SURAU.CO. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mulai mengkaji keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Putusan ini secara fundamental mengubah sistem pemilihan umum di Indonesia. Rencananya DPR akan membahas langkah ini bersama pemerintah dan organisasi masyarakat sipil.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan pihaknya merespons putusan ini dengan cermat. Menurutnya, setiap kebijakan yang harus memberikan manfaat terbaik bagi masyarakat. Oleh karena itu, DPR tidak ingin terburu-buru dalam mengambil sikap. Sebuah rapat awal telah digelar untuk membahas putusan penting tersebut. Rapat ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Mereka saling bertukar pikiran untuk merumuskan langkah selanjutnya.
“Kami kemarin di DPR sudah mengadakan rapat brainstorming baik dengan pihak pemerintah. Hadir dalam rapat tersebut Menteri Hukum, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sekretaris Negara, ada KPU, kemudian juga kita ada Komisi II, Komisi III yang membawahi hukum, Badan Legislasi, dan juga ada NGO yang melakukan JR (judicial review) seperti Perludem,” kata Dasco kepada wartawan di Jakarta, Selasa.
Dasco menegaskan kembali sikap hati-hati DPR dalam merespons putusan tersebut. “Kami dalam menyikapi keputusan dari MK juga harus disikapi dengan hati-hati karena itu merupakan langkah yang penting,” ujar Dasco.
DPR berencana menggelar beberapa rapat lanjutan. Rapat ini akan melibatkan lembaga terkait untuk mengkaji putusan MK lebih mendalam. Dasco juga menyebut DPR belum menetapkan target waktu penyelesaian pembahasan ini. “Kita belum ada target karena ya mengingat pemilu masih lama,“ kata Dasco. Namun, ia menambahkan bahwa DPR akan menyesuaikan jadwalnya. Jika putusan MK menetapkan batas waktu teknis, DPR akan mematuhinya.
Detail Putusan MK
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan Perludem pada Kamis (26/6) lalu. Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini menetapkan model baru pemilu serentak. Mulai tahun 2029, model “pemilu lima kotak” tidak akan berlaku lagi. Pemilu akan dipisah menjadi dua agenda utama Pertama, Pemilu Nasional: Mencakup pemilihan anggota DPR, anggota DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Kedua, Pemilu Daerah: Mencakup pemilihan anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Jeda waktu antara kedua pemilu tersebut juga diatur. Pemilu daerah akan digelar paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
MK memberikan sejumlah pertimbangan kuat dalam putusan pemisahan pemilu ini. Tujuan utamanya adalah mewujudkan pemilu yang lebih berkualitas, sederhana, dan efektif. Pertimbangannya antara lain adalah Mahkamah KOnstitusi menilai pemilu serentak membuat isu daerah tenggelam. Fokus publik dan media tersedot oleh isu-isu politik tingkat nasional. Akibatnya, masalah pembangunan di provinsi dan kabupaten/kota menjadi kurang mendapat perhatian. Harapannya dengan adanya pemisahan ini dapat mengembalikan fokus pada isu-isu lokal saat pilkada.
Kemudian banyak yang menilai jadwal pemilu yang berdekatan melemahkan partai politik. Parpol tidak punya cukup waktu untuk melakukan kaderisasi secara ideal. Mereka terpaksa merekrut calon berdasarkan popularitas semata demi elektoral. “Akibatnya, perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilihan umum membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional, sehingga pemilihan umum jauh dari proses yang ideal dan demokratis. Sejumlah bentangan empirik tersebut di atas menunjukkan partai politik terpaksa merekrut calon berbasis popularitas hanya demi kepentingan elektoral,” terang Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Meningkatkan Kualitas Penyelenggaraan Pemilu
Pertimbangan lain dari pemisahan pemilu ini adalah adanya beban kerja penyelenggara pemilu sangat menumpuk dalam sistem saat ini. Tahapan pemilu legislatif dan presiden berimpitan dengan tahapan awal pilkada. Hal ini berisiko menurunkan kualitas penyelenggaraan pemilu. “Masa jabatan penyelenggara pemilihan umum menjadi tidak efisien dan tidak efektif karena hanya melaksanakan ‘tugas inti’ penyelenggaraan pemilihan umum hanya sekitar 2 (dua) tahun,” jelas Arief.
Selain itu dari sisi pemilih, pemilu lima kotak berpotensi menciptakan kejenuhan. Pemilih harus menentukan banyak pilihan dalam waktu terbatas. Hal ini membuat fokus mereka terpecah. “Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Putusan MK ini akan berdampak pada masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil Pemilu 2024. Mahkamah menyerahkan pengaturan masa transisi ini kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah. Mereka memiliki wewenang untuk merumuskan norma peralihan melalui rekayasa konstitusional yang cermat. Dengan demikian, bola kini berada di tangan legislatif untuk menindaklanjuti putusan bersejarah ini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
