Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Keadilan Bisa Dibeli. Suap Hakim dalam Timbangan Islam

Ketika Keadilan Bisa Dibeli. Suap Hakim dalam Timbangan Islam

Ilustrasi Hakim dalam Islam
Ilustrasi Hakim dalam Islam

Surau.co – Di sebuah ruang sidang yang hening, hakim mengetuk palu keadilan. Semua yang hadir menyimak dengan cermat apa yang hakim putuskan. Pemandangan ini terjadi di seluruh pengadilan di seluruh dunia setiap saat. Tapi, sejatinya siapa yang benar-benar menang? Mereka yang memiliki bukti dan argumen? Atau mereka yang membawa amplop tebal dan punya akses ke jalur belakang?

Cerita tentang suap kepada hakim bukanlah hal baru. Di Indonesia, kita terus menyaksikan fenomena ini seolah tanpa akhir. Kasus terbaru menunjukkan lima hakim menerima suap untuk membebaskan tersangka korupsi CPO. Kini, hakim lain sedang mengadili mereka.

Kasus ini menambah panjang daftar praktik serupa. Selama 10 tahun menjadi jurnalis, saya terus menyaksikan kasus-kasus seperti ini terjadi berulang. Hampir setiap tahun muncul kasus baru dengan modus yang berbeda-beda.

Praktik ini telah lama melukai sistem hukum di berbagai negara. Padahal, sebagian besar penduduk negara Indonesia beragama Islam. Dalam pandangan Islam, masalah ini bukan sekadar pelanggaran etika atau pidana. Ini termasuk dosa besar yang mencederai nilai tertinggi dalam agama, yaitu keadilan.

Laknat bagi Pelaku Suap, Penerima dan Makelar

Islam memandang suap kepada hakim sebagai bentuk kezaliman yang tidak hanya merugikan individu, tetapi juga merusak tatanan masyarakat. Putusan pengadilan yang keliru tidak hanya berdampak secara personal, tapi juga membawa implikasi yang luas.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Korban dari keputusan yang keliru tidak hanya satu orang. Dalam kasus korupsi, misalnya, hakim yang salah bisa merugikan ribuan bahkan jutaan orang. Maka wajar jika Rasulullah secara tegas melaknat dalam sabdanya:

“Rasulullah melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara dalam hukum.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Sependek pengetahuan saya, tak banyak dosa yang Rasulullah sebut secara eksplisit dengan kata “laknat”. Tapi untuk suap, Nabi menyebut semuanya: yang memberi, yang menerima, bahkan makelarnya. Artinya, perbuatan ini bukan sekadar salah, tapi Allah telah menurunkan kutukan atasnya.

Dalam sistem hukum Islam, umat memberi amanah besar kepada hakim. Allah bahkan menempatkan mereka sebagai wakil-Nya di bumi untuk menegakkan keadilan. Hakim seharusnya memiliki kualifikasi setara separuh malaikat. Ketika hakim menerima suap, berarti dia menjual kebenaran dan menukar posisi mulianya demi keuntungan duniawi yang remeh. Al-Qur’an telah memperingatkan keras tentang hal ini:

“Dan janganlah kamu makan harta sesama kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap para hakim…” (QS. Al-Baqarah: 188)

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Ayat ini menunjukkan bahwa memberi suap untuk memutarbalikkan keputusan hukum merupakan tindakan yang Allah larang secara eksplisit. Suap memaksa hukum tunduk pada kekuasaan uang.

Negara Muslim Belum Bebas dari Suap Peradilan

Laporan dari Transparency International mengungkap bahwa banyak lembaga peradilan di negara-negara Muslim justru menjadi episentrum praktik suap. Survei kepada warga di negara-negara tersebut menguatkan hal itu. Kenyataan ini sangat ironis. Hakim yang seharusnya menjadi pengadil malah ikut bermain. Orang bisa membeli keputusan. Mereka bisa menawar vonis. Wajar jika publik kehilangan kepercayaan.

Dalam tradisi Islam, masalah ini bukan hal kecil. Ibnu Taimiyah menulis bahwa keadilan menjadi dasar tegaknya negara. Ketika hakim tak lagi menegakkan keadilan, masyarakat akan kehilangan pondasinya. Bahkan, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa dia lebih memilih negara yang adil meskipun pemimpinnya tidak beriman, daripada negara yang dipimpin oleh orang beriman namun tidak adil.

Membangun Kembali Integritas Hukum

Mengubah praktik yang telah mengakar memang tidak mudah. Tapi harapan untuk memperbaikinya selalu ada. Salah satu langkah yang mungkin membantu adalah dengan menginternalisasi ajaran Islam.

Lembaga pendidikan hukum Islam perlu kembali menjadikan etika sebagai fondasi utama. Bukan hanya di perguruan tinggi Islam, tetapi juga di tingkat pendidikan yang lebih rendah. Para calon hakim perlu dididik dengan nilai-nilai Islam dan integritas yang tinggi.

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Selain itu, umat Islam harus menyadari bahaya suap. Kita sering menyaksikan masyarakat ikut bermain kotor demi memengaruhi hakim. Kini saatnya umat Islam tidak hanya menolak suap, tapi juga berani melawan praktiknya, sekecil apa pun bentuknya. Sebab, dalam Islam, keadilan merupakan prinsip utama yang tidak boleh diperdagangkan.

Terakhir, dari sisi formal, sistem peradilan perlu memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam setiap prosesnya. Misalnya, dengan membuka ruang audit atas proses pengambilan keputusan. Di samping itu, lembaga seperti Komisi Yudisial dan media massa harus mendapatkan ruang yang luas untuk melakukan pengawasan.

 

Membangun Demokrasi Tanpa Tepi: Disabilitas dan Keadilan Sosial

 

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement