SURAU.CO – Suara anak-anak terdengar lirih di surau desa. Mereka mengeja huruf hijaiyah dengan penuh semangat. Seorang guru sabar menuntun setiap lafal. Pemandangan ini adalah potret tradisi yang mengakar kuat. Itulah metode turutan, warisan berharga dari tanah Jawa. Metode ini bukan sekadar teknik belajar membaca Al-Qur’an. Ia adalah sebuah perjalanan spiritual dan budaya. Prosesnya membentuk karakter, adab, dan ikatan sosial. Tradisi ini telah bertahan melintasi zaman. Ia menjadi bukti kearifan para ulama terdahulu.
Metode Turutan: Menyelami Warisan Mengaji Khas Jawa yang Kaya Makna
Metode turutan adalah cerminan Islam yang menyatu dengan jiwa Nusantara. Ia mengajarkan kita bahwa ilmu tidak datang secara instan. Ilmu membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan penghormatan. Di tengah gempuran teknologi modern, metode ini tetap relevan. Ia menawarkan sesuatu yang tidak dimiliki aplikasi digital. Sesuatu itu adalah sentuhan kemanusiaan dan keberkahan sanad ilmu. Mari kita gali lebih dalam sejarah dan keistimewaan metode turutan.
Apa Sebenarnya Metode Turutan Itu?
Metode turutan adalah sebuah pendekatan pembelajaran Al-Qur’an. Prosesnya sangat sistematis dan bertahap. Anak-anak atau pemula tidak langsung membaca ayat. Mereka memulainya dari fondasi paling dasar. Pengenalan huruf hijaiyah menjadi langkah pertama. Guru akan memperkenalkan “Alif, Ba, Ta” satu per satu. Setiap huruf diucapkan berulang kali hingga benar-benar melekat.
Setelah menguasai huruf, pelajaran berlanjut ke pengenalan harakat. Tanda baca seperti fathah, kasrah, dan dammah diperkenalkan. Santri berlatih membaca suku kata sederhana. Misalnya, “a-ba-ta”, “ja-ha-kho”, dan seterusnya. Proses ini membangun kemampuan merangkai huruf menjadi kata. Guru sangat teliti dalam tahap ini. Setiap kesalahan pengucapan (makhraj) langsung dikoreksi.
Ciri utama metode ini adalah pengulangan atau repetisi. Seorang santri mungkin mengulang satu baris bacaan puluhan kali. Tujuannya bukan sekadar hafal. Tujuannya agar bacaan menjadi fasih dan mantap. Buku panduan yang umum digunakan adalah kitab “Turutan” itu sendiri. Kitab ini berisi urutan pembelajaran yang jelas. Selain itu, Juz Amma juga sering menjadi media praktik. Ayat-ayat pendek di dalamnya memudahkan santri untuk berlatih.
Proses belajar biasanya berlangsung tatap muka. Guru ngaji, ustaz, atau orang tua membimbing secara personal. Suasananya sangat khas. Seringkali berlangsung di teras rumah, langgar (mushala), atau pondok pesantren. Interaksi personal ini memungkinkan bimbingan yang intensif dan penuh perhatian.
Akar Sejarah: Perjalanan Metode Turutan dari Masa Wali Songo
Untuk memahami asal-usul metode turutan, kita perlu kembali ke masa lalu. Jejaknya dapat ditelusuri hingga era penyebaran Islam di Jawa. Para Wali Songo menjadi aktor utama dalam proses ini. Mereka menyebarkan ajaran Islam dengan pendekatan yang damai. Mereka tidak memberangus budaya lokal yang sudah ada. Sebaliknya, mereka melakukan akulturasi budaya yang cerdas.
Para wali memahami kondisi masyarakat saat itu. Sebagian besar masyarakat belum mengenal tradisi literasi formal. Oleh karena itu, diperlukan metode pengajaran yang mudah diakses. Metode turutan lahir dari kebutuhan ini. Sifatnya yang personal, lisan, dan bertahap sangat cocok. Ia memungkinkan ajaran Islam meresap perlahan. Dakwah pun berjalan efektif tanpa paksaan.
Pesantren-pesantren tua di Jawa menjadi benteng pelestarian metode ini. Ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari di Tebuireng dan KH. Bisri Syansuri di Denanyar adalah pewarisnya. Mereka dan para kyai lainnya mengajarkan metode ini kepada santri-santrinya. Dari pesantren, metode ini menyebar luas ke masyarakat. Para santri yang telah lulus membawa ilmu ini ke kampung halaman mereka. Mereka kemudian membuka pengajian di rumah atau surau. Lingkaran regenerasi ini terus berputar dari generasi ke generasi.
Metode turutan menjadi fondasi pendidikan Al-Qur’an di Nusantara. Jauh sebelum metode modern seperti Iqra’ atau Qira’ati populer, turutan sudah lebih dulu eksis. Ia adalah bukti otentik sistem pendidikan Islam tradisional yang terbukti ampuh.
Filosofi di Balik Turutan: Lebih dari Sekadar Membaca
Keistimewaan metode turutan tidak terletak pada kecepatannya. Ia justru unggul karena kedalaman filosofisnya. Di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur yang membentuk kepribadian.
1. Penanaman Adab Sebelum Ilmu
Prinsip utama dalam tradisi ini adalah “Al-Adabu fauqal ‘ilmi” (Adab di atas ilmu). Sebelum memulai mengaji, anak-anak diajarkan adab. Mereka belajar cara menghormati guru, mencium tangan guru sebagai tanda takzim, duduk dengan sopan dan mendengarkan dengan saksama. Mereka tidak boleh memotong pembicaraan guru.
Proses belajar yang sabar juga menanamkan disiplin. Anak-anak mengerti bahwa untuk menguasai ilmu, butuh proses. Tidak ada jalan pintas menuju kefasihan. Nilai kesabaran, kerendahan hati, dan ketekunan tertanam secara alami. Ini adalah pendidikan karakter yang sangat fundamental.
2. Menyatu dengan Kearifan Budaya Lokal
Metode turutan seringkali dibalut dengan nuansa budaya Jawa. Guru kadang menggunakan tembang (nyanyian) sederhana untuk mengenalkan huruf. Gaya bahasa yang digunakan pun halus dan penuh kelembutan. Pendekatan ini membuat suasana belajar menjadi menyenangkan. Anak-anak tidak merasa tertekan atau takut.
Penghormatan kepada guru juga selaras dengan budaya Jawa. Konsep mikul dhuwur mendhem jero (menjunjung tinggi kebaikan, mengubur dalam keburukan) tercermin di sini. Santri selalu berusaha menghormati dan memuliakan gurunya. Hubungan guru-murid menjadi sangat personal dan penuh berkah.
3. Membangun Ikatan Sosial yang Kuat
Tradisi mengaji turutan menjadi perekat sosial di masyarakat. Waktu sore hari setelah salat Asar atau malam setelah Magrib menjadi momen berkumpul. Anak-anak dari berbagai keluarga datang ke satu tempat. Mereka belajar bersama, bermain bersama, dan kadang dihukum bersama. Interaksi ini menciptakan rasa kebersamaan yang kuat.
Orang tua juga terlibat dalam ekosistem ini. Mereka saling mengingatkan untuk menyuruh anaknya mengaji. Langgar atau surau desa menjadi pusat aktivitas komunal. Ikatan antara guru, santri, orang tua, dan masyarakat terjalin erat. Inilah yang disebut sebagai modal sosial yang tak ternilai harganya.
Tantangan Zaman: Metode Turutan di Era Digital
Dunia telah berubah dengan cepat. Era digital menghadirkan berbagai alternatif belajar Al-Qur’an. Kini, tersedia banyak aplikasi di ponsel pintar. Ada juga video tutorial di platform seperti YouTube. Metode-metode baru menawarkan pembelajaran yang visual dan interaktif. Tentu saja, pendekatan modern ini memiliki kelebihan. Siapa pun bisa belajar kapan saja dan di mana saja.
Kehadiran teknologi ini menjadi tantangan bagi metode turutan. Sebagian orang mungkin menganggap turutan kuno dan lambat. Namun, para pegiat tradisi ini memiliki pandangan berbeda. Mereka percaya metode turutan menawarkan sesuatu yang tidak bisa digantikan teknologi.
Aplikasi tidak bisa memberikan koreksi makhraj secara langsung. Robot tidak bisa menanamkan adab dan rasa hormat. Video tutorial tidak bisa membangun ikatan emosional antara guru dan murid. Metode turutan menjaga aspek spiritualitas dalam belajar. Ada transmisi sanad (rantai keilmuan) yang bersambung hingga Rasulullah SAW. Keberkahan inilah yang dicari dalam menuntut ilmu agama.
Oleh karena itu, tantangan ini bukanlah akhir dari segalanya. Justru, ini menjadi momen untuk merefleksikan kembali keunggulan metode turutan. Ia bukan untuk dilombakan kecepatannya. Ia adalah sarana untuk membentuk seorang Muslim yang tidak hanya fasih membaca Al-Qur’an, tetapi juga berakhlak mulia.
Melestarikan Warisan Hidup untuk Generasi Mendatang
Metode turutan adalah sebuah mahakarya pendidikan dari Nusantara. Ia lebih dari sekadar cara belajar membaca kitab suci. Ia adalah paket lengkap pendidikan karakter, spiritualitas, dan budaya. Di dalam setiap ejaannya, terkandung nilai kesabaran. Setiap koreksi guru, terdapat kasih sayang. Dan di setiap perkumpulan di surau, terjalin kehangatan sosial.
Di tengah derasnya arus modernisasi, melestarikan metode turutan menjadi sangat penting. Ini bukan berarti kita menolak kemajuan. Namun, ini adalah upaya menjaga jati diri dan kearifan lokal. Menghidupkan kembali tradisi mengaji turutan di surau-surau dan rumah adalah cara kita merawat akar. Dengan begitu, generasi mendatang tidak hanya cerdas secara digital. Mereka juga tumbuh menjadi pribadi yang santun, sabar, dan dekat dengan nilai-nilai luhur agamanya. Warisan ini terlalu berharga untuk dibiarkan pudar.
DindaAM
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
