SURAU.CO. Masjid Pathok Negoro Yogyakarta berdiri kokoh, menjadi penjaga spiritual yang tak kasat mata bagi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Tersebar di berbagai penjuru kota, kelima masjid tua ini bukan sekadar tempat ibadah. Mereka adalah penanda wilayah, pusat pendidikan, dan simpul penting dalam sistem pemerintahan Islam Jawa. Warisan agung ini diwariskan dari masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Tujuan Pendirian Masjid
Ide pendirian Masjid Pathok Negoro berasal dari Sri Sultan Hamengkubuwono I. Beliau, sebagai raja pertama Kesultanan Yogyakarta, menginginkan adanya benteng spiritual yang melindungi kerajaannya. Masjid-masjid ini ada di keempat penjuru kota, serta satu di arah tenggara. Susunan ini membentuk garis spiritual dan simbolik yang mengelilingi ibukota kerajaan.
Tujuan pendirian masjid ini tidak hanya bersifat strategis secara politik. Pendiriannya juga sangat filosofis: menjaga pusat kekuasaan dengan benteng doa dan nilai-nilai Islam. Nilai-nilai tersebut menyatu erat dengan budaya Jawa.
Empat Pilar Utama
Dalam tradisi dan dokumen resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, terdapat empat masjid utama yang dikenal sebagai Masjid Pathok Negoro. Keempatnya dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I. Masjid-masjid ini menjadi titik utama batas spiritual dan administratif ibu kota Kasultanan.
-
Masjid Jami’ An-Nur, Mlangi (Barat): Didirikan oleh Kyai Nur Iman, yang juga merupakan saudara Sri Sultan Hamengkubuwono I. Masjid ini menjadi pusat dakwah awal Islam kultural di barat kota. Pesantren di sekitarnya hingga kini melestarikan jejak dakwah tersebut.
-
Masjid Jami’ Sulthoni, Plosokuning (Utara): Kyai Mursodo, putra Kyai Nur Iman, membangun masjid ini. Masjid ini berfungsi sebagai penjaga sisi utara, serta penghubung ilmu antara ayah dan anak, serta antara kerajaan dan rakyat.
-
Masjid Jami’ Ad-Darojat, Babadan (Timur): Sri Sultan Hamengkubuwono I sendiri yang mendirikan masjid ini. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya sisi timur sebagai gerbang awal cahaya (matahari terbit) dan simbol permulaan.
-
Masjid Nurul Huda, Dongkelan (Selatan): Didirikan oleh Kyai Syihabuddin I, atau Kyai Dongkol, yang dikenal sebagai tokoh kharismatik. Beliau menyebarkan ajaran Islam serta memperkokoh moral masyarakat.
Masjid Wonokromo: Masjid Pathok Negoro 5
Selain empat masjid utama, terdapat Masjid Taqwa di Wonokromo. Masjid ini memiliki peran dan sejarah yang dekat dengan sistem Pathok Negoro. Posisinya memang berbeda. Masjid ini dibangun belakangan, sekitar tahun 1814–1823, kemungkinan pada masa pemerintahan Hamengkubuwono IV atau V. Lokasinya berada di arah tenggara, bukan di salah satu dari empat penjuru utama mata angin, sebagaimana keempat masjid Pathok Negoro yang lain.
Meskipun demikian, masjid ini tetap dikelola oleh Abdi Dalem. Masjid Taqwa menjalankan peran keagamaan, pendidikan, serta sistem hukum Surambi. Beberapa sumber lokal dan lisan masyarakat menyebut Masjid Wonokromo sebagai masjid pelengkap atau perluasan dari sistem Pathok Negoro. Masjid ini kemudian masyhur dengan sebutan “Masjid Pathok Negoro ke-5” secara kultural dan spiritual, meskipun tidak termasuk dalam struktur resmi empat pathok utama.
Pathok Negoro: Batas, Pedoman, dan Pengayom Kehidupan
Dalam bahasa Jawa, “pathok” berarti sesuatu yang menancap, penanda, atau pedoman. “Negoro” merujuk pada negara, kerajaan, atau pemerintahan. Oleh karena itu, Masjid Pathok Negoro tidak hanya berbicara soal batas teritorial. Masjid ini juga menjadi simbol batas moral, syariat, dan nilai-nilai yang membingkai kehidupan rakyat dan rajanya.
Abdi Dalem yang mengelola masjid-masjid ini menyandang gelar Abdi Dalem Pathok Negoro, berada di bawah struktur Kawedanan Reh Pangulon yang mempunya tugas selain sebagai imam atau penjaga masjid juga menjalankan peran sebagai penegak hukum Islam. Mereka mengelola pengajaran agama, menyelesaikan perkara rumah tangga dan waris, dan memutus hukum di Pengadilan Surambi.
Secara khusus, masjid-masjid ini berada di antara wilayah Kuthanegara, pusat pemerintahan, dan Negaragung, wilayah penyangga kerajaan. Letak strategis ini mencerminkan posisi mereka sebagai penjaga nilai dan ruang transisi antara kekuasaan dan rakyat.
Arsitektur Masjid Pathok Negoro
Arsitektur Masjid bersejarah ini merupakan miniatur dari Masjid Gedhe Kauman di pusat kota. Bangunan bergaya tradisional Jawa ini memiliki atap tajug tumpang dua. Atapnya lebih rendah dari Masjid Agung yang bertumpang tiga. Mustaka di puncaknya berbentuk meru, khas Jawa. Sebagian besar masjid masih menggunakan bahan tanah liat asli.
Halaman masjid sering kali ada pohon sawo keciknya, pohon khas Keraton yang melambangkan kebijaksanaan dan kesetiaan. Kolam mengelilingi kompleks masjid, dan di dalamnya berdiri mimbar ukir dari kayu jati. Beberapa masjid, seperti Masjid Mlangi, masih menjaga kelestarian unsur-unsur tersebut dengan cermat.
Menurut Desy Ayu Krisna Murti, MSc, dosen Arsitektur dari Universitas Widya Mataram, keberadaan kelima masjid ini merupakan representasi visual dan spiritual dari struktur kekuasaan Jawa-Islam. Ia menyebutnya sebagai warisan urban-spiritual yang tak ternilai dalam sejarah kota Yogyakarta.
Masjid Pathok Negoro: Pusat Kehidupan yang Tak Pernah Sepi
Saat ini, Masjid Pathok Negoro bukan hanya bangunan yang sepi. Mereka tetap menjadi pusat kehidupan masyarakat. Masjid-masjid ini menjadi tempat pendidikan, pengajian, ziarah, hingga peringatan tradisi seperti Grebeg Maulud. Masyarakat sekitar menjadikan masjid ini sebagai rumah Tuhan dan rumah kebudayaan.
Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DIY menetapkan seluruh Masjid Pathok Negoro sebagai cagar budaya nasional. Nilai sejarah, arsitektur, dan sosialnya tetap terjaga. Banyak wisatawan spiritual yang menjadikan lima masjid ini sebagai rute napak tilas jejak Islam di tanah Mataram.
Keberadaan Masjid Pathok Negoro membuktikan bahwa Islam di Yogyakarta tidak tumbuh dalam ruang steril. Islam justru menyatu dalam nadi budaya, kekuasaan, dan masyarakat. Masjid Pathok Negoro menjadi simpul penting dalam menjaga identitas keislaman Jawa. Identitas tersebut santun, harmonis, dan lentur terhadap zaman, tanpa kehilangan akar.
Masjid Pathok Negoro bukan hanya sekadar bangunan. Ia adalah pernyataan bahwa agama, tradisi, dan kekuasaan dapat bersinergi demi satu tujuan: menjaga kehidupan yang adiluhung dan berkebudayaan.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
