufi dari Ranah Minang

SURAU.CO – Syekh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi seorang ulama terkemuka. Ia ahli di bidang tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam. Lahir di Nagari Simabur, Batusangkar, Tanah Datar di Sumatera Barat pada tahun 1712. Pendidikan agama pertamanya datang dari orang tuanya. Kemudian, ia menuntut ilmu di Makkah dan Madinah. Syekh Ismail wafat dan dimakamkan di Makkah.

Beliau tinggal di Makkah dan Madinah selama 35 tahun. Ia mendalami ilmu dari banyak ulama besar. Di antara gurunya adalah Syekh Abdullah al-Syarqawi. Ada juga Syekh ‘Atha’illah bin Ahmad al-Azhari. Syekh Muhammad bin Ali al-Syanwani juga membimbingnya. Demikian pula Syekh Abdullah Affandi. Syekh Khalid al-Utsmani al-Kurdi pun menjadi gurunya. Syekh Ismail dikenal sebagai pelopor. Ia mempopulerkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Tarekat ini berkembang pesat di Minangkabau. Bahkan meluas ke seluruh Indonesia.

Peran Sentral dalam Pemurnian Tasawuf

Syekh Ismail memiliki peran krusial. Ia memurnikan ajaran tasawuf di Indonesia. Ini terjadi pada abad ke-19. Dua ulama lain yang juga berkontribusi besar adalah Syekh Muhammad Saleh az-Zawawi dan Syekh Ahmad Khatib as-Sambasi. Ketiganya aktif mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Mereka juga mengusung Tarekat Naqsyabandy Muzhariyah serta Tarekat Naqsyabandiyah Qadiriyah.

Syekh Ismail menjadi simpul utama. Ia adalah sanad keilmuan bagi ulama Minangkabau. Keilmuannya sangat mumpuni. Banyak pelajar muslim Minangkabau datang padanya. Pelajar dari daerah sekitar juga berguru padanya. Banyak calon ulama besar menjadi muridnya. Sebut saja Syekh Muhammad Shaleh Silungkang, Syekh Abdurrahman Batuhampar, Syekh Abdul Halim Simabur dan  Syekh Muhammad Thahir Barulak Serta Syekh Musthafa al-Khalidi Sungai Pagu adalah murid-muridnya.

Warisan Abadi Berupa Karya-Karya Ilmiah

Syekh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi mengarang banyak kitab. Beberapa karyanya sangat terkenal:

Cara Ampuh Mengobati Iri dan Dengki Menurut Imam Nawawi: Panduan Membersihkan Hati

  1. Kifayatul Ghulam,
  2. Al-Manhal al-Adzib,
  3. Syarah Muqaddimah al-Kubra
  4. Mawahib Rabbil Falaq Syarah Qasidah bintil Milaq,
  5. Nazham Tawassul li Ahlit Thariqah al-Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, dan
  6. Risalah Muqaranah Niat.

Perjalanan Panjang Menuntut Ilmu di Tanah Suci

Syekh Ismail al-Minangkabawi memulai pendidikannya di kampungnya. Beliau belajar mengaji Al-Qur’an di surau. Setelah itu, ia mendalami kitab Arab Melayu. Ia juga mempelajari kitab Arab klasik yang meliputi fikih, tasawuf, dan kalam. Tafsir dan hadis pun menjadi fokusnya. Ia juga menguasai ilmu bahasa Arab. Seperti nahwu, sharaf, dan balaghah.

Selama 35 tahun, Ismail al-Minangkabawi menuntut ilmu. Ia belajar di Mekah, Madinah, dan wilayah Arab lainnya.

Guru-gurunya sangat beragam dan berkaliber tinggi. Syekh Ataillah bin Ahmad al-Azhari (w. 1161 H/1748 M) adalah salah satunya. Beliau ahli fikih Mazhab Syafi‘i. Syekh Abdullah asy-Syarqawi (w. 1227 H/1812 M) juga gurunya. Beliau mantan Syekh al-Azhar dan ahli fikih Syafi‘i. Syekh Abdullah Affandi seorang tokoh Tarekat Naqsyabandiyah. Syekh Khalid al-Usmani al-Kurdi (Baghdad, 1192 H/1778 M–1242 H/1826 M) juga seorang mursyid. Beliau adalah pembimbing rohani Tarekat Naqsyabandiyah. Syekh Muhammad bin Ali asy-Syanwani, seorang ahli ilmu kalam, turut mengajarinya.

Mengajar dan Menyebarkan Cahaya Ilmu

Setelah menuntaskan pendidikannya, Ismail al-Minangkabawi menyebarkan ilmunya. Ia bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Syekh Husain bin Ahmad ad-Dawsari al-Basri (w. 1242 H/1826 M) adalah salah satu muridnya. Ia bercerita bertemu gurunya di pelabuhan Bahrein. Di sana ia menerima pelajaran Tarekat Naqsyabandiyah.

Pelajaran itu terus berlanjut di sebuah desa. Desa itu tidak disebutkan namanya. Lokasinya berada di luar kota Basrah. Mereka berpisah setelah beberapa waktu.

Mbah Mangli: Ulama Kharismatik dari Lereng Andong Magelang

Setelah pengembaraan panjang, Ismail al-Minangkabawi kembali. Ia pulang ke kampung halamannya, Simabur (Batusangkar). Di sana ia mengajarkan ilmu usuluddin, ilmu syariat, dan ilmu tarekat. Dalam ilmu usuluddin, ia mengajar ilmu kalam Asy‘ariyah. Khususnya fokus pada pelajaran sifat dua puluh.

Dalam ilmu syariat, ia mengajarkan fikih Mazhab Syafi‘i. Untuk ilmu tarekat, ia mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Sejak masa itu, tarekat ini menyebar luas. Ia berkembang di Sumatera Barat dan sekitarnya. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai pelopor. Dialah yang pertama mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau.

Dua Aliran Tarekat: Sebuah Perbandingan

Perkembangan tarekat di Sumatera Barat sudah ada sebelumnya. Tarekat Syattariyah berkembang jauh lebih awal. Pusatnya berada di Ulakan, Pariaman. Tarekat ini dibawa oleh Syekh Burhanuddin (w. 1111 H/1704 M). Beliau adalah murid Syekh Abdur Rauf Singkel.

Tarekat Syattariyah lebih mengutamakan amal batin. Ini berbeda dengan Tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat Naqsyabandiyah menyeimbangkan amal lahir dan batin.

Tarekat Naqsyabandiyah sendiri terbagi dua aliran. Yaitu Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah. Dan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Aliran pertama berasal dari Syekh Muhammad Muzhar al-Ahmadi. Beliau seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyah. Aliran kedua berasal dari Syekh Khalid al-Usmani al-Kurdi. Beliau seorang mursyid yang banyak memodifikasi tarekat tersebut. Ismail al-Minangkabawi memilih dan mengembangkan aliran kedua ini.

Menangkal Hoaks dengan Bab “Menjaga Lisan”: Perspektif Imam Nawawi untuk Era Digital

Pengaruh Meluas Hingga Kerajaan Melayu Riau

Selain di kampung halamannya, Ismail al-Minangkabawi menyebarkan ilmunya dengan berdakwah di luar wilayah Sumatera Barat. Raja Ali Haji mencatat ini dalam bukunya Tuhfah an-Nafis. Syekh Ismail al-Minangkabawi sering mengunjungi Kerajaan Melayu Riau. Ini terjadi saat Raja Ali Haji menjabat raja muda Riau.

Raja Ali Haji secara pribadi menjemputnya di pelabuhan. Lalu membawanya ke istana kerajaan. Keluarga kerajaan berkumpul di sana. Mereka dengan khidmat mendengarkan wejangan ulama tersebut.

Ismail al-Minangkabawi sangat dihormati. Ia memiliki pengaruh kuat di Kerajaan Melayu Riau. Silsilah keturunannya menunjukkan pertalian darah. Ia terhubung dengan orang Melayu dan Bugis. Ini di Pulau Penyengat dan Negeri Sembilan.

HAMKA menulis dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama. Ia menyebut Raja Muhammad Yusuf (1858–1899). Raja ini adalah yamtuan muda Riau. Ia berasal dari keturunan Bugis. Raja Muhammad Yusuf menambahkan “al-Khalidi” di ujung namanya. Ini menandakan ia seorang pengikut Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Tarekat itu ia pelajari dari Syekh Ismail al-Minangkabawi. Beliau berulang kali datang ke Pulau Penyengat.

Pemikiran dan Kontribusi Akidah, Fiqih, dan Tasawuf

Ismail al-Minangkabawi menyusun beberapa buku. Buku-buku ini membahas amal keagamaan sehari-hari. Terutama dalam bidang akidah, fikih, dan tasawuf.

Hanya dua karyanya yang telah ditemukan. Yaitu Kifayah al-Gulam fi Bayan Arkan al-Islam wa Syurutih. (Kecukupan bagi Anak dalam Penjelasan tentang Rukun Islam dan Syaratnya). Lalu ada Risalah Muqaranah ‘Urfiyah wa Tauzi‘iyah wa Kamaliyah. (Risalah tentang Niat Salat).

Kitab pertama menjelaskan rukun Islam dan rukun iman. Juga mendetailkan sifat Tuhan (sifat dua puluh). Dilanjutkan dengan kewajiban muslim. Ini mencakup tata cara bersuci, salat, puasa, haji, dan nikah.

Kitab kedua adalah sebuah buku kecil. Ia membahas keterpaduan niat dalam hati. Serta keselarasan dengan lafal takbiratulihram. Ini terjadi pada permulaan pelaksanaan salat.

Selain itu, ia mendiktekan karyanya kepada muridnya. Muridnya adalah Syekh Husain bin Ahmad ad-Dawsari al-Basri. Kitab itu berjudul ar-Rahmah al-Habitah. (Rahmat yang Turun). Kitab ini mempertahankan kebolehan rabitah. Yaitu berperantara dalam beribadah kepada Tuhan.

Bahkan, menurutnya, mengambil guru sebagai perantara adalah sunah. Ini didasarkan pada Al-Qur’an surah al-Mai’dah (5) ayat 35. Ayat itu berarti: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya…”

Sebagai pengikut aliran Asy‘ariyah, ia mewajibkan setiap muslim mengenal Tuhan. Ini harus mengikuti metode kaum Asy‘ariyah. Dimulai dengan pengenalan sifat Tuhan (sifat dua puluh).

Menurutnya, Tuhan dapat dikenal melalui sifat-Nya itu. Setelah itu, setiap muslim wajib tahu rukun iman lainnya.

Sebagai penganut Mazhab Syafi‘i, ia berpegang teguh pada pendapat mazhab tersebut. Dalam bukunya Risalah Muqaranah, ia mempertahankan pendapat ulama Syafi‘i. Yaitu tentang kesertaan niat dan amal. Ini didasarkan atas definisi niat masyhur dalam Syafi‘i. Yakni qaœd asy-syai’ muqtarinan bi fi‘lih. (menyengaja sesuatu disertai dengan mengerjakannya).

Pengecualian definisi ini hanya pada ibadah puasa. Niat dan pengamalannya terpisah. Ia juga menentang paham tasawuf tertentu. Paham itu menafikan eksistensi niat. Ini terjadi bila orang telah mencapai maqam fana, baka, dan ittihad.

Mursyid Tarekat dengan Sanad Terhubung Nabi SAW

Ismail al-Minangkabawi diakui sebagai mursyid. Beliau adalah mursyid Tarekat Naqsyabandiyah. Silsilah pengambilan tarekatnya terhubung kepada Nabi SAW. Kelebihannya dalam tarekat ini sangat unik. Ia menerima baiat dari dua syekh mursyid sekaligus yaitu Syekh Khalid al-Usmani al-Kurdi dan juga Syekh Abdullah Affandi.

Kiprah Syekh Ismail al-Minangkabawi sangat sukses. Ia berhasil mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah. Ini terlihat di seluruh Sumatera Barat dan sekitarnya. Tarekat ini berkembang luas hingga ke pelosok daerah. (dari berbagai sumber)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement