SURAU.CO – Sore ini terasa berbeda. Langit membentang biru jernih tanpa awan kelabu yang biasa menggelayut. Udara terasa sejuk, sebuah kemewahan langka di tengah musim yang tak menentu. Biasanya, sore seperti ini diwarnai awan kehitaman, pertanda gerimis akan segera turun membasahi bumi.
Aku duduk santai di teras rumah. Kursi anyaman rotan dengan bantal busa empuk menjadi singgasana nyamanku. Secangkir kopi hitam mengepulkan aroma pekat, menemani lamunanku. Pandanganku menyapu jalanan di depan rumah. Sekelompok anak kecil berjalan riang beriringan.
Pemandangan itu begitu menyejukkan hati. Anak-anak laki-laki gagah mengenakan baju koko dan celana senada. Peci putih atau hitam bertengger rapi di kepala mereka. Sementara itu, anak-anak perempuan tampil anggun dengan gamis dan jilbab modern. Warna-warni pakaian mereka seolah melukiskan keceriaan masa kanak-kanak. Wajah mereka tampak segar, bersih, dan penuh semangat.
Beberapa dari mereka menenteng buku Iqra. Sebagian lainnya membawa tas kecil berisi perlengkapan mengaji. Tujuan mereka jelas: masjid di ujung jalan. Aku tersenyum melihat generasi penerus ini. Mereka adalah harapan. Tiba-tiba, pemandangan itu menjadi mesin waktu. Anganku melesat jauh, menembus puluhan tahun ke belakang. Ke sebuah masa ketika…
Dunia Kecil di Halaman Mbah Muh
Sore itu, di sebuah halaman yang berbeda. Halaman itu tidak berlantai paving, melainkan tanah padat yang ditaburi kerikil-kerikil kecil. Di sanalah dunia kami terpusat. Anak-anak seusia saya bergerombol dalam kelompok-kelompok kecil. Ada garis tak terlihat yang memisahkan area bermain anak laki-laki dan perempuan.
Suasana riuh rendah oleh tawa dan teriakan. Beberapa anak berlari-larian tanpa tujuan. Sebagian lagi asyik berkejaran, meluapkan energi yang tak ada habisnya. Ada juga yang bermain dalam pasangan atau kelompok yang lebih teratur.
Kami, anak laki-laki, punya permainan andalan. Sarung yang kami kenakan bukan sekadar kain penutup aurat. Di tangan kami, sarung menjelma menjadi senjata. Kami melipatnya sedemikian rupa hingga menjadi sebuah cemeti yang lentur. Suara “plak!” saat cemeti sarung beradu menjadi musik penyemangat. Terkadang, sarung itu kami ubah menjadi penutup wajah. Dengan gaya ala ninja, kami berduel imajiner, penuh drama dan aksi.
Di sisi lain halaman, anak-anak perempuan punya dunianya sendiri. Mereka asyik bermain petak umpet, bersembunyi di balik pohon atau bangunan. Ada juga yang bermain sprengan, sebuah permainan tradisional menggunakan karet gelang yang dirangkai memanjang. Tawa cekikikan mereka menjadi latar suara yang khas.
Sosok Kharismatik di Rumah Papan
Sementara kami asyik bermain, sebagian teman-teman sudah berada di dalam sebuah rumah. Itu adalah kediaman Muhammad Ridhodin, guru ngaji kami. Namun, kami semua lebih akrab memanggilnya Mbah Muh.
Mbah Muh adalah sosok yang unik. Perawakannya kecil dan kurus. Kumis tebal yang melintang di atas bibirnya menjadi ciri khas yang paling menonjol. Usianya sebenarnya belum terlalu tua, tetapi pembawaannya yang tenang dan tegas membuatnya tampak sangat berkharisma.
Rumahnya adalah cerminan kesederhanaan. Dindingnya terbuat dari papan kayu yang mulai usang. Di beberapa bagian, anyaman bambu atau gedhek menjadi sekat pemisah antar ruangan. Di dalam rumah sederhana itulah, ilmu Al-Quran disemaikan. Anak-anak yang sudah berada di dalam duduk rapi. Mereka siap untuk mengaji. Pakaian mereka sudah berganti. Anak laki-laki mengenakan sarung dan peci hitam. Anak perempuan memakai mukena aneka warna yang cerah.
Saya adalah salah satu murid setianya. Hampir setiap sore, langkah kakiku selalu menuju rumah Mbah Muh. Kami datang tidak dengan tangan kosong. Masing-masing dari kami membawa buku panduan wajib: Ngaji Turutan.
Prosesi Ngaji Turutan yang Mendebarkan
Buku ‘turutan’ itu kami bawa sendiri. Orang tua kami yang membelikannya di sebuah toko kitab di daerah Kauman. Buku itu adalah gerbang pertama kami mengenal huruf-huruf suci. Selain buku, ada satu benda lagi yang tak pernah lupa kami bawa: sebatang lidi bambu. Diameternya tidak besar, pas untuk digenggam jari-jemari kecil kami. Lidi ini berfungsi sebagai penunjuk. Alat bantu untuk memastikan mata kami fokus pada setiap huruf Hijaiyah yang kami lafalkan.
Kami duduk beralaskan tikar pandan yang terhampar di lantai plester. Tikar itu menjadi pelindung dari dinginnya lantai. Ada sebuah meja rendah yang terbuat dari papan kayu tipis. Meja panjang itu adalah ‘arena’ setoran ngaji kami kepada Mbah Muh.
Suasana di depan meja setoran selalu terasa berbeda. Anak yang sedang mendapat giliran mengaji dengan Mbah Muh pasti merasakan ketegangan. Jantung rasanya berdebar lebih kencang. Mbah Muh terkenal cukup galak. Beliau tidak pernah ragu untuk memarahi anak yang membuat gaduh. Apalagi jika kami berulang kali salah membaca huruf yang sama, padahal beliau sudah mencontohkannya.
Metode Mengajar Mbah Muh: Tegas Demi Kualitas
Mbah Muh sangat disiplin dalam mengajarkan ngaji turutan. Beliau akan membaca huruf Hijaiyah satu per satu. Setiap harakat (fathah, kasrah, dhammah) diucapkan dengan suara yang lantang, jelas, dan tegas. Pengucapannya selalu presisi, sesuai dengan makhorijul huruf (tempat keluarnya huruf) yang benar. Metode ini beliau dapatkan saat menjadi santri di sebuah pondok pesantren di pinggiran kota.
Kami, para murid, harus mendengarkan dengan saksama. Setelah itu, kami harus mengulanginya dengan benar. Jika ada satu saja lafal yang meleset, Mbah Muh akan langsung bereaksi. Matanya yang tajam akan membelalak, menatap lurus ke arah anak yang salah atau tidak serius. Lalu, terdengarlah suara khasnya, “Hmm…,” sebuah teguran singkat namun sangat efektif.
Lidi bambu di tangan kami bukan hanya sebagai penunjuk. Jika kami salah menunjuk huruf atau tidak sesuai dengan harakatnya, Mbah Muh akan menyentakkan lidi bambu miliknya. Itu adalah tanda ada yang salah dan harus segera diperbaiki. Mbah Muh kemudian akan mengulangi bacaan yang benar. Beliau akan mendengarkan dengan penuh konsentrasi setiap huruf yang kami ucapkan. Setiap lafal diperiksa, apakah sudah sesuai makhraj-nya atau belum.
Jika belum benar, kami harus mengulang. Proses ini bisa terjadi berkali-kali sampai lafal kami sempurna. Terkadang, jika memang sangat diperlukan, Mbah Muh akan turun tangan secara harfiah. Beliau akan memegang mulut si anak, membimbing bentuk bibir agar bisa mengucapkan huruf dengan benar. Kadang mulut kami harus dibuka lebar-lebar. Atau harus dimonyongkan agar suara yang keluar sesuai dengan makhraj hurufnya.
Memang, beberapa huruf Hijaiyah seperti ‘ain (ع), syin (ش), dan shod (ص) sering menjadi tantangan bagi kami. Huruf-huruf itulah yang paling sering diulang. Hanya jika sudah lancar, barulah kami diizinkan untuk melanjutkan ke halaman berikutnya. Begitu seterusnya.
Proses yang detail ini membuat waktu mengaji kami menjadi cukup lama. Sembari menunggu giliran, kami memanfaatkan waktu untuk bermain di halaman.
Di Balik Kegalakan, Ada Kegembiraan
Kegalakan Mbah Muh dan lamanya proses mengaji tidak pernah membuat kami jera atau kapok. Bagi kami, itu adalah hal yang biasa. Justru, pengalaman mengaji di rumah Mbah Muh menjadi sangat menyenangkan. Mungkin, bagi sebagian anak, tujuan utamanya bukan hanya mengaji. Bermain dengan teman-teman adalah bagian yang tidak kalah penting. Di sanalah kami bisa bergembira, berbagi cerita, dan tertawa bersama. Komunitas kecil kami terbentuk di halaman itu.
“Yah, aku berangkat ngaji dulu ya.”
Sebuah suara mungil membuyarkan lamunanku. Anakku yang baru berusia lima tahun berdiri di hadapanku. Dengan takzim, ia mencium tanganku, lalu berpamitan untuk pergi mengaji di masjid. Aku memandangi punggung kecilnya yang perlahan menjauh, menghilang di tikungan jalan. Sebuah senyuman tulus terukir di bibirku. Zaman boleh berganti, metode mungkin berbeda, tetapi semangat untuk mengenal Kalam Ilahi tetap sama. Dan kenangan akan Mbah Muh, dengan segala ketegasan dan kesederhanaannya, akan selalu menjadi fondasi berharga dalam hidupku. (Tri)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
