SURAU.CO – Di sebuah surau remang, kita masih bisa membayangkan alunan suara anak mengeja huruf di atas sabak. Tatapan sabar sang guru membimbing setiap lafalnya. Kini, gambaran itu bersanding dengan pemandangan anak lain yang lincah menyentuh layar smartphone. Ia dengan riang mengikuti instruksi warna-warni dari sebuah aplikasi mengaji. Dua zaman dan dua medium ini, pada hakikatnya, memiliki satu tujuan mulia: mempelajari Al-Quran. Fenomena ini menandai sebuah evolusi Turutan dan Iqra yang luar biasa. Dua pilar metode mengaji di Nusantara ini secara dinamis beradaptasi untuk menjangkau generasi digital.
Pondasi Awal: Mengenal Sabak dan Metode Turutan
Untuk memahami evolusi ini, kita harus kembali ke akarnya. Awalnya, para penuntut ilmu di Nusantara menggunakan Sabak. Alat ini merupakan papan tulis sederhana dari lempengan batu karbon atau kayu yang dihitamkan. Murid memakai grip (batu tulis) untuk berlatih. Sejarahnya sangat panjang, karena ia menjadi alat tulis utama sebelum orang mengenal kertas secara luas. Keunggulan utamanya, orang bisa memakainya berulang kali. Tulisan dapat dihapus dengan mudah, sehingga menjadikannya alat yang sangat efisien untuk belajar.
Di atas sabak inilah Metode Turutan tumbuh subur. Sesuai namanya, “tutur-urutan”, metode ini berpusat pada proses menirukan guru secara langsung. Prosesnya sangat personal: guru melafalkan satu huruf, kemudian murid menirukannya sambil menulis di sabak. Setelah itu, guru mengoreksinya seketika. Metode ini sangat menekankan proses talaqqi musyafahah (menerima dari mulut ke mulut). Oleh karena itu, fokusnya bukan kecepatan, melainkan kedalaman, keakuratan makhraj, serta pewarisan ruh dan sanad keilmuan.
Revolusi Akselerasi: Kelahiran Metode Iqra
Seiring berjalannya waktu, masyarakat membutuhkan metode yang lebih cepat dan bisa menjangkau lebih banyak orang. Menjawab tantangan inilah, K.H. As’ad Humam dari Yogyakarta memperkenalkan Metode Iqra pada akhir abad ke-20. Beliau melakukan sebuah lompatan kuantum dalam dunia pendidikan Al-Quran. Iqra adalah sistem belajar membaca Al-Quran yang praktis dan sistematis. Untuk itu, K.H. As’ad Humam membaginya ke dalam enam jilid tipis.
Berbeda dari Turutan, Iqra menganut prinsip Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Artinya, murid tidak lagi pasif menunggu guru. Sebaliknya, metode ini mendorong mereka untuk aktif mengenali pola dan mencoba membaca sendiri. Dalam hal ini, guru berperan sebagai fasilitator dan korektor. Hasilnya, metode ini sukses luar biasa. Berbagai sumber di Kementerian Agama mencatat, banyak lembaga mengadopsi Iqra sebagai metode utama di ribuan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Dengan demikian, Iqra berhasil mempercepat pemberantasan buta aksara Al-Quran.
Transformasi Digital: Babak Baru dalam Evolusi Turutan dan Iqra
Selanjutnya, babak terbaru dari evolusi Turutan dan Iqra terjadi di era digital. Smartphone telah menjadi “sabak cerdas” yang interaktif, yang tidak hanya memindahkan teks ke layar, tetapi juga menciptakan pengalaman belajar baru.
Pertama, Iqra bertransformasi menjadi platform gamifikasi. Para pengembang Edutech Islam membangun ekosistem belajar yang imersif. Anak-anak kini belajar melalui sentuhan, mendengarkan audio, dan merekam suara mereka. Lebih dari itu, aplikasi ini mengintegrasikan elemen gamifikasi—seperti poin dan lencana—yang terbukti meningkatkan motivasi. “Kami melihat keterlibatan pengguna anak-anak meningkat drastis ketika kami memperkenalkan sistem reward harian,” ungkap seorang manajer produk, seperti dikutip dari media “DailySocial.id”. Ini mengubah proses belajar menjadi aktivitas yang menyenangkan.
Kedua, para inovator menghidupkan kembali spirit Turutan melalui teknologi canggih. Untuk menjawab kebutuhan akan koreksi, dua jalur inovasi utama muncul.
-
Asisten Virtual Berbasis AI: Aplikasi premium kini menyematkan Artificial Intelligence (AI) dengan speech recognition. Pengembang melatih mesin ini dengan ribuan jam data dari para qari profesional. Hasilnya, AI mampu menganalisis pelafalan pengguna secara detail, lalu memberikan umpan balik instan.
-
Platform Talaqqi Online: Inovasi ini secara lebih langsung menerjemahkan esensi Turutan. Berbagai platform kini hadir untuk menjembatani murid dengan guru bersanad. Melalui fitur panggilan video, seorang murid bisa bertatap muka dan menyetorkan hafalannya kepada guru di kota lain. Ini menjaga elemen krusial Turutan, yaitu interaksi dan validasi manusia.
Sinergi Masa Depan: Menjembatani Teknologi dengan Sentuhan Guru
Meskipun demikian, teknologi juga memiliki keterbatasan fundamental. Sebuah AI, secanggih apa pun, tidak bisa mengajarkan adab. Sebuah aplikasi tidak bisa mentransfer ruh dan keberkahan dari sebuah majelis ilmu. Mengutip seorang ulama dalam sebuah kajian di “Media Ummat”, “Teknologi adalah alat bantu yang hebat, tetapi ia tidak bisa menggantikan seorang guru. Guru tidak hanya mengoreksi lisan, tetapi juga mendidik kalbu.”
Oleh karena itu, masa depan yang ideal tidak memilih antara sabak atau smartphone, melainkan menyatukannya. Model blended learning (pembelajaran campuran) adalah sintesis yang paling bijaksana. Bayangkan skenario berikut:
-
Latihan Mandiri (Setiap Hari): Seorang anak menggunakan aplikasi Iqra di smartphone untuk melatih kelancaran, menghafal, dan mendapatkan koreksi dasar dari AI.
-
Validasi dan Pendalaman (Akhir Pekan): Kemudian, ia datang ke TPA atau guru ngajinya. Di sana, ia melakukan talaqqi. Guru tidak lagi menghabiskan waktu untuk hal-hal dasar. Sebaliknya, ia bisa fokus pada pendalaman makna dan yang terpenting, menanamkan adab serta karakter Islami.
Pada akhirnya, perjalanan dari sabak ke smartphone bukanlah sebuah penggantian. Ia adalah evolusi yang cerdas. Ini adalah bukti vitalitas tradisi pendidikan Islam Nusantara yang mampu berdialog dengan zaman, sekaligus memastikan Al-Quran terus mudah dipelajari, dipahami, dan dicintai oleh setiap generasi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
