Khazanah
Beranda » Berita » Hukum Memanggil Nama Binatang: Saat Lisan Merendahkan Martabat Insan

Hukum Memanggil Nama Binatang: Saat Lisan Merendahkan Martabat Insan

Benarkah indra keenam itu nyata? Apa pandangan Islam tentangnya?

Hukum Memanggil Nama Binatang: Saat Lisan Merendahkan Martabat Insan

SURAU.CO – Lisan bisa menjadi pedang bermata dua. Ia mampu mengucap zikir yang meninggikan derajat. Namun, ia juga sanggup melontarkan hinaan yang menjatuhkan. Dalam pergaulan, kita sering mendengar candaan kasar. Seseorang dengan mudah menjuluki temannya “monyet” atau “anjing”. Perbuatan ini mungkin dianggap sepele oleh sebagian orang. Namun, Islam memandang masalah ini dengan sangat serius. Agama ini menjunjung tinggi kehormatan setiap individu.

Islam mengajarkan adab sebagai fondasi interaksi sosial. Menjaga perasaan sesama Muslim adalah bagian dari iman. Oleh karena itu, muncul pertanyaan penting. Bagaimana hukum memanggil nama binatang kepada orang lain? Apakah perbuatan ini sekadar candaan atau sebuah dosa besar? Artikel ini akan mengupas tuntas hukum memanggil nama binatang dalam pandangan Islam. Kita akan melihatnya dari dalil Al-Qur’an, hadits, dan penjelasan para ulama.

Larangan Tegas dalam Al-Qur’an: Menjaga Kehormatan Sesama

Fondasi utama larangan ini terdapat dalam firman Allah SWT. Al-Qur’an secara eksplisit melarang sikap merendahkan orang lain. Allah berfirman dengan sangat jelas dalam Surat Al-Hujurat. Surat ini sering disebut sebagai surat adab dan etika.

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)… Dan janganlah kalian saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.”
(QS. Al-Hujurat: 11)

Ayat ini mengandung dua larangan utama yang relevan. Pertama, larangan sukhriyah atau mengolok-olok. Kedua, larangan tanabuz bil alqab atau memanggil dengan julukan buruk. Memanggil seseorang dengan nama binatang adalah bentuk nyata dari kedua larangan tersebut. Perbuatan ini jelas merupakan ejekan. Julukan binatang adalah gelar yang sangat buruk dan merendahkan.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Ayat tersebut juga memberikan alasan filosofis yang mendalam. Allah mengingatkan bahwa orang yang diejek bisa jadi lebih baik. Kita tidak pernah tahu kedudukan seseorang di sisi Allah. Bisa jadi, orang yang kita hina memiliki amalan tersembunyi. Mungkin ia lebih bertakwa dan lebih dicintai Allah. Sikap merendahkan orang lain menunjukkan kesombongan dalam diri penghina.

Kacamata Ulama: Dosa Lisan yang Merusak Amal

Para ulama dari berbagai mazhab sepakat mengenai masalah ini. Mereka mengkategorikan perbuatan ini sebagai dosa. Menjuluki orang lain dengan nama binatang adalah gabungan dari beberapa perbuatan tercela. Di antaranya adalah ghibah (menggunjing), sukhriyah (mengejek), dan penghinaan secara umum. Jika melakukannya dengan niat menyakiti, dosanya menjadi lebih besar.

Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar tasawuf, sangat menekankan pentingnya menjaga lisan. Dalam kitabnya yang monumental, Ihya’ Ulumuddin, beliau membahas panjang lebar tentang bahaya lisan. Beliau mengibaratkan lisan sebagai binatang buas. Jika tidak diikat dengan iman dan akal, ia akan menerkam dan menghancurkan. Ucapan kotor dan menyakitkan dapat menghapus pahala amal kebaikan.

Ulama fikih juga membahasnya dalam bab jinayat (pidana) atau ta’zir (hukuman). Meskipun tidak ada hukuman fisik spesifik, hakim berhak memberikan hukuman ta’zir jika perbuatan itu menimbulkan kerugian atau keresahan sosial. Hukuman ini bertujuan untuk memberi pelajaran kepada pelaku.

Dampak Merusak: Luka Psikologis dan Retaknya Ukhuwah

Larangan dalam Islam selalu memiliki hikmah yang besar. Larangan ini bukan hanya soal dosa dan pahala. Ia juga bertujuan menjaga keharmonisan hidup manusia. Memanggil seseorang dengan nama binatang memiliki dampak negatif yang serius.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

1. Luka di Hati yang Sulit Sembuh
Ucapan kasar dapat meninggalkan luka psikologis yang dalam. Ia merusak harga diri dan rasa percaya diri seseorang. Korban mungkin merasa tidak berharga dan terus terbayang-bayang hinaan itu. Luka fisik bisa sembuh, namun luka di hati akibat lisan bisa membekas seumur hidup. Islam sangat melindungi kesehatan mental umatnya.

2. Retaknya Tali Persaudaraan
Islam dibangun di atas fondasi ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim). Julukan buruk adalah racun bagi persaudaraan. Ia menciptakan kebencian dan dendam. Hubungan yang tadinya akrab bisa menjadi renggang. Kepercayaan akan luntur. Akhirnya, masyarakat menjadi terpecah belah. Ini sangat bertentangan dengan tujuan syariat Islam.

Konteks Perumpamaan: Apakah Selalu Dilarang?

Beberapa orang mungkin berdalih. Al-Qur’an dan hadits terkadang menggunakan perumpamaan binatang. Misalnya, orang yang diberi ilmu tapi tidak mengamalkannya diibaratkan seperti keledai yang membawa kitab. Apakah ini berarti kita boleh menggunakannya?

Jawabannya adalah tidak. Konteksnya sangat berbeda. Al-Qur’an menggunakan perumpamaan itu untuk pelajaran umum. Tujuannya bukan untuk menghina individu tertentu secara personal. Ia adalah sebuah tamsil untuk menjadi bahan renungan bagi semua orang.

Ketika kita mengarahkan nama binatang kepada seseorang secara langsung, niatnya sudah berubah. Niatnya bukan lagi memberi pelajaran, melainkan menghina. Penggunaannya harus sangat hati-hati. Kita harus memastikan tidak ada niat merendahkan atau mempermalukan orang lain. Prinsip dasarnya tetap sama: hindari menyakiti perasaan saudara kita.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Konsekuensi di Dunia dan Akhirat

Perbuatan ini membawa konsekuensi serius. Di dunia, pelakunya wajib bertaubat kepada Allah. Namun, taubatnya tidak cukup. Karena dosanya menyangkut hak orang lain, ia wajib meminta maaf. Ia harus mendatangi orang yang telah ia sakiti. Ia harus memohon kerelaan hatinya. Jika tidak, dosa itu akan terus menggantung. Di beberapa negara, perbuatan ini bisa masuk kategori pencemaran nama baik. Korban bisa menuntut secara hukum.

Konsekuensi di akhirat jauh lebih menakutkan. Rasulullah SAW pernah mengingatkan tentang orang yang bangkrut (muflis). Ia datang di hari kiamat dengan membawa banyak pahala salat dan puasa. Namun, ia juga membawa dosa mencaci maki orang lain. Pahala-pahalanya akan diambil untuk membayar kezalimannya. Jika pahalanya habis, dosa orang yang dizalimi akan ditimpakan kepadanya. Akhirnya, ia dilemparkan ke dalam neraka.

Berkata Baik atau Diam

Kesimpulannya sangat jelas. Hukum memanggil nama binatang kepada orang lain adalah haram. Perbuatan ini bertentangan dengan prinsip dasar akhlak Islam. Ia merusak martabat manusia yang telah Allah muliakan. Ia juga menghancurkan tatanan sosial yang harmonis.

Sebagai seorang Muslim, kita harus senantiasa menjaga lisan. Ingatlah selalu nasihat agung dari Nabi Muhammad SAW.

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini adalah panduan hidup yang sempurna. Jika ucapan kita tidak membawa kebaikan, lebih baik kita diam. Diam adalah pilihan yang menyelamatkan kita dari dosa dan penyesalan. Mari kita hiasi lisan kita dengan perkataan yang mulia. Marilah bersama-sama saling menghormati sesama manusia. 

 

DindaAM


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement