SURAU.CO. Pihak berwenang Turki menahan seorang kartunis yang bekerja untuk majalah satir Leman. Penahanan ini terjadi pada Senin (30/06) akibat dari sebuah kartun kontroversial yang dianggap menggambarkan Nabi Muhammad. Namun pihak majalah membantah keras tuduhan tersebut. Mereka menyatakan kartun itu tidak bertujuan menghina nilai agama.
Bahkan Menteri Kehakiman Yilmaz Tunc angkat bicara. Ia menyebut kartun itu sebuah penghinaan. Menurutnya, karya itu mengganggu sensitivitas agama dan harmoni sosial. Kasus terus berlanjut, Kejaksaan Agung Turki membuka penyelidikan resmi. Mereka menilai karya yang terbit pada 26 Juni itu “secara terang-terangan merendahkan nilai-nilai keagamaan.” Pernyataan resmi dari kejaksaan sangat tegas. “Surat perintah penangkapan telah terbit untuk mereka yang terlibat,” kata kantor kejaksaan. Perintah ini juga menyasar editor dan redaksi majalah Leman.
Tanggapan Keras dan Klarifikasi Majalah
Kontroversi ini menyebar cepat di media sosial. Gambar kartun itu menunjukkan dua sosok di udara. Mereka berjabat tangan di atas sebuah kota yang dibom. Salah satu karakter menyebut dirinya “Muhammad”. Karakter lain menyebut dirinya “Musa”. “Tidak ada kebebasan yang membenarkan penghinaan terhadap nilai-nilai suci suatu agama dengan cara yang keji,” tulis Menteri Kehakiman Tunc.
Namun, majalah Leman memberikan klarifikasi. Pemimpin Redaksi Tuncay Akgun membantah tuduhan itu. Ia menegaskan ada menyalahartikan dalam memahami kartun . Akgun berbicara kepada AFP via telepon dari Paris. Ia menjelaskan konteks di balik karya tersebut. Menurutnya karya ini, nama seorang Muslim yang terbunuh dalam pengeboman Israel difiksikan sebagai Muhammad. “Lebih dari 200 juta orang di dunia Islam bernama Muhammad,” ucap Akgun dalam penjelasannya. Ia menekankan bahwa karya itu “tidak ada hubungannya dengan Nabi Muhammad”.
Sementara itu Menteri Dalam Negeri Ali Yerlikaya mengonfirmasi penangkapan. Ia bahkan membagikan video penahanan kartunis itu. “Orang bernama D.P. yang membuat gambar keji ini telah ditangkap dan ditahan,” tulisnya, menggunakan inisial si kartunis. “Mereka yang tidak tahu malu ini akan mendapatkan pertanggungjawaban di hadapan hukum,” tambah Yerlikaya. Insiden ini menyoroti hukum di Turki. Meskipun Turki menganut sistem sekuler sejak 1920-an, hukumnya tetap tegas. Undang-undang memungkinkan hukuman penjara hingga satu tahun. Hukuman berlaku bagi siapa saja yang terbukti “secara terbuka menghina nilai-nilai keagamaan masyarakat.”
Jejak Panjang Kontroversi Kartun Nabi Muhammad
Kasus di Turki ini bukanlah yang pertama. Kontroversi kartun Nabi Muhammad memiliki sejarah panjang. Isu ini secara konsisten memicu bentrokan nilai. Di satu sisi ada kebebasan berekspresi ala Barat. Di sisi lain ada sensitivitas keagamaan umat Muslim. Setiap insiden baru selalu membangkitkan perdebatan sengit.
Pada tahun 2005 kontroversi ini pertama kali meledak secara global pada 2005. Surat kabar Denmark, Jyllands-Posten menerbitkan 12 kartun editorial tentang Nabi Muhammad. Satu karya dari Kurt Westergaard menjadi ikon kontroversi. Kartun itu menggambarkan Nabi Muhammad dengan bom di sorbannya.
Awalnya, reaksi hanya bersifat lokal di Denmark. Namun, pada 2006, kemarahan menyebar ke seluruh dunia. Publikasi ulang kartun di negara Eropa lain memicu protes. Aksi massa besar-besaran meletus di dunia Muslim. Beberapa di antaranya berujung kekerasan, seperti pembakaran kedutaan Denmark di Suriah dan Lebanon. Boikot produk Denmark juga meluas.
Pada tahun 2007, seniman Swedia Lars Vilks membuat sketsa Nabi. Kartun penuh kontrovesi itu kemudian mendapat tanggapan dari Al-Qaeda. organisasi i ni bahkan mengadakan sayembara pembunuhan. Kartunis asli, Kurt Westergaard, juga menjadi target langsung. Rumahnya mendapat serbuan seorang ekstremis pada 2010.
Charlie Hebdo Kasus yang Berulang
Majalah satir Prancis, Charlie Hebdo, lalu masuk pusaran konflik. Kantor mereka dibom molotov pada 2011. Ini terjadi setelah mereka merilis edisi “Charia Hebdo”. Setahun kemudian, mereka kembali menerbitkan kartun Nabi yang provokatif, memicu kecaman dari pemerintah Prancis sendiri. Puncaknya terjadi pada 7 Januari 2015. Dua pria bersenjata menyerbu kantor Charlie Hebdo di Paris. Mereka membunuh 12 orang, termasuk para kartunis utamanya. Para penyerang mengklaim aksinya sebagai “balas dendam untuk Nabi Muhammad”.
Serangan ini memicu solidaritas global. Slogan “Je Suis Charlie” (Saya Charlie) bergema di seluruh dunia. Jutaan orang, termasuk puluhan pemimpin dunia, berbaris di Paris. Mereka berbaris untuk mendukung kebebasan berekspresi. Siklus kontroversi ini terus berlanjut. Pada 2020, Prancis kembali terguncang. Seorang guru sejarah, Samuel Paty, dibunuh secara brutal. Hal ini katrena Samuel menunjukkan kartun Charlie Hebdo di kelasnya saat membahas kebebasan berekspresi. Pembunuhan ini memicu reaksi keras dari Presiden Emmanuel Macron. Ia membela hak untuk menayangkan kartun dan menista agama. Sikapnya memicu gelombang protes dan seruan boikot produk Prancis di beberapa negara Muslim.
Kasus di Turki ini menegaskan satu hal. Perdebatan antara kebebasan berekspresi dan sensitivitas agama masih sangat relevan. Setiap insiden baru membuktikan bahwa dialog dan pemahaman bersama masih menjadi tantangan besar di tingkat global.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
