SURAU.CO – Kerentanan dalam perubahan iklim itu membuat yang miskin menjadi semakin tidak berdaya. Jesse Ribot memberi gambaran menarik bagaimana perubahan iklim lebih berdampak pada mereka yang justru tidak berkontribusi banyak pada krisis tersebut.
Mengapa Kerentanan Tidak Datang dari Langit?
Tulisan Jesse Ribot berjudul “Vulnerability Does Not Fall from the Sky: Toward Multiscale, Pro-Poor Climate Policy” dalam buku “Social Dimensions of Climate Change: Equity and Vulnerability in a Warming World” (2010) membuka satu gagasan bahwa kerentanan (vulnerability) tidak bersumber semata dari fenomena alam, melainkan dari relasi sosial dan ekonomi yang timpang. Ribot mengajak pembaca untuk meninjau ulang fondasi dari kebijakan adaptasi iklim yang menurutnya lebih banyak berbicara tentang suhu, emisi, dan cuaca ekstrem daripada tentang kerentanan kelompok sosial menengah ke bawah.
Kerentanan sebagai Produk Sosial
Ribot menyampaikan dengan lugas bahwa dampak perubahan iklim—badai, kekeringan, gagal panen—tidak mengenai semua orang secara setara. Masyarakat miskin, perempuan, dan kelompok marjinal lainnya mengalami dampak yang jauh lebih parah bukan karena mereka tinggal di tempat “salah”, tetapi karena mereka tidak punya daya tawar, akses sumber daya, dan perlindungan institusional yang memadai. Di Bangladesh, perempuan miskin menjadi yang paling terdampak. Di Brasil, petani kecil yang tergantung pada hujan menjadi kelompok paling rentan karena tidak memiliki akses kerja yang “climate-neutral”. Sementara di Kenya, privatisasi lahan justru menambah beban kelompok rentan yang kehilangan akses gembala.
Hal ini mengingatkan kita bahwa kerentanan bukanlah keniscayaan ekologis, melainkan manifestasi ketimpangan sosial. Dalam istilah Ribot, “vulnerability does not fall from the sky“—lebih diciptakan oleh kondisi sosial-politik yang eksis di bumi.
Dari Mitigasi ke Keadilan Sosial
Salah satu kontribusi penting tulisan ini adalah pergeseran fokus dari mitigasi teknis semata menuju evaluasi driver sosial-politik kerentanan. Ribot menyoroti bahwa adaptasi iklim yang berhasil bukan hanya soal membangun tanggul atau memperluas asuransi bencana. Lebih dari itu, adaptasi iklim seharusnya juga mempertimbangkan akar dari kerentanan: kemiskinan, ketimpangan akses lahan, lemahnya representasi politik, dan infrastruktur publik.
Melalui kerangka multiskala, Ribot menunjukkan bahwa solusi atas kerentanan harus bekerja dari level lokal hingga nasional dan global. Misalnya, kebijakan konservasi hutan atau efisiensi energi rumah tangga bisa menimbulkan kerentanan baru jika tidak memperhatikan siapa yang paling terdampak. Bagi kelompok miskin, kebijakan semacam itu bisa berarti kehilangan mata pencaharian atau akses atas sumber daya, alih-alih perlindungan.
Membaca Ulang Teori Kerentanan
Tulisan Ribot juga menyodorkan kritik terhadap dua pendekatan utama dalam studi kerentanan: pendekatan risk-hazard yang fokus pada dampak bencana alam, dan pendekatan social constructivist yang lebih memerhatikan struktur sosial pembentuk kerentanan. Ribot mengusulkan pendekatan analisis dari akibat ke sebab (outcome-based), yaitu dengan menelusuri berbagai penyebab dari satu kerentanan spesifik, untuk memahami pada level mana intervensi paling efektif bisa dilakukan.
Dengan cara ini, kebijakan tidak hanya fokus menghindari kejadian ekstrem, tetapi mengubah kondisi sosial ekonomi yang memperparah dampaknya. Mengutip Blaikie dalam “The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries” (1985), lebih banyak nyawa manusia yang pelan-pelan direnggut oleh kelaparan, kemiskinan, dan ketidakadilan struktural daripada oleh bencana yang besar.
Relevansi untuk Indonesia
Dalam konteks Indonesia, argumen Ribot sangat relevan. Program-program adaptasi iklim kerap belum menyentuh kerentanan struktural masyarakat miskin, khususnya di wilayah pesisir dan pedalaman. Padahal, kelompok-kelompok inilah yang paling membutuhkan perlindungan dari beban ganda. Dari bencana alami (natural disaster), dampak perubahan iklim, serta beban ekonomi dan politik.
Analisis multiskala juga dapat memperkaya cara kita memandang relasi antara desa dan pusat dalam perumusan kebijakan iklim. Pemerintah pusat sering menetapkan program berbasis data iklim global. Akan tetapi, terkadang ada perbedaan dalam mengatasi dampak nyata dari perubahan iklim.
Ribot menutup tulisannya dengan satu pengingat penting, yakni bahwa kebijakan iklim yang memihak kelompok miskin tidak akan mungkin terjadi tanpa pembenahan sistem representasi dan tata kelola. Dalam iklim politik yang timpang, suara kelompok marjinal cenderung diabaikan. Karena itu, adaptasi sejati terhadap perubahan iklim tidak hanya soal teknik dan teknologi, melainkan soal politik dan keadilan sosial.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
