SURAU.CO-Politik berbungkus agama sering digambarkan sebagai bentuk politik suci yang menjunjung tinggi nilai ketuhanan. Namun, faktanya, politik suci atau suci-sucian ini justru kerap dimanfaatkan sebagai kedok kekuasaan. Di balik slogan Islami dan simbol-simbol keagamaan, tidak sedikit aktor politik yang menggunakan agama demi meraih suara, bukan untuk mewujudkan keadilan seperti yang diajarkan Islam.
Simbol Agama dan Politik Suci: Propaganda atau Prinsip?
Di masa kampanye, kita kerap menyaksikan politisi yang tampil dengan sorban, membaca ayat Al-Qur’an di panggung, atau mengangkat jargon ukhrawi dalam narasi politiknya. Praktik semacam ini menciptakan kesan bahwa mereka membawa semangat politik suci yang bersandar pada nilai agama.
Namun setelah menjabat, sering kali janji-janjinya kosong. Alih-alih menegakkan prinsip keadilan sosial, mereka justru sibuk mengamankan kekuasaan, terjerat kasus korupsi, atau meminggirkan kepentingan umat. Maka pertanyaannya: apakah mereka sungguh menjalankan politik Islami, atau hanya berpolitik suci-sucian?
Manipulasi Emosi Agama dalam Politik Kekuasaan
Agama memiliki daya tarik emosional yang sangat kuat di tengah masyarakat. Karena itu, politik berbungkus agama mudah memanfaatkan kedekatan umat dengan simbol-simbol suci. Ketika kandidat mengklaim sebagai pembela Islam, ia tak hanya mendapatkan dukungan politik, tapi juga legitimasi moral.
Padahal, dalam Islam, kekuasaan adalah amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban. Pemimpin sejati bukan yang paling banyak mengutip ayat, tapi yang paling serius menegakkan keadilan dan amanah. Maka, publik harus cerdas dalam memilah: antara politisi yang benar-benar berkomitmen terhadap nilai agama, dengan mereka yang hanya memainkan peran.
Ulama dan Politik: Dakwah atau Delegitimasi?
Keterlibatan ulama dalam politik bukan hal baru. Dalam sejarah Islam, banyak ulama yang menjadi penasihat raja atau pemimpin negara. Namun, hari ini, sebagian ulama justru terlalu jauh masuk dalam arus politik praktis, menjadi bagian dari tim sukses, bahkan terlibat dalam kampanye.
Akibatnya, suara dakwah menjadi bias. Ketika ulama terlalu partisan, masyarakat menjadi bingung: apakah ini suara langit atau suara kepentingan? Jika seorang ulama membela koruptor hanya karena satu partai, maka ia bukan sedang berdakwah, melainkan merusak kepercayaan publik terhadap ulama itu sendiri.
Belajar dari Sejarah: Politik Agama di Dunia Islam
Fenomena politisasi agama bukan hal baru. Pada masa Khilafah Umayyah dan Abbasiyah, agama juga digunakan untuk menjustifikasi kekuasaan. Di era modern, negara seperti Iran, Pakistan, atau Arab Saudi menunjukkan bahwa politik agama tidak selalu identik dengan keadilan atau transparansi.
Di sisi lain, negara-negara seperti Tunisia atau Turki menunjukkan bagaimana partai Islam bisa tergelincir ketika terlalu pragmatis, meninggalkan idealisme awal. Maka, pelajaran pentingnya: tanpa kontrol etika dan publik yang kritis, politik agama bisa menjadi alat opresi yang lebih kejam dari sekulerisme.
Politik Islami yang Substantif, Bukan Simbolik
Islam bukan hanya soal simbol, tapi juga substansi. Maqashid al-syari’ah — tujuan utama syariat Islam — mengajarkan perlindungan terhadap lima aspek utama: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Politik Islami seharusnya memperjuangkan semua itu, bukan sekadar mengutip ayat dan menampilkan atribut.
Karena itu, penting bagi umat Islam untuk menuntut politik yang substansial. Pemimpin muslim sejati bukan yang paling religius secara tampak, tapi yang paling jujur, adil, transparan, dan berpihak pada rakyat. Jika hanya terpukau pada tampilan, maka umat akan terus tertipu oleh politik suci-sucian.
Hati-hati dengan Politik Suci-sucian
Politik suci hanya akan bernilai jika selaras dengan tindakan dan tanggung jawab. Jika tidak, ia hanya menjadi politik suci-sucian yang membungkus nafsu kekuasaan dengan ayat-ayat dan simbol agama. Masyarakat Muslim harus semakin kritis, sebab menjaga kesucian agama juga berarti menolak ia diperalat. (Hen)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
