Oleh: Abi S. Nugroho, Aktivis NU, aktif dalam advokasi kebijakan dan pemberdayaan masyarakat
SURAU.CO – “Sementara orang kecil menderita terus, dan elite politik saling menghujat terus, mengapa Gus Dur melucu terus?” — Oom Pasikom, Kompas. Di tengah gelombang krisis multidimensi akhir 1990-an, Indonesia membutuhkan figur perekat. Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, datang bukan hanya karena jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU, tetapi juga sebagai simbol keberanian moral. Terpilih sebagai Presiden Keempat, ia memikul harapan besar, terutama dari kalangan Nahdliyin.
Namun, perjalanan politik Gus Dur di istana tak pernah mulus. Humor-humornya yang khas, yang sering disalahpahami, justru menjadi strategi komunikasi politik untuk menguji nalar publik. Pernyataannya bahwa “anggota DPR mirip Taman Kanak-kanak” mengundang gelombang protes. Skandal Buloggate dan Bruneigate, yang berlapis intrik politik, memicu Sidang Istimewa MPR hingga berujung pada pemakzulannya. Bagi sebagian orang, ini adalah tragedi politik; bagi yang lain, ini adalah bukti bahwa Gus Dur terlalu jauh melangkah.
Cermin Gus Dur di Tengah Jalan Tengah NU
Gus Dur bukanlah tipe politisi yang mengukur keberhasilan dari lamanya memegang jabatan. Saat dekrit pembubaran DPR gagal, ia memilih kembali ke Cenganjur tanpa dendam. Di mata pendukungnya, langkah itu adalah simbol konsistensi. Loyalitas warga NU pada Gus Dur melampaui sekadar hormat pada kiai, karena Gus Dur membangun kepercayaan bahwa politik bisa dijalankan dengan hati nurani.
Dua dekade setelah Gus Dur lengser, NU menghadapi tantangan berbeda, namun dengan benang merah yang sama: tarikan antara idealisme dan pragmatisme. Gus Dur telah menunjukkan bahwa keberpihakan pada rakyat kecil bukan retorika. Ia berani mengambil risiko demi membela kelompok minoritas. Pertanyaannya, di tengah dinamika politik sekarang, apakah NU masih memegang keberanian moral yang sama?
Beberapa kalangan menilai, NU belakangan cenderung kompromistis dalam menyikapi isu-isu besar seperti intoleransi dan oligarki. Strategi “jalan tengah” (wasatiyah) memang menjaga NU tetap diterima semua pihak, tapi seringkali berisiko membuatnya terlihat pasif. Di sinilah kita perlu memetik pelajaran dari gaya komunikasi politik Gus Dur.
Empat Pelajaran dari Gus Dur untuk NU Hari Ini
Pertama, humor sebagai senjata moral.
Bagi Gus Dur, humor bukan semata hiburan, melainkan cara tajam membongkar kesombongan kekuasaan. Saat ia menyebut DPR mirip taman kanak-kanak, ada pesan mendalam bahwa wakil rakyat sering bersikap kekanak-kanakan. Di era media sosial, NU punya peluang besar untuk mengadopsi strategi serupa: humor cerdas yang mengajak publik berpikir kritis.
Kedua, keberanian mengambil risiko.
Gus Dur tidak pernah gentar mengambil keputusan kontroversial, meskipun taruhannya besar. Dalam konteks NU saat ini, keberanian semacam itu adalah ujian. Apakah organisasi ini sanggup bersuara lantang ketika prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial terancam? Sejarah menunjukkan, kehormatan organisasi diukur dari keberaniannya mempertahankan prinsip di saat genting.
Ketiga, membela yang termarjinalkan.
Salah satu warisan paling berharga dari Gus Dur adalah komitmennya membela mereka yang terpinggirkan. Tantangan NU sekarang tidak kalah besar: mengentaskan kemiskinan struktural, melawan penggusuran paksa, dan mengatasi kerusakan lingkungan. Pertanyaannya, apakah NU bersedia turun langsung ke lapangan membela mereka, atau cukup puas mengeluarkan pernyataan normatif?
Keempat, menjaga jarak kritis dari kekuasaan.
Bagi Gus Dur, jabatan adalah amanah sementara. Di tengah lanskap politik hari ini, NU menghadapi godaan serupa: tawaran kekuasaan dan posisi strategis. Jika NU terlalu larut dalam kompromi demi keuntungan jangka pendek, ia berisiko kehilangan legitimasi moralnya.
Kisah Gus Dur bukanlah fragmen sejarah, melainkan cermin yang memancarkan arah NU hari ini. Di satu sisi, NU berhasil menjaga pengaruhnya. Di sisi lain, ada kegelisahan di akar rumput bahwa NU mulai terlalu nyaman berada di dekat kekuasaan. Gus Dur mengajarkan bahwa menjadi dekat dengan kekuasaan bukanlah dosa, selama jarak kritis tetap terjaga. Dalam dunia politik yang semakin cair, NU perlu terus menegaskan posisinya. Bukan soal menjadi king maker, tetapi menjadi moral compass bangsa. Sebab, tanpa keberanian moral seperti Gus Dur, NU hanya akan menjadi penonton di panggung yang dulu telah dibangunnya dengan keringat, air mata, dan darah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
