Politik
Beranda » Berita » Abolisi dan Amnesti oleh Raja atau Presiden menurut Pandangan Islam

Abolisi dan Amnesti oleh Raja atau Presiden menurut Pandangan Islam

Amnesti dan Abolisi (Gambar Ilustrasi)
Amnesti dan Abolisi (Gambar Ilustrasi)

SURAU.CO-Abolisi dan amnesti oleh Raja atau Presiden menurut pandangan Islam memerlukan pemisahan tegas antara hak Tuhan (hudud) dan kewenangan politik (ta’zir, amnesti). Abolisi dan amnesti oleh Raja atau Presiden menurut pandangan Islam tidak berlaku sama untuk semua kasus. Syariat mengatur hukuman berdasarkan maqâṣid al-syarī‘ah dan maslahat publik, sehingga pengampunan negara harus mempertimbangkan kategori hukuman dan tujuan keadilan.

Fiqh membagi tindak pidana menjadi hudud (hukuman tetap dari nash), qisas/diyah (hak korban/keluarga), dan ta’zir (hukuman kebijakan). Hudud seperti perampokan atau zina adalah hak Ilahi. Setelah terbukti sah, penguasa tidak boleh membatalkannya. Qisas memberi ruang bagi keluarga korban untuk memaafkan. Amnesti kenegaraan tidak otomatis menggantikan hak pribadi ini.

Abolisi menghentikan proses atau membatalkan tuntutan, biasanya pada perkara politik atau karena kurang bukti. Amnesti adalah pengampunan umum bagi kelompok tertentu, sering digunakan untuk meredakan ketegangan politik. Dalam Islam, penguasa boleh menghapus hukuman ta’zir demi kemaslahatan, tetapi tidak boleh menghapus hudud yang telah sah terbukti.

Abolisi dan Amnesti: Rekonsiliasi dan Siyasah

Pengalaman sejarah menunjukkan fleksibilitas pengampunan. Nabi Muhammad ﷺ memberi pengampunan luas pada peristiwa Fathu Makkah, memulihkan perdamaian pasca-konflik. Khalifah Umar bin Khattab pernah menunda hudud saat paceklik karena kondisi darurat bisa memicu ketidakadilan. Dalam konteks modern, amnesti juga digunakan untuk mengakhiri konflik bersenjata atau ketegangan sosial.

Penguasa Muslim dapat menggunakan abolisi atau amnesti untuk tujuan rekonsiliasi, asalkan mempertimbangkan maslahat jangka panjang, bukan kepentingan politik sesaat. Rekonsiliasi dalam Islam sejalan dengan konsep islah dan sulh yang memulihkan hubungan sosial sambil memastikan pelaku bertanggung jawab.

Klasifikasi Dosa-Dosa Besar (al-Kaba’ir) Menurut Sullam at-Taufiq

Rekomendasi kebijakan Islami:

  1. Batasi amnesti dan abolisi untuk perkara politik dan ta’zir, bukan hudud yang sudah sah.

  2. Bentuk tim peninjau independen yang terdiri dari ulama, ahli hukum, dan perwakilan korban.

  3. Tetapkan syarat restoratif seperti restitusi, layanan masyarakat, atau pembinaan.

  4. Terapkan transparansi dan akuntabilitas dengan alasan yang jelas dan hak banding.

    Prinsip Rezeki Halal dalam Sullam at-Taufiq: Menguak Fondasi Hidup yang Berkah

  5. Gunakan sulh atau mediasi syariah sebagai langkah awal sebelum amnesti.

Pendekatan ini memastikan pengampunan menjadi alat rekonsiliasi yang menjaga keadilan, melindungi hak korban, dan memperkuat kepercayaan publik. Islam mengakui abolisi dan amnesti sebagai instrumen politik dan sosial, tetapi membatasi penerapannya agar tidak melanggar hak Allah atau korban. Keadilan dan kemaslahatan menjadi tolok ukur utama. Dengan prinsip maqâṣid al-syarī‘ah, penguasa dapat menyeimbangkan penegakan hukum dan pengampunan untuk mencapai keamanan, persatuan, dan kesejahteraan umat.

Islam mengakui abolisi dan amnesti sebagai instrumen politik dan sosial

Pemimpin dalam Islam memikul amanah besar untuk menegakkan hukum sekaligus memelihara persatuan umat. Abolisi dan amnesti hanya akan membawa kebaikan jika digunakan dengan hati-hati dan sesuai tuntunan syariat. Pengampunan yang salah arah justru melemahkan wibawa hukum, membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan, dan melukai rasa keadilan masyarakat. Karena itu, keputusan menghapus hukuman harus selalu melewati proses penilaian matang, melibatkan berbagai pihak yang kompeten, dan mengedepankan kebenaran.

Masyarakat juga berperan dalam memastikan kebijakan abolisi dan amnesti berjalan pada jalur yang benar. Pemahaman yang baik tentang hudud, qisas, dan ta’zir membuat warga mampu menilai apakah suatu kebijakan pengampunan sesuai prinsip Islam atau sekadar kepentingan politik. Partisipasi aktif publik dalam memberi masukan atau mengawasi proses ini membantu membangun budaya hukum yang sehat.

Sejarah Islam mengajarkan bahwa pengampunan yang tepat dapat menjadi sarana rekonsiliasi yang kuat. Fathu Makkah menjadi contoh abadi bagaimana memaafkan lawan politik dapat membuka pintu persaudaraan baru. Teladan ini memberi pesan bahwa pengampunan harus mengarah pada perbaikan, bukan sekadar menghapus hukuman.

Aqiqah dalam Kitab Riyādhul Badi‘ah

Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan abolisi dan amnesti oleh Raja atau Presiden menurut pandangan Islam diukur dari sejauh mana kebijakan itu menjaga keadilan, melindungi hak korban, dan membawa maslahat. Bila semua prinsip ini terjaga, pengampunan negara akan menjadi instrumen yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga mulia di mata Allah dan bermanfaat bagi generasi mendatang. (Hen)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement