SURAU.CO – Mekah kala itu menjadi panggung pertarungan ideologi. Udara terasa sarat dengan ketegangan yang pekat. Di satu sisi, berdiri kokoh tradisi leluhur kaum Quraisy. Di sisi lain, muncul cahaya tauhid yang dibawa oleh seorang utusan, Muhammad SAW. Konflik ini mencapai puncaknya di kediaman Abu Thalib, paman Nabi yang dihormati. Sekelompok tokoh Quraisy, dipimpin oleh Abu Jahal yang penuh amarah, datang dengan satu tujuan: menghentikan dakwah Nabi.
Wajah mereka mengeras menahan geram. Abu Jahal menjadi yang pertama menyuarakan isi hati mereka.
“Sungguh, Muhammad anak saudaramu itu telah mencetuskan suatu agama yang jauh berbeda dengan agama kita ini,” kata Abu Jahal dengan nada gusar kepada Abu Thalib. Kata-katanya tajam, sarat dengan tuduhan. Dia merasa ajaran baru ini mengancam eksistensi dan kehormatan mereka.
Ancaman yang Lebih Serius
Abu Jahal melanjutkan dengan ancaman yang lebih serius.
“Muhammad telah berani mencaci maki Tuhan-Tuhan kita, dan pihak kami masih bersikap lunak terhadap dia, kami masih mau memaafkan dia. Itu lantaran kami masih menaruh hormat kepada dia. Kalau saja Muhammad mau meninggalkan agama barunya dan kembali kepada agama lama kita, tentu kita bisa melakukan damai. Akan tetapi kalau Muhammad tidak mau meninggalkan agama barunya, maka tiada lain di antara kita harus saling mengangkat senjata. Kita harus melakukan perlawanan.”
Abu Thalib, dengan kebijaksanaannya, berusaha menenangkan suasana. Beliau adalah penengah yang disegani. “Tenanglah kalian. Akan aku panggil Muhammad. Dan akan aku ajukan pertanyaan kepadanya, sehingga dia bisa menjawabnya sendiri,” jawab Abu Thalib lembut.
Tak lama kemudian, Nabi Muhammad SAW hadir memenuhi panggilan. Beliau melangkah dengan tenang di tengah para pemuka Quraisy yang menatapnya tajam. Beliau kemudian duduk di samping pamannya, Abu Thalib. Sikap tenang Sang Nabi justru memancing komentar sinis dari salah seorang tokoh Quraisy yang hadir. “Lihatlah Abu Thalib, Muhammad sudah tidak menaruh rasa hormat kepada kami. Dan dia berani duduk bersamamu seperti tiada rasa hormat terhadapmu,” katanya.
Abu Thalib menatap tajam orang itu. Lalu, dengan suara yang penuh keyakinan, beliau mengucapkan kalimat yang profetik.
“Apabila apa yang dikatakan dan didakwahkan Muhammad itu benar, maka pada hari ini dia duduk di tempat dudukku ini. Dan besok pagi Muhammad malah akan duduk di atas kepala kalian.”
Tantangan Kaum Qurisy
Kaum Quraisy semakin tertantang. Mereka ingin bukti nyata, sesuatu yang mustahil. “Kalau memang apa yang dikatakan itu benar, cobalah katakan kepada dia supaya dia dapat mendatangkan bukti tentang kebenaran kata-katanya. Dengan demikian nanti kami dapat menetapkan dan membenarkan kata-katanya,” seru yang lain.
Abu Thalib lalu berpaling kepada keponakannya. “Wahai Muhammad, jawaban apa yang akan engkau buktikan untuk menangkis omongan mereka?”
Nabi Muhammad SAW menatap mereka semua dengan pandangan yang teduh. Beliau tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. “Silakan tuntutan apakah yang akan kalian inginkan? Aku akan membuktikan akan kebenaran kata-kataku,” jawab Nabi dengan mantap.
Para tokoh Quraisy itu saling berpandangan. Mereka mencari tantangan paling mustahil yang bisa mereka pikirkan. Mata mereka tertuju pada sebuah batu besar yang tergeletak di halaman rumah Abu Thalib. Sebuah ide licik terbentuk di benak mereka. Mereka tersenyum mengejek, yakin telah menemukan cara untuk mempermalukan Nabi.
