Sosok
Beranda » Berita » Kisah Kenize Mourad: Putri Ottoman yang Dibungkam Karena Bela Palestina

Kisah Kenize Mourad: Putri Ottoman yang Dibungkam Karena Bela Palestina

Kisah penulis Kenize Mourad
Penulis keturunan Ottoman, Kenize Mourad, menerima Legion d'Honneur. Namun, ia diboikot di Prancis karena membela Palestina. Simak kisah hidupnya yang luar biasa.

SURAU.CO. Penulis terkemuka Kenize Mourad menerima penghargaan besar. Prancis menganugerahinya Legion d’Honneur. Penghargaan ini merupakan pengakuan atas kontribusi sastranya. Namun, di balik kehormatan itu, Mourad menyimpan kekecewaan pahit. Ia merasa Prancis telah membungkam suaranya. Penyebabnya satu: pembelaannya yang gigih untuk Palestina.

Sikap Mourad ini berakar dari pengalaman hidupnya. Perjalanan yang penuh ketidakadilan membentuk empatinya yang dalam. Ia berjuang untuk mereka yang haknya terampas. “Saya seorang idealis,” kata Mourad seperti dikutip dari Middle East Eye. “Saya berjuang untuk Palestina, dan saya telah membayarnya dengan mahal di Prancis.”

Ia merasa perjuangannya adalah panggilan jiwa. “Saya mengalami ketidakadilan, kesepian, dan kemiskinan saat saya masih muda,” kenangnya. Ia mendedikasikan hidupnya untuk menyuarakan kaum minoritas melalui tulisan.

Awal Kehidupan Penuh Lika-Liku

Perjalanan hidup Mourad berawal dari sebuah tragedi. Ia lahir di Paris pada 11 November 1939. Garis keturunannya sangat istimewa. Ibunya, Putri Selma, adalah cucu Sultan Murad V dari Kekaisaran Ottoman. Ayahnya, Syed Sajid Hussain Ali, adalah raja di Kotwara, India.

Perang Dunia Kedua menjadi pemisah takdir mereka. Ibunya wafat saat Mourad masih sangat kecil. Ia pun tumbuh besar di sebuah biara Katolik di Prancis. Pada tahun 1945, ayahnya mengirim utusan untuk menjemputnya. Sang raja ingin membawa pulang putri yang belum pernah ia temui.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Namun, para biarawati menentang keras rencana itu. Mereka ngeri membayangkan seorang gadis kecil dibesarkan oleh ayah Muslim. Dengan dalih itu, mereka menyembunyikan Mourad. “Jadi hidup saya sudah ditentukan sebelumnya oleh rasisme,” ungkap Mourad puluhan tahun kemudian. “Para biarawati menyembunyikan saya karena mereka sama sekali tidak mau menyerahkan gadis kecil yang baik ini kepada seorang ayah Muslim. Hanya itu saja. Muslim bagi mereka berarti setan.”

Dari Jurnalisme Hingga Target Intelijen

Mourad tumbuh sebagai seorang Kristen di Prancis. Ia baru menemukan kembali akar Islamnya saat dewasa. Pada usia 21 tahun, ia akhirnya bertemu sang ayah untuk pertama kali. Ia menempuh pendidikan tinggi di Universitas Sorbonne. Kemudian, ia meniti karier sebagai jurnalis.Ia bekerja untuk media sayap kiri, Nouvel Observateur. Profesi ini membawanya meliput berbagai konflik dunia. Dari perang saudara Lebanon hingga revolusi Iran. Kariernya bahkan menarik perhatian badan intelijen Amerika, CI A. Pada 1973, CIA mencoba merekrutnya menjadi mata-mata.

Sebuah memo rahasia mengungkap rencana tersebut. Mereka ingin Mourad memata-matai diplomat Tiongkok. Mourad awalnya berpura-pura tertarik. Ia melihatnya sebagai bahan untuk artikel investigasi besar. “Saya membayangkan sebuah artikel fantastis tentang bagaimana CIA mencoba merekrut jurnalis sayap kiri,” kenangnya.

Namun, seorang teman menyadarkannya akan risikonya. CIA bisa membalas dendam jika merasa dipermainkan. Mourad pun membatalkan niatnya. Ia memilih menulis surat penolakan secara resmi.

Puncak Karier dan Harga Sebuah Prinsip

Setelah meninggalkan jurnalisme, Mourad meraih sukses gemilang sebagai novelis. Buku pertamanya, “Regards from the Dead Princess” (1987), menjadi fenomena. Novel yang mengisahkan tragedi hidup ibunya ini melambungkan namanya. Ia menjadi salah satu penulis terkemuka di Prancis. Kesuksesan berlanjut dengan karya-karya berikutnya. Mourad menjadi kesayangan media. Wajahnya sering tampil di televisi dan surat kabar. Namun, semua itu berubah total pada tahun 2005.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ia menerbitkan buku “Our Sacred Land: Voices of the Palestinian-Israeli Conflict”. Buku ini berisi kumpulan kesaksian warga Palestina dan Israel. Isinya mengungkap secara gamblang ketidakadilan akibat pendudukan. Sejak saat itu, media Prancis seolah berbalik memusuhinya. Ia menghadapi boikot yang efektif dan sistematis. Buku-buku selanjutnya hampir tidak pernah mendapat ulasan. Perlahan, ia menjadi sosok persona non grata di negerinya sendiri.

Konsekuensi dan Keteguhan Hati

Meskipun Legion d’Honneur tersemat di dadanya, Kenize Mourad merasa terasing. Ia kini lebih banyak tinggal di Turki, tanah leluhur ibunya. Ia melihat Prancis telah kehilangan nilai-nilai kebebasannya. “Di Prancis, saat Anda berbicara tentang Palestina, Anda akan dianggap teroris. Anda antisemit. Itulah sebabnya saya tinggal di Turki sekarang,” katanya. Ia meratapi matinya kebebasan berpendapat. “Dulu ini adalah negara dengan kebebasan berbicara. Sekarang tidak ada kebebasan berbicara.”

Di usianya yang ke-85, Kenize Mourad menolak bungkam. Ia terus menulis dan berbicara lantang untuk Palestina. Ia sadar telah membayar harga yang sangat mahal. Namun, ia tidak pernah menyesali prinsipnya. “Saya tahu bahwa jika saya menulis sesuatu yang memaafkan Israel, saya akan muncul di surat kabar lagi,” pungkasnya. “Tapi aku tidak akan pernah melakukannya.”


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement