Banyak orang mengenal metode menghafal Al-Quran. Salah satu yang paling otentik adalah metode Talaqqi. Metode ini sering dianggap sebagai cara untuk fasih melafalkan ayat. Namun, esensinya jauh lebih dalam. Proses Talaqqi secara aktif membentuk karakter dan adab seorang penghafal. Ia bukan sekadar transfer ilmu, melainkan transfer akhlak.
Pendidikan karakter menjadi inti dari proses ini. Seorang santri tidak hanya mengejar target hafalan. Mereka juga menyerap nilai-nilai luhur dari interaksi langsung. Inilah yang membedakan Talaqqi dengan metode modern lainnya.
Apa Sebenarnya Metode Talaqqi?
Metode Talaqqi adalah proses belajar Al-Quran secara tatap muka. Seorang murid (santri) duduk di hadapan guru (musyaffa’). Murid membacakan ayat yang akan dihafal. Guru kemudian mendengarkan dengan saksama. Guru akan mengoreksi setiap kesalahan makhraj, tajwid, dan kelancaran.
Proses ini terjadi berulang-ulang. Murid terus mengulang bacaannya di hadapan guru. Ia tidak akan pindah ke ayat berikutnya sebelum bacaannya sempurna. Interaksi langsung ini memastikan kemurnian bacaan. Bacaan tersebut harus sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah SAW.
Fondasi Adab yang Terbentuk dalam Proses Talaqqi
Di sinilah metode Talaqqi menunjukkan keunggulannya. Proses ini bukan sekadar teknis menghafal. Ada pembentukan adab yang kuat dan disengaja. Karakter santri ditempa melalui rutinitas yang dijalani.
1. Menumbuhkan Kesabaran dan Ketekunan
Fondasi adab pertama yang ditempa dalam metode ini adalah kesabaran yang luar biasa. Dalam proses setoran hafalan, santri mungkin harus mengulang satu ayat puluhan kali. Guru tidak akan meloloskan bacaan yang belum benar. Hal ini secara langsung melatih mental santri untuk tidak mudah menyerah. Mereka belajar bahwa kualitas lebih penting dari kuantitas, sehingga ketekunan menjadi napas dalam setiap sesi Talaqqi.”
2. Membentuk Rasa Hormat kepada Guru dan Ilmu
Posisi duduk yang berhadapan menciptakan ikatan khusus. Santri belajar untuk menghormati gurunya secara tulus. Mereka melihat guru bukan hanya sebagai pengajar. Guru adalah pewaris sanad keilmuan Al-Quran. Sanad ini bersambung hingga kepada Rasulullah SAW.
Rasa hormat ini melahirkan adab dalam menuntut ilmu. Santri akan menjaga sikap dan tutur katanya. Mereka memahami bahwa keberkahan ilmu datang dari keridhaan seorang guru.
3. Melatih Kerendahan Hati (Tawadhu)
Setiap sesi Talaqqi adalah pelajaran tentang kerendahan hati. Santri harus siap menerima koreksi kapan saja. Mereka harus mengakui kesalahan bacaannya tanpa membantah. Proses ini mengikis sifat sombong dan merasa benar sendiri.
“Di hadapan kebenaran Al-Quran yang disampaikan guru, ego pun luruh. Seorang santri mulai menyadari bahwa ilmunya sangat terbatas dan selalu ada ruang untuk perbaikan. Sikap tawadhu ini lantas menjadi karakter yang melekat. Karakter inilah yang sangat penting bagi seorang penghafal Al-Quran.”
Menurut seorang pengajar tahfidz, Ustadz Abdurrahman, “Santri yang menjalani talaqqi belajar untuk tunduk pada kebenaran. Bukan pada egonya. Ketika bacaannya disalahkan, ia tidak marah, tetapi berterima kasih karena telah diselamatkan dari kesalahan.”
Peran Guru sebagai Teladan Akhlak
“Di balik kesabaran dan ketawadhuan santri, berdiri seorang figur yang menjadi porosnya. Dalam metode Talaqqi, guru memegang peran sentral tersebut. Ia bukan sekadar korektor bacaan, melainkan seorang teladan atau uswah hasanah. Setiap gerak-gerik, tutur kata, dan sikapnya menjadi pelajaran bagi santri.”
Guru yang sabar akan melahirkan santri yang sabar. Guru yang disiplin akan membentuk santri yang disiplin. Karena itu, seorang guru Talaqqi harus memiliki akhlak yang mulia. Ia mengemban amanah besar untuk mewariskan Al-Quran beserta adabnya. Interaksi intensif ini membuat transfer nilai-nilai karakter terjadi secara alami.
Lebih dari Hafalan, Ini adalah Warisan Keilmuan
Pada puncaknya, seluruh interaksi ini bermuara pada sebuah proses pewarisan. Santri tidak hanya menerima teks Al-Quran yang mati. Mereka menerima ruh, adab, dan sanad keilmuan yang hidup. Melalui proses ini, mereka menjadi bagian dari mata rantai emas para penghafal Al-Quran.”
Hafalan bisa saja pudar seiring waktu. Namun, karakter dan adab yang terbentuk akan melekat seumur hidup. Inilah harta karun sesungguhnya dari proses Talaqqi. Ia menciptakan generasi Qurani yang tidak hanya hafal ayat. Tetapi juga mengamalkan akhlak Al-Quran dalam kehidupannya.
Kesimpulan: Talaqqi sebagai Pendidikan Holistik
Metode Talaqqi menawarkan pendekatan pendidikan yang utuh (holistik). Ia menyentuh aspek kognitif (hafalan), psikomotorik (pelafalan), dan afektif (adab dan karakter). Menjalani prosesnya berarti menapaki jalan para ulama terdahulu. Sebuah jalan yang penuh dengan kesabaran, rasa hormat, dan kerendahan hati.
Oleh karena itu, memilih Talaqqi bukan sekadar memilih cara menghafal. Ini adalah keputusan untuk membentuk diri menjadi pribadi yang lebih baik. Pribadi yang layak menyandang gelar sebagai penjaga firman Allah SWT.