SURAU.CO – Yogyakarta menyimpan banyak bangunan bersejarah yang bernilai tinggi. Salah satunya adalah Masjid Puro Pakualaman. Masjid ini juga terkenal sebagai Masjid Besar Pakualaman. Lokasinya berada di Kampung Kauman, Kecamatan Pakualaman, Kota Yogyakarta. Tepatnya, masjid ini berdiri anggun di sisi barat kompleks Puro Pakualaman. Bangunan ini bukan sekadar tempat ibadah. Ia merupakan saksi bisu perjalanan sejarah Kadipaten Pakualaman yang kaya akan nilai filosofis.
Sejarah Pendirian yang Tercatat dalam Prasasti
Sejarah mencatat pendirian masjid ini dengan sangat detail. Sri Paku Alam II memprakarsai pembangunan masjid pada tahun 1839 M. Namun, beberapa sumber menyebutkan tahun yang berbeda, seperti 1850 M. Perbedaan ini terjawab oleh prasasti yang ada di dinding masjid. Prasasti tersebut menjadi penanda waktu yang paling akurat.
Terdapat empat buah prasasti sebagai penanda pendiriannya. Dua prasasti bertuliskan menggunakan huruf Arab. Dua lainnya dalam huruf dan bahasa Jawa. Prasasti ini memuat sengkalan atau kronogram yang unik. Sengkalan tersebut berbunyi, “Pandita obah sabda tunggal”. Kalimat ini melambangkan tahun 1767 dalam kalender Jawa. Tahun tersebut setara dengan 1839 Masehi.
Sebuah prasasti berhuruf Jawa bahkan merinci hari pendiriannya. Ringkasan bunyinya adalah:
“Pemut kala adeging kagungan dalem masjid, amarengi ing dinten Dite Pon wanci jam astha, tanggal Kadwi; ing wulan riyaya Sawal, taun wiyosanipun Gusti Kanjeng Nabi Panutan”
Prasasti ini menjelaskan bahwa masjid didirikan pada hari Ahad Pon, pukul delapan pagi, tanggal 2 Syawal.
Dalam proses pembangunannya, Sri Paku Alam II tidak bekerja sendiri. Beliau menugaskan putranya, KRT Natadiningrat, untuk mengawasi proyek. Beberapa tokoh penting lainnya juga membantu beliau. Mereka adalah Patih Raden Riya Natareja dan Mas Penghulu Mustahal Hasranhim. Kolaborasi ini menunjukkan betapa pentingnya pendirian masjid bagi Kadipaten Pakualaman.
Keindahan Arsitektur Tradisional Jawa
Masjid Puro Pakualaman menampilkan gaya arsitektur tradisional Jawa yang kental. Setiap elemen bangunannya memiliki fungsi dan makna tersendiri. Struktur atap menjadi salah satu ciri khas utamanya. Bagian ruang utama menggunakan atap model tajug. Sementara itu, bagian serambi memakai atap model limasan. Puncak atap tajug berhiaskan mustoko, yang seringkali berbentuk seperti mahkota.
Konstruksi bangunannya sangat kokoh dan detail. Dinding masjid terbuat dari susunan bata tebal yang diplester. Lantainya kini menggunakan tegel keramik yang rapi. Rangka atapnya tersusun dengan teknik ngruji payung pada bagian usuk dan reng. Penutup atapnya menggunakan genteng tanah liat yang khas.
Seperti masjid kuno lainnya di Jawa, tata ruangnya sangat terorganisir. Masjid ini terdiri dari beberapa bagian utama. Terdapat ruang utama, serambi, pawestren (tempat salat khusus wanita), dan tempat wudu. Ruang utama berbentuk bujur sangkar. Di dalamnya, empat tiang utama atau Sokoguru berdiri kokoh menopang atap tajug. Ruang ini juga lengkap dengan mihrab sebagai tempat imam dan mimbar untuk khatib.
Bagian Unik dan Penuh Filosofi
Masjid ini memiliki beberapa bagian unik yang tidak ditemukan di tempat lain. Salah satunya adalah Ma’surah. Ini adalah tempat salat khusus bagi raja atau adipati. Letaknya berada di saf paling depan, di sebelah selatan tempat imam. Ma’surah terbuat dari kayu berukir. Hiasannya menampilkan motif ceplok bunga dan stilisasi huruf Arab atau mirong. Lantai di dalam Ma’surah sengaja lebih tinggi dari lantai ruang utama.
Pada masa lampau, masjid ini memiliki blumbangan atau kolam kecil. Kolam ini menggenangi bagian depan dan samping masjid. Fungsinya adalah sebagai tempat jamaah membersihkan kaki sebelum masuk ke dalam masjid. Namun, seiring waktu dan kebutuhan ruang, blumbangan tersebut dihilangkan. Area tersebut kini menjadi teras dan serambi yang lebih luas untuk menampung jamaah.
Pembangunan masjid ini juga sangat erat dengan filsafat mancapat. Dalam kosmologi Jawa, mancapat adalah konsep tata kota yang ideal. Konsep ini melambangkan empat unsur atau arah mata angin yang mengelilingi sebuah pusat. Keberadaan masjid di dekat istana, alun-alun, dan pasar merupakan cerminan dari filosofi ini.
Upaya Pelestarian Sebagai Cagar Budaya
Dedikasi untuk merawat masjid ini sangat tinggi. Pemerintah telah menetapkannya sebagai situs cagar budaya. Penetapan ini tercantum dalam Permen Budpar RI No. PM.89/PW.007/MKP/2011. Masjid Puro Pakualaman bahkan menerima Penghargaan Pelestari Cagar Budaya pada tahun 2012.
Berbagai upaya renovasi dan pemugaran terus dilakukan. Salah satu pemugaran besar terjadi pada tahun 2016. Pekerjaan utamanya berfokus pada perkuatan struktur atap. Selain itu, kolom-kolom di bangunan utama juga diperkuat. Renovasi ini memastikan masjid tetap kokoh berdiri tanpa menghilangkan keasliannya. Masjid Puro Pakualaman hingga kini tetap menjadi pusat kegiatan keagamaan sekaligus ikon budaya yang membanggakan di Yogyakarta.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
