“Membebaskan Diri dari Sifat Iblis: Jalan Sufi Menuju Cinta dan Kasih Sayang”.
> “Tidak pantas manusia saling membenci atau memusuhi. Kebencian adalah sifat iblis yang telah Allah laknat.”
— Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, Menteri Agama RI
Pernyataan ini bukan hanya sebuah kutipan dalam forum pengajian, tetapi sebuah panggilan nurani bagi kita semua untuk kembali meninjau keadaan hati dan relasi sosial kita hari ini. Di tengah dunia yang kian gaduh oleh pertikaian, perpecahan, dan ujaran kebencian, pesan ini hadir sebagai suluh yang menuntun jiwa menuju cahaya kasih sayang dan pencerahan rohani.
Memahami Akar Kebencian: Sifat yang Dilaknat
Kebencian bukan sekadar emosi negatif; ia adalah bara dalam dada yang perlahan membakar akal sehat dan menjauhkan manusia dari fitrahnya sebagai makhluk yang dimuliakan Allah. Dalam tradisi Islam, kebencian yang tak terkendali adalah ekspresi dari sifat iblis, yakni penolakan terhadap kebenaran karena kesombongan dan kedengkian.
Iblis dilaknat bukan karena sekadar membangkang perintah, tetapi karena hasad dan takabbur. Ia merasa lebih tinggi dari Adam, tidak rela atas kehendak Allah, lalu memusuhi manusia sepanjang masa. Maka ketika manusia memelihara kebencian terhadap sesamanya, sesungguhnya ia sedang meniru langkah iblis yang menyesatkan.
Tasawuf: Jalan Membersihkan Hati
Tasawuf, sebagai dimensi spiritual dalam Islam, menawarkan jalan penyembuhan bagi jiwa yang terluka oleh kebencian. Dalam pengajian yang disampaikan Prof. Nasaruddin Umar, nilai-nilai sufi diangkat kembali sebagai cara untuk melunakkan hati, menghidupkan cinta, dan menghancurkan benteng kebencian dalam diri manusia.
Para sufi memulai perjalanan spiritual mereka dengan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Mereka menapaki maqamat (tahapan ruhani) dari taubat, zuhud, sabar, hingga mencapai mahabbah (cinta sejati kepada Allah). Dan dalam cinta yang murni itulah, mereka tidak menyisakan ruang bagi permusuhan kepada makhluk-Nya.
Membenci adalah Mewarisi Luka, Mengasihi adalah Mewarisi Cahaya
Kebencian seringkali tumbuh dari luka yang tidak pernah disembuhkan. Namun alih-alih menjadikannya alasan untuk membalas dendam, orang-orang beriman diajarkan untuk memaafkan, sebagaimana Allah Maha Pemaaf. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
> “Tolaklah (kejahatan) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara engkau dan dia ada permusuhan seakan-akan telah menjadi teman yang setia.” (QS. Fussilat: 34)
Ini adalah prinsip adab spiritual: mengubah permusuhan menjadi persahabatan, bukan dengan debat dan pertentangan, tapi dengan kasih dan akhlak mulia.
Tantangan di Era Digital: Membenci Tanpa Tatap Muka
Di zaman media sosial, kebencian seringkali lahir tanpa alasan yang nyata. Ujaran kebencian dilemparkan hanya karena berbeda pilihan, pandangan, bahkan selera. Padahal, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
> “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menyerahkannya kepada musuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hate speech, cancel culture, hingga fitnah digital adalah cermin betapa jauhnya umat hari ini dari nilai-nilai ukhuwah yang diajarkan Rasulullah. Maka perlu ada revolusi akhlak, yang dimulai dari pengendalian diri dan kesadaran spiritual.
Cinta sebagai Jalan Kemenangan
Dalam tasawuf, cinta bukan sekadar perasaan, tetapi jalan hidup (thariqah) menuju Allah. Cinta menumbuhkan empati, toleransi, dan kelembutan. Orang yang mencintai Allah tidak akan memusuhi ciptaan-Nya. Cinta mengubah konflik menjadi peluang persaudaraan.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis bahwa salah satu tanda hati yang sehat adalah mudah mencintai dan sulit membenci. Sebab cinta adalah sifat para Nabi, sedangkan kebencian adalah warisan iblis.
Figur Pemimpin yang Meneduhkan
Kehadiran Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar sebagai Menteri Agama RI dalam forum pengajian tasawuf menunjukkan bahwa negara tidak hanya hadir dalam ranah administrasi, tetapi juga dalam upaya menumbuhkan akhlak spiritual di tengah masyarakat. Sikap dan tutur beliau mencerminkan ruhul muballigh—jiwa pendakwah—yang menuntun umat dengan kelembutan, bukan ancaman.
Pesan beliau yang menolak kebencian bukan sekadar nasihat moral, tetapi strategi kebudayaan. Karena bangsa ini terlalu besar untuk terus dipecah oleh narasi benci. Kita membutuhkan lebih banyak pemimpin seperti beliau, yang menanamkan cinta sebagai energi utama membangun umat.
Menuju Masyarakat Tanpa Kebencian
Langkah konkret untuk menghapuskan kebencian di tengah masyarakat bisa dimulai dari:
Mengedukasi generasi muda untuk mengenal nilai-nilai tasawuf sebagai basis spiritual yang lembut dan damai.
Menjaga lisan dan jempol dari menyebar berita bohong dan provokasi.
Mengembangkan forum lintas iman dan budaya yang membangun saling pengertian.
Menjadikan masjid, sekolah, dan media sosial sebagai ruang cinta, bukan ruang konflik.
Menjadikan Cinta sebagai Identitas Muslim
Akhirnya, mari kita renungi sabda Nabi ﷺ:
> “Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kebencian kepada saudaranya sesama muslim.”
(HR. Muslim)
Maka membersihkan hati dari benci bukan hanya soal etika, tapi soal keselamatan akhirat. Kita bukan hanya dituntut taat secara ritual, tetapi juga jernih secara batin. Tasawuf hadir untuk menyeimbangkan syariat dan akhlak, membimbing kita agar tidak menjadi ahli ibadah yang keras hati.
Penutup: Saatnya Menyembuhkan Bangsa dengan Cinta
Dalam dunia yang gaduh, kebencian mungkin terasa normal. Tapi Islam mengajarkan bahwa mencintai sesama adalah bentuk tertinggi dari keimanan. Sungguh tepat apa yang disampaikan oleh Menteri Agama, bahwa kebencian adalah sifat iblis yang harus dibuang sejauh-jauhnya dari kehidupan umat Islam.
Mari kita rawat negeri ini dengan cinta. Cinta kepada Allah, cinta kepada Rasulullah, dan cinta kepada seluruh makhluk-Nya. Karena cinta adalah cahaya yang mengusir gelapnya kebencian.
> “Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Oleh : Prof. Dr. Nazarudin Umar. MA (MENTERI AGAMA RI), Ditulis sebagai refleksi atas pengajian Ngaji Tasawuf Bareng Menteri Agama, Selasa, 29 Juli 2025 di Masjid Al-Ikhlas, Kementerian Agama RI, Jakarta. (Iskandar)