Opinion
Beranda » Berita » Normalisasi Politik Balas Budi

Normalisasi Politik Balas Budi

Normalisasi Politik Balas Budi
Ilustrasi Normalisasi Politik Balas Budi. Sumber: Meta AI

SURAU.CO. “Hutang emas dapat dibayar, hutang budi dibawa mati”. Peribahasa lama ini tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Peribahasa ini terjadi dan memang digunakan, utamanya dalam dunia politik.

Sistem pemilihanpolitik langsung di Indonesia memaksa para elit atau tokoh politik untuk melibatkan banyak orang dalam mencari suara sebanyak-banyaknya demi mendapatkan kursi atau jabatan yang diinginkan. Baik itu menjadi wakil rakyat atau eksekutif, presiden dan wakil presiden atau kepala daerah.

Utamanya pada masa kampanye, para peserta Pemilu berlomba menggunakan orang-orang yang berpengaruh untuk mempengaruhi pemilih. Orang-orang yang berpengaruh itu dapat berupa tokoh masyarakat, petinggi partai politik, selebritis ataupun influencer. Melalui pesona merekalah para calon meraup suara. Dengan cara ini hutang budi sudah di buat, apabila sang calon terpilih.

“Ada budi ada talas, ada budi ada balas”, seolah menjadi adagium yang harus terpenuhi dan ditepati. Mereka yang sudah berjuang bersama dimasa kampanye, mau tidak mau atau suka tidak suka harus dibalas budinya. Dengan apa mereka akan membalas budi tersebut? Banyak cara membalasnya, bisa dengan proyek atau jabatan tertentu yang ada di pemerintahan. Dan berlakulah politik balas budi.

Apa itu Politik Balas Budi? 

Politik balas budi adalah praktik di mana, pemimpin politik atau pemerintah kerap memberikan keuntungan kepada individu atau kelompok tertentu sebagai balas budi atas dukungan politik yang mereka berikan. Politik balas budi menjadi fenomena umum dalam dinamika politik di banyak negara. Hal ini erat kaitannya dengan sistem politik yang berbasis hubungan personal dan patronase.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Politik balas budi melibatkan pertukaran resmi atau tidak resmi dari dukungan politik dengan imbalan tertentu. Imbalan tersebut dapat berupa akses ke pekerjaan, layanan publik atau bantuan finansial. Politik balas budi sering kali berlangsung dalam konteks hubungan personal atau patronase antara elit politik dengan masyarakat atau kelompok tertentu.

Dalam politik balas budi, seseorang atau sekelompok orang memberikan dukungan atau suara kepada kandidat atau partai politik tertentu karena telah menerima manfaat atau keuntungan. Mereka juga bisa mendapatkan imbalan setelah kandidat atau partai tersebut terpilih dan berkuasa. Imbalannya dapat berupa penunjukan seseorang ke jabatan politik atau administratif, atau pemberian kontrak pemerintah kepada bisnis tertentu.

Praktik yang dapat merugikan demokrasi ini ternyata telah terjadi sejak masa kolonialkolonial Belanda dahulu. Remy Madinier dalam buku Revolusi Tak Kunjung Selesai (2022) menyebutkan bahwa istilah politik balas budi pertama kali muncul pada masa kolonial Belanda di Indonesia. Van Deventer, seorang tokoh Belanda yang peduli dengan nasib rakyat Indonesia, memperkenalkan istilah politik balas budi melalui artikelnya “Een Eereschuld” (Hutang kehormatan), yang menyerukan pemerintah Belanda untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagai bentuk balas budi atas eksploitasi sumber daya. Namun kekinian makna ini bergeser dari zaman kolonial belanda menjadi sebaliknya.

Implementasi Politik Balas Budi

Saat ini, para politisi mengimplementasikan politik balas budi dengan berbagai cara. Dalam politik balas budi, pemimpin politik seringkali membalas jasa pendukungnya dengan menunjuk mereka ke posisi politik atau jabatan administratif tertentu. Praktik ini menjadi semacam tradisi dalam politik.

Politik balas budi juga dilakukan melalui pembagian sumber daya. Pemimpin politik atau pemerintah dapat memberikan akses kepada sumber daya ekonomi atau sosial, seperti tanah, dana, atau bantuan sosial kepada individu atau kelompok yang mendukung mereka. Mereka yang menggunakan cara ini biasanya akan mengubah aturan yang ada agar tindakan mereka menjadi legal dan sah di mata hukum.

Generasi Sandwich dan Birrul Walidain: Mengurai Dilema dengan Solusi Langit

Atau bisa juga dengan pemberian proyek melalui kontrak pekerjaan pemerintah. Pemerintah memberikan kontrak kepada bisnis atau organisasi tertentu sebagai imbalan atas dukungan politik atau finansial. Proses pemberian kontrak ini dilakukan melalui mekanisme legal yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Dengan demikian, pemerintah dapat mempertahankan hubungan baik dengan pendukungnya sembari mengikuti prosedur yang berlaku.

Implikasi Politik Balas Budi

Praktik politik balas budi memiliki implikasi yang kompleks dalam konteks politik, sosial, dan ekonomi. Politik balas budi sudah pasti merugikan demokrasi. Dengan Politik balas budi dapat merusak prinsip demokrasi dengan mengurangi akuntabilitas politik dan meningkatkan korupsi. Ini juga dapat mengurangi keadilan dalam distribusi sumber daya publik. Kemudian politik balas budi cenderung memperkuat ketidaksetaraan dalam masyarakat dengan memberikan keuntungan kepada kelompok atau individu tertentu, sementara merugikan yang lain.

Praktik politik balas budi dapat memperkuat hubungan patronase yang ada antara pemimpin politik atau elit politik dengan masyarakat atau kelompok tertentu, yang dapat menghambat pembangunan institusi yang kuat dan independen.

Politik balas budi adalah fenomena yang kompleks dalam politik modern yang melibatkan pertukaran dukungan politik dengan imbalan tertentu. Meskipun praktik ini dapat memiliki manfaat singkat bagi mereka yang menerimanya, namun dapat merusak prinsip demokrasi, memperkuat ketidaksetaraan, dan memperkuat hubungan patronase yang tidak sehat dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemimpin politik untuk mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari politik balas budi dalam pembangunan negara yang berkelanjutan dan inklusif.

Hidup Lambat (Slow Living) ala Rasulullah: Menemukan Ketenangan di Kitab Nawawi

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement