Politik
Beranda » Berita » DPR Bantah Revisi UU MK, Wacana Pelemahan Independensi Hakim Terus Bergulir

DPR Bantah Revisi UU MK, Wacana Pelemahan Independensi Hakim Terus Bergulir

Usulan membuka kembali Revisi RUU MK memnacing polemik karena dinilai kental nuansa politiknya
Pimpinan DPR membantah adanya agenda Revisi UU MK terus bergulir di tengah kritik dan potensi pelemahan independensi hakim. ( foto dok.ICW)

SURAU.CO. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI membantah isu pembahasan revisi UU MK. Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, memberikan klarifikasi penting. Ia menegaskan tidak ada agenda revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini. Menurutnya, RUU tersebut sudah dibahas pada periode legislatif sebelumnya. Adies bahkan menyatakan dirinya terlibat langsung dalam proses tersebut.

“Undang-Undang MK tidak ada revisi, kan sudah direvisi periode anggota DPR yang lima tahun lalu,” katanya usai sidang paripurna di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Selasa (8/7/2025). Adies, yang merupakan politikus Golkar, menjelaskan lebih lanjut. RUU MK sudah menjadi fokus pembahasan anggota DPR periode 2019-2024. Ia mengaku menjabat sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) pada saat itu. Proses pembahasan RUU tersebut bahkan hampir selesai. RUU itu hanya tinggal menunggu pengesahan di rapat paripurna tingkat II.

Namun, Adies memastikan belum ada kelanjutan agenda tersebut di tingkat pimpinan. “Tapi sampai saat ini belum ada pembicaraan dari pimpinan, kalau ada kan dia di rapat pimpinan kemudian di badan musyawarah kan, tapi belum ada,” katanya.

Alasan Wacana Revisi Kembali Menguat

Isu revisi UU MK ini bukan tanpa alasan. Wacana ini kembali menguat di tengah protes sejumlah legislator. Mereka menyoroti putusan Mahkamah soal perpecahan pemilu. Salah satu suara kritis datang dari Muhammad Khozin yang  merupakan anggota Komisi II DPR RI.

Khozin membuka kemungkinan menghidupkan kembali revisi UU MK . Menurutnya, hal ini bisa terjadi untuk membahas ulang kewenangan Mahkamah. Apa mungkin akan menghidupkan kembali Undang-Undang MK?.” Mungkin saja untuk membahas kewenangannya,” kata anggota Komisi II Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa ini di kompleks Parlemen, Jumat (4/7).

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Ia menilai Mahkamah Konstitusi sudah melampaui batas kewenangannya. Menurut konstitusi, DPR dan pemerintah adalah pembentuk undang-undang. Sementara itu, MK berperan sebagai penjaga konstitusi. Khozin berpendapat, Mahkamah seharusnya tidak masuk terlalu jauh ke ranah legislasi. “Kalau MK dinilai punya kewenangan untuk memproduksi suatu undang-undang, ya dilegitimasikan saja sekalian. Kira-kira begitu,” kata Khozin.

Draf Kontroversial yang Mengancam Independensi

Sekedar informasi, rancangan revisi UU MK yang ada memang mengandung pasal kontroversial. Beberapa pasal yang berpotensi memicu independensi Mahkamah Konstitusi. Misalnya, Pasal Sisipan 23A yang mengatur evaluasi hakim. Pasal ini menyebutkan hakim konstitusi yang sudah menjabat selama lima tahun harus dievaluasi. Mereka memerlukan persetujuan dari lembaga pengusul untuk melanjutkan masa jabatannya. Tanpa persetujuan tersebut, hakim konstitusi harus berhenti dari jabatannya. Lembaga pengusul hakim MK terdiri dari tiga institusi. Ketiganya adalah Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung (MA).

Revisi ini sebelumnya telah menuai kritik tajam. Ketua Majelis Kehormatan MK (MKMK) I Dewa Gede Palguna mengendalikan proses. Ia heran revisi belangsung secara diam-diam saat masa reses. “Ketika ada usul lagi perubahan UU MK dengan cara yang diam-diam, pembuatannya dalam masa reses dan tidak semua anggota DPR juga tahu, sebagian masih di luar negeri. Ini kan menimbulkan pertanyaan,” kata Palguna pada Kamis, 16 Mei 2024.

Status RUU

DPR periode 2019-2024 pada akhirnya tidak mengesahkan RUU tersebut. Komisi III DPR sepakat menyerahkan pengesahannya ke periode berikutnya. Keputusan ini mengemuka dalam rapat kerja bersama Menteri Hukum dan HAM pada 17 September 2024. Meskipun pembahasan tingkat I telah rampung, DPR memutuskan RUU operan ataumembawa. Artinya, pembahasan akan dilanjutkan oleh anggota DPR periode 2024-2029.

Draf yang disepakati di tingkat I pada tanggal 13 Mei 2024 memuat tiga poin revisi utama. Poin-poin tersebut ada pada Pasal 23A, Pasal 27A, dan Pasal 87. Pasal 23A dan 87 mengatur ulang masa jabatan hakim konstitusi. Sementara Pasal 27A menguraikan komposisi Majelis Kehormatan MK.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Pasal 87 secara khusus mengatur nasib hakim konstitusi saat ini. Lima hakim yang menjabat lebih dari lima tahun terancam. Mereka hanya bisa lanjut jika mendapat persetujuan lembaga pengusul. Para hakim tersebut adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, Suhartoyo, dan Anwar Usman.

Penolakan masyarakat pun sangat kuat. Lebih dari 20 pakar hukum mengirimkan surat terbuka. Mereka menolak keras revisi tersebut karena akan mengancam prinsip negara hukum dan independensi MK.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement