SURAU.CO. Masyarakat Jawa kerap berhadapan dengan dilema ketika bulan Muharram atau yang dikenal sebagai bulan Suro tiba. Munculnya larangan menikah di bulan Suro menjadi perdebatan, antara mengikuti tradisi atau ajaran agama. Apakah larangan tersebut hanyalah mitos belaka, ataukah terdapat landasan kuat yang mendasarinya?
Mitos dan Tradisi dalam Masyarakat Jawa
Bagi sebagian masyarakat Jawa, bulan pertama dalam kalender Jawa ini merupakan periode yang sarat dengan nilai spiritual dan kepercayaan. Bulan Suro dianggap sebagai bulan prihatin, sehingga berbagai aktivitas yang bersifat meriah, seperti pernikahan, khitanan, pindah rumah, dan hajatan lainnya, dianjurkan untuk dihindari.
Kepercayaan ini telah mengakar kuat dalam tradisi lisan yang turun-temurun maupun dari pengalaman pribadi seseorang. Mereka meyakini bahwa melanggar larangan tersebut dapat membawa nasib buruk, seperti kesulitan dalam rumah tangga atau masalah finansial bahkan sampai pada perceraian.
Mitos lokal yang beredar, pernikahan di bulan Suro berhubungan dengan kesialan, kegagalan rumah tangga, dan munculnya utang yang besar. Ketakutan akan “ketiban sial” menjadi alasan utama mengapa banyak orang memilih untuk menunda rencana pernikahan mereka hingga bulan berikutnya.
Akar Kata dan Makna Sakral Bulan Suro
Kata “Suro” sendiri berasal dari kata “Asyura” dalam bahasa Arab, yang berarti “Sepuluh”. Istilah ini merujuk pada tanggal 10 Muharram. Bulan Suro menjadi sangat populer di kalangan masyarakat Jawa, bahkan melebihi penggunaan nama Muharram itu sendiri. Beberapa alasan mengapa bulan ini begitu sakral:
- Kekuatan Mistik dan Spiritual: Pada malam 1 Suro, diyakini gerbang gaib terbuka luas. Hal ini selaras dengan kosmologi Jawa yang kaya akan nilai-nilai spiritual dan mistik.
- Pengaruh Tradisi Hindu-Jawa: Sebelum kedatangan Islam, tradisi Hindu-Jawa telah mengakar kuat. Dalam konteks Islam-Jawa, bulan Suro dianggap sebagai waktu yang suci.
- Peran dalam Keraton: Di lingkungan Keraton, bulan Suro justru dianggap sebagai waktu yang tepat untuk menggelar pernikahan bagi kalangan bangsawan. Namun, masyarakat umum diimbau untuk tidak “ngungkuli” atau melampaui kewibawaan keraton.
- Waktu untuk Tirakat: Masyarakat Jawa seringkali memanfaatkan bulan ini untuk melakukan tirakat, meditasi, atau ritual malam sebagai bentuk penghormatan terhadap kekuatan alam dan spiritual.
- Bulan Prihatin: Bulan Suro dikaitkan dengan tragedi Karbala, yang menjadi momentum kesedihan atas wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Husain Ali bin Abi Thalib.
Pandangan Islam terhadap Pernikahan di Bulan Suro
Lantas, bagaimana Islam memandang pernikahan atau hajatan lainnya di bulan Suro atau Muharram? Apakah ada larangan dalam agama Islam terkait hal ini?
Dalam Islam, pernikahan di bulan Suro (Muharram) tidak dilarang. Tidak ada hari atau bulan yang dianggap buruk dalam Islam. Bahkan, bulan Muharram adalah bulan yang mulia.
Dalil Kemuliaan Bulan Suro (Muharram)
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 36, tentang 12 bulan yang hadir dalam kehidupan manusia. Di antara 12 bulan tersebut, terdapat 4 bulan yang disebut sebagai arba’atun hurum atau bulan haram, yaitu Dzulko’dah, Dzulhijah, Muharram, dan Rajab.
Hadis Nabi Muhammad SAW juga menegaskan hal ini:
“Sesungguhnya zaman ini telah berjalan (berputar), sebagaimana perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, yang mana satu tahun ada 12 bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan yang (letaknya) berurutan, yaitu Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharram. Kemudian Rajab yang berada di antara Jumadil (Akhir) dan Syaban.” (HR Bukhari dan Muslim)
Pada intinya, Islam memandang semua waktu baik untuk melakukan berbagai aktivitas yang halal, termasuk pernikahan. Dalam syariat Islam, tidak ada hari atau bulan tertentu yang dilarang untuk menikah.
Mengharmoniskan Tradisi dan Ajaran Agama
Islam memandang bulan Muharram atau Suro sebagai waktu yang mulia untuk meningkatkan ibadah. Contohnya adalah puasa, sedekah, dan mempererat hubungan sosial. Bukan untuk menahan diri dari aktivitas yang halal.
Kita tidak perlu begitu mempercayai mitos yang berkembang di masyarakat. Jika ada tradisi lokal di bulan Suro yang tetap dilaksanakan, sikapi dengan toleran dan humanis serta tetap menghargai kearifan lokal.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