“Kami minta engkau bisa menumbuhkan sebatang pohon dari dalam batu itu supaya keluar dua buah pohon. Satu menjulang ke sebelah timur, dan satunya lagi menjulang ke sebelah barat,” ucap mereka diiringi sorak-sorai penuh cemoohan.
Pembuktian Nabi Muhammad
Nabi Muhammad SAW terdiam sejenak. Beliau menunduk dalam perenungan yang khusyuk, memanjatkan doa tulus kepada Rabb semesta alam. Tiba-tiba, Malaikat Jibril turun membawa wahyu dari Allah. “Wahai Muhammad, sungguh Allah telah berfirman: ‘Sejak Aku ciptakan batu ini, Aku pun sudah tahu pasti, bahwa mereka akan menuntutmu dengan mukjizat seperti yang mereka inginkan. Dan kini Aku telah menumbuhkan pohon itu di dalam batu itu.'”
Dengan izin Allah, Nabi Muhammad SAW mengangkat tangannya. Beliau memberikan isyarat ke arah batu besar itu. Seketika, terdengar suara gemeretak. Batu raksasa itu terbelah menjadi dua di hadapan mata mereka yang terbelalak. Dari celah batu yang menganga, muncullah sebatang pohon. Pohon itu tumbuh dengan kecepatan luar biasa. Satu dahannya menjulang tinggi ke arah timur. Dahan lainnya tumbuh memanjang ke arah barat, persis seperti yang mereka minta.
Keheningan total menyelimuti mereka. Kekaguman yang tak bisa mereka sembunyikan terpancar dari wajah mereka. Namun, hati yang telah tertutup oleh kesombongan sulit menerima kebenaran.
“Wahai Muhammad, sungguh benar-benar indah apa yang engkau lakukan. Namun, kami tidak akan mudah mempercayaimu sebelum engkau kembalikan pohon-pohon itu ke dalam batu besar itu seperti sediakala,” ucap mereka, mencoba mencari celah untuk tetap menyangkal.
Sekali lagi, Nabi terdiam dan berdoa. Malaikat Jibril kembali turun menyampaikan salam dan firman Allah, “Wahai Muhammad, sungguh Allah telah menyampaikan salam untukmu Muhammad. Dan Dia berfirman ‘Doamu yang engkau panjatkan, tentu Aku kabulkan.'”
Nabi Muhammad SAW kembali memberi isyarat dengan tangannya. Secara ajaib, kedua dahan pohon itu kembali menyusut. Keduanya masuk kembali ke dalam celah batu. Batu besar itu pun kembali menyatu dengan rapat seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Tak ada bekas retakan sedikit pun.
Kekerasan Hati Kaum Quraisy
Para tokoh Quraisy itu berdiri. Mereka saling memandang dengan ekspresi bingung, takjub, sekaligus takut. Akal mereka tak sanggup mencerna peristiwa agung itu. Namun, alih-alih beriman, mereka memilih jalan kekafiran. “Wahai Muhammad, sungguh benar-benar indah sihirmu. Kami benar-benar belum pernah melihat keajaiban sihir sebagaimana sihirmu itu,” kata mereka. Mereka pun pergi meninggalkan tempat itu, hati mereka semakin mengeras dalam keingkaran.
Peristiwa ini menjadi bukti nyata bahwa mukjizat adalah anomali di dunia nyata yang tunduk pada hukum alam. Ia adalah tanda kekuasaan mutlak Allah. Manusia biasa tidak akan pernah bisa melakukannya. Namun, bagi seorang Rasul yang diutus Allah, hal mustahil menjadi mungkin atas izin-Nya. Apa yang disaksikan kaum Quraisy bukanlah sihir, melainkan manifestasi dari kehendak Sang Pencipta untuk membuktikan kebenaran utusan-Nya. Sungguh, tidak ada yang mustahil bagi Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Innallaha ‘ala kulli syai ‘in qadir.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
